Ekonom Nilai 2027 Terlalu Cepat bagi Indonesia untuk Redenominasi Rupiah
ILUSTRASI: Uang dolar Amerika dan rupiah di salah satu kantor cabang Bank Mandiri di Jakarta, Selasa (22/7/2025). (Salman Toyibi/Jawa Pos)
09:45
9 November 2025

Ekonom Nilai 2027 Terlalu Cepat bagi Indonesia untuk Redenominasi Rupiah

- Pemerintah berupaya merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah pada 2027. Rencana itu dinilai terlalu ambisius. Ekonom menilai implementasi menyederhanakan nominal uang tanpa mengubah daya beli itu bisa memakan waktu hingga satu dekade. 

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai waktu yang disiapkan pemerintah terlalu singkat. Menurut dia, implementasi redenominasi idealnya butuh delapan hingga sepuluh tahun, termasuk masa transisi, sosialisasi, dan adaptasi sistem keuangan nasional.

“Persiapan redenominasi tidak bisa hanya 2–3 tahun. Butuh 8–10 tahun agar semua sistem mulai dari perbankan, akuntansi, hingga harga barang, bisa menyesuaikan. Jadi, 2035 adalah waktu realistis jika Indonesia memang ingin melakukannya,” ujar Bhima dhubungi JawaPos.com, Sabtu (8/11).

Sebelumnya, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK Nomor 70 Tahun 2025 yang menyatakan memasukkan RUU Redenominasi sebagai salah satu prioritas legislasi dalam Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029.

Beleid tersebut menyebutkan penyusunan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah merupakan program lanjutan (carry over) dengan target penyelesaian pada 2027.

Pemerintah menyatakan redenominasi akan memangkas angka nol di belakang rupiah. Misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 tanpa mengubah nilai atau daya beli uang itu sendiri. Kebijakan ini diharapkan membuat transaksi keuangan lebih efisien, memperkuat kepercayaan publik terhadap rupiah, serta meningkatkan kredibilitas moneter di mata dunia.

Risiko Sosialisasi dan Efek Inflasi

Bhima menilai percepatan redenominasi berpotensi menimbulkan kebingungan administrasi di sektor ritel dan keuangan. Sebab, ribuan jenis barang dan sistem pembukuan harga perlu disesuaikan. Dia menyoroti risiko kenaikan harga akibat pembulatan nominal ke atas, yang bisa memicu inflasi tanpa disadari.

"Barang dari Rp 9.000 tidak akan jadi Rp 9, tapi bisa dibulatkan jadi Rp 10. Kalau itu terjadi massal, inflasi meningkat dan daya beli masyarakat turun," jelasnya.

Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB. Menurut Bhima, redenominasi seharusnya tidak dilakukan pada periode ketika ekonomi masih sangat bergantung pada konsumsi domestik.

Belajar dari Negara Lain

Sejumlah negara pernah mengalami kegagalan dalam menerapkan redenominasi karena tergesa-gesa. Brasil melakukan redenominasi pada 1986, 1989, dan 1993. Namun, inflasi justru melonjak hingga 48 persen per bulan pada 1994 akibat minimnya sosialisasi dan lemahnya stabilitas keuangan.

Ghana juga mengalami kenaikan inflasi sebesar lima persen setahun setelah redenominasi 2007, sedangkan Zimbabwe gagal total karena fondasi ekonominya rapuh.

“Jangan sampai kita seperti Zimbabwe. Redenominasi bukan solusi cepat untuk memperbaiki nilai uang, melainkan hasil dari ekonomi yang sudah benar-benar stabil,” ujar Bhima.

Pemerintah juga diharapkan tidak hanya fokus pada rancangan aturan, tetapi juga memastikan fondasi ekonomi, inflasi, dan sistem pembayaran sudah siap. Dengan 90 perseb transaksi di Indonesia masih berbasis tunai, proses adaptasi digitalisasi dan literasi publik menjadi tantangan tersendiri.

Jika seluruh tahapan dilakukan matang, mulai dari kajian hukum, persiapan teknis, hingga edukasi publik, maka redenominasi baru bisa diterapkan paling cepat 2033, 2035, dengan masa transisi selama beberapa tahun setelahnya.

Langkah ini bisa menjadi simbol kepercayaan diri rupiah dan bukti stabilitas ekonomi Indonesia, asalkan dilakukan bertahap dan tidak tergesa-gesa.

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #ekonom #nilai #2027 #terlalu #cepat #bagi #indonesia #untuk #redenominasi #rupiah

KOMENTAR