KAI dan WIKA jadi BUMN Paling Terbebani Utang Whoosh
Kekhawatiran banyak pihak terhadap beban finansial besar yang harus ditanggung Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh akhirnya terbukti.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan dirinya menolak APBN dilibatkan dalam pembayaran utang yang menjadi tanggung jawab PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Pernyataan Purbaya ini disampaikan untuk merespon usulan dari Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, mengenai pembayaran utang PT KCIC agar bisa dibantu pemerintah. Purbaya menegaskan pemerintah tidak menanggung utang kereta cepat karena itu merupakan tanggung jawab Danantara.
"Kan KCIC di bawah Danantara ya, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa dapat Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage (utang KCJB) dari situ. Jangan kita lagi," ujar Purbaya, dikutip pada Rabu (29/10/2025).
WIKA dan KAI menanggung paling banyak
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menyebut pemerintah melalui Danantara wajib menyelematkan keuangan KAI yang sudah keteteran menanggung utang Whoosh.
"Sudah terlanjur semuanya, barangnya (kereta cepat) sudah terbangun, mau diapakan lagi. KAI harus dibantu lewat Danantara," kata Djoko saat dihubungi, Selasa (28/10/2025).
Menurut Djoko, meski pada dasarnya uang dividen Danantara sejatinya juga aset negara yang dipisahkan, namun dalam pemerintah tak punya opsi lain selain menyelamatkan KAI dengan suntikan modal.
"KAI harus diselamatkan, seperti menyuntik Garuda untuk membeli pesawat baru, duitnya harus dari Danantara. Kan BUMN sudah nggak setor dividen lagi ke Kementerian Keuangan," ungkap Djoko.
Untuk diketahui saja, PT KCIC adalah perusahaan hasil patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
BUMN Indonesia harus memikul tanggung jawab paling besar untuk membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman dari kreditur asal China. PT KAI sebagai pemimpin konsorsium, memegang saham terbanyak 58,53 persen di PT PSBI setelah mendapat penugasan pemerintah di era pemerintahan Jokowi.
Pemegang saham lainnya PT PSBI adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA menggenggam saham 33,36 persen, PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebesar 7,08 persen, dan PTPN VIII sebesar 1,03 persen.
Seluruh kerugian PT KCIC kemudian diatribusikan ke para pemegang sahamnya, sebagian besar dibayarkan PT PSBI dan sebagian lagi dibebankan ke konsorsium China yang menggengam 40 persen saham PT KCIC.
Beratnya beban utang KCIC tersebut sudah tampak dalam laporan keuangan per 30 Juni 2025 (unaudited) yang dirilis di situs resmi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Dalam laporan itu, PSBI tercatat mengalami kerugian hingga Rp 4,195 triliun sepanjang tahun 2024.
Artinya, dalam sehari saja bila menghitung dalam setahun ada 365 hari, konsorsium BUMN Indonesia harus menanggung rugi dari beban KCIC sebesar Rp 11,493 miliar per hari sepanjang tahun lalu.
Tren tersebut berlanjut pada 2025, di mana hanya dalam enam bulan pertama tahun ini, kerugian PSBI kembali bertambah Rp 1,625 triliun.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung masih akan jadi beban dalam jangka panjang, bahkan hingga beberapa dekade ke depan.
Dengan porsi saham terbesar dan bertindak sebagai pemimpin konsorsium PT PSBI, KAI otomatis menanggung kerugian paling besar. Pada semester I-2025, KAI harus menanggung rugi sekitar Rp 951,48 miliar.
Sementara pada tahun penuh 2024, saat PSBI membukukan kerugian Rp 4,19 triliun, KAI ikut menanggung beban hingga Rp 2,24 triliun. Kerugian dari anak usahanya ini membuat laba KAI tergerus.
Kerugian WIKA
Selain KAI, perusahaan BUMN Indonesia yang ikut menanggung porsi kerugian paling besar adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA. Di sisi lain, perusahaan konstruksi pelat merah ini juga terus merugi beberapa tahun terakhir.
Beban pembayaran utang dan kerugian di KCIC membuat kondisi keuangan WIKA semakin babak belur. Per semester I-2025, WIKA mencatat rugi sebesar Rp 1,66 triliun, sementara pada tahun 2024, rugi bersih WIKA mencapai Rp 2,33 triliun.
WIKA sendiri menjadi salah satu BUMN yang mendapat penugasan sebagai pemegang saham PT KCIC, sekaligus ikut terlibat mengerjakan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di era Menteri BUMN Rini Soemarno.
Dikutip dari laporan keuangan WIKA semester I-2025, WIKA mencatatkan kontribusi kerugian sebesar Rp 542,31 miliar sesuai dengan porsi kepemilikan sahamnya di PT PSBI.
Sementara itu, pada tahun 2024, bagian kerugian yang harus ditanggung WIKA di PT PSBI mencapai Rp 1,57 triliun.
Total utang Kereta Cepat Whoosh
Berdasarkan data yang dirangkum dari pemberitaan KOMPAS.com, total nilai investasi pembangunan KCJB mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp 120,38 triliun (mengacu kurs Rp 16.500 per dollar AS).
Sekitar 75 persen dari total investasi itu dibiayai lewat pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan tingkat bunga tetap 2 persen per tahun.
Skema pinjaman tersebut berlaku dengan bunga tetap (fixed rate) untuk 40 tahun pertama. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tawaran Jepang pada 2015 yang hanya memberikan bunga 0,1 persen per tahun.
Namun seiring berjalannya waktu, KCIC kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang besar. Saat ini, pemerintah Indonesia bersama CDB tengah berupaya melakukan negosiasi ulang atau restrukturisasi utang agar cicilan bisa diringankan. Salah satu opsi yang tengah dibahas adalah memperpanjang tenor pinjaman menjadi 60 tahun.
Mayoritas pembiayaan proyek Whoosh memang berasal dari pinjaman CDB, sementara sisanya berasal dari penyertaan modal pemerintah (APBN) serta ekuitas dari konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China sesuai porsi sahamnya di KCIC.
Nilai investasi tersebut juga telah mencakup pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen ditutup melalui tambahan pinjaman baru dengan bunga yang lebih tinggi, mencapai lebih dari 3 persen per tahun.
Adapun sisanya ditanggung oleh masing-masing pihak sesuai porsi kepemilikan: 60 persen oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen oleh konsorsium perusahaan China yang terlibat dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.