Menggagas Perdagangan dengan Mata Uang Lokal antara Indonesia dan Brasil
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataan bersama setelah pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025). (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden)
09:48
25 Oktober 2025

Menggagas Perdagangan dengan Mata Uang Lokal antara Indonesia dan Brasil

SELAMA lebih dari tujuh dekade, dolar Amerika Serikat telah menjadi “raja” dalam perdagangan internasional.

Setiap transaksi lintas negara mulai dari jual beli komoditas bahan mentah hingga teknologi canggih hampir selalu menuntut dolar AS sebagai bahasa universalnya. Namun, dunia kini mulai berubah.

Gelombang baru yang disebut de-dollarization atau diversifikasi mata uang perdagangan mulai muncul di berbagai belahan dunia.

Negara-negara berkembang ingin berdagang tanpa harus terlalu bergantung pada mata uang negara lain.

Negara-negara berkembang mulai mempertanyakan mengapa harus membayar biaya konversi dua kali, menghadapi risiko nilai tukar yang tidak bisa dikendalikan, dan terus menumpuk dolar AS hanya agar bisa berdagang.

Pertanyaan itu pula yang kini mulai menggema antara Jakarta dan Brasíl. Ketika Indonesia resmi bergabung dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) pada Januari 2025, peluang baru terbuka lebar, yaitu akankah Indonesia dan Brasil mulai berdagang menggunakan mata uang lokal Rupiah dan Real, alih-alih dolar AS?

Pertanyaan ini tidak sekadar teknis, melainkan telah menyentuh isu strategis seperti kedaulatan moneter, efisiensi perdagangan, dan bahkan posisi geopolitik Indonesia di dunia yang semakin multipolar.

Indonesia dan Brasil memiliki banyak kesamaan, yaitu sama-sama negara demokrasi besar di belahan selatan, kaya sumber daya alam, berpenduduk ratusan juta, dan memiliki posisi strategis di kawasan masing-masing.

Bedanya, Indonesia berakar di Asia Tenggara, sementara Brasil menjadi jangkar di Amerika Latin.

Hubungan dagang keduanya memang belum sebesar dengan mitra utama seperti China, Amerika Serikat, atau Jepang. Namun, potensi perdagangan antarkedua negara masih sangat besar.

Selama dua dekade terakhir, perdagangan Indonesia dan Brasil telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari 2 miliar dollar AS menjadi 6 miliar dolar AS. Namun, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Saat ini komoditas ekspor utama Indonesia didominasi produk minyak nabati dan turunannya, kemudian minyak hewani, produk mineral dan bahan bakar, kendaraan dan aksesorinya.

Sedangkan dari sisi impor, produk pakan ternak masih menjadi komoditas utama. Kemudian gula, minyak mineral, impor kapas, tembakau, dan daging.

Kini, dengan keduanya sama-sama duduk di meja BRICS, ada dorongan politik baru untuk memperdalam kerja sama, termasuk di sektor keuangan.

Presiden Luiz Inácio Lula da Silva bahkan secara terbuka menyerukan agar Brasil dan Indonesia “menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral, agar tidak selalu tergantung pada dolar.”

Seruan itu disambut positif di Jakarta. Sebab, Indonesia sedang aktif memperluas skema Local Currency Transaction (LCT), yaitu penyelesaian transaksi perdagangan menggunakan mata uang lokal antarnegara.

Hingga pertengahan 2025, Indonesia telah mencatat transaksi LCT senilai lebih dari 11,7 miliar dollar AS, meningkat tajam dibandingkan dengan nilai LCT pada semester I 2024 sebesar 4,7 miliar dollar AS.

Secara teori, menggunakan Rupiah dan Real dalam perdagangan bilateral bisa membawa banyak manfaat, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Manfaat pertama ialah efisiensi dalam biaya transaksi. Selama ini, eksportir dan importir harus melewati dua kali konversi mata uang, yaitu dari Rupiah ke Dolar, lalu dari Dolar ke Real (atau sebaliknya).

Setiap langkah konversi memakan biaya dan menghadapi risiko nilai tukar. Dengan penggunaan mata uang lokal, rantai konversi itu bisa dipangkas.

Manfaat kedua ialah mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Dolar memang kuat, tapi dominasi yang terlalu besar menciptakan kerentanan.

Fluktuasi kebijakan suku bunga Amerika bisa mengguncang pasar negara lain, termasuk Indonesia. Dengan transaksi berbasis mata uang lokal, sebagian risiko itu bisa dikurangi.

Manfaat berikutnya ialah untuk memperkuat kedaulatan ekonomi. Jika lebih banyak transaksi ekspor-impor dilakukan dalam Rupiah, permintaan terhadap Rupiah meningkat, dan perannya di kancah internasional semakin kuat. Ini bukan hanya soal gengsi moneter, tapi juga kemandirian ekonomi.

Keempat, perdagangan menggunakan mata uang lokal antara Indonesia dan Brasil akan menjadi simbol kerja sama baru antarnegara berkembang.

Dalam konteks BRICS, ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas benua bisa berjalan tanpa harus mengikuti “aturan lama” yang ditulis di Washington atau London.

Manfaat kelima ialah potensi membuka pasar keuangan baru. Jika skema ini berhasil, akan muncul pasar valuta lintas Rupiah–Real, fasilitas swap antarbank sentral, hingga instrumen lindung nilai baru. Ini bisa memperdalam pasar keuangan di kedua negara.

Meski terdengar idealis dan menjanjikan, penggunaan mata uang lokal lintas benua bukan perkara mudah. Ada sejumlah risiko dan tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Risiko pertama ialah terkait dengan likuiditas dan penerimaan pasar. Rupiah dan Real bukan mata uang utama dunia. Pasar valuta keduanya masih relatif kecil dibanding dolar, euro, atau yuan.

Jika eksportir di Brasil menerima pembayaran dalam Rupiah, mereka mungkin kesulitan menukarkannya kembali ke Real dengan cepat atau tanpa biaya tinggi. Begitu pula sebaliknya.

Risiko kedua ialah volatilitas mata uang lokal. Nilai tukar Rupiah dan Real sama-sama cukup fluktuatif terhadap dolar. Bila transaksi dalam mata uang lokal tidak diimbangi instrumen lindung nilai (hedging), perusahaan bisa menanggung kerugian besar jika terjadi gejolak kurs.

Risiko berikutnya berkenaan dengan infrastruktur keuangan dan sistem pembayaran. Belum ada sistem pembayaran lintas Indonesia–Brasil yang memungkinkan penyelesaian langsung Rupiah–Real.

Harus ada kesepakatan antar-bank sentral, perantara (dealer), dan sistem clearing. Membangun infrastruktur semacam ini memerlukan waktu, biaya, dan kepercayaan.

Risiko keempat ialah ketimpangan volume perdagangan. Volume perdagangan Indonesia–Brasil masih kecil. Tanpa skala ekonomi yang cukup, mekanisme mata uang lokal bisa tidak efisien dan hanya dipakai oleh sebagian kecil pelaku usaha besar.

Keanggotaan Indonesia di BRICS menambah dimensi baru pada wacana ini. BRICS kini menjadi forum yang cukup solid untuk mendorong reformasi tatanan keuangan global.

Dalam beberapa pertemuan terakhir, isu dedolarisasi menjadi pembahasan utama. Bahkan sempat muncul wacana “mata uang bersama BRICS”, meski masih jauh dari kenyataan.

Bagi Indonesia, BRICS bukan hanya soal prestise, tapi juga peluang strategis. Melalui forum ini, Indonesia bisa membangun jembatan kerja sama lintas benua, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam kerangka perdagangan yang lebih adil.

Kerja sama mata uang lokal dengan Brasil bisa menjadi pilot project konkret dari semangat BRICS: memperkuat perdagangan selatan–selatan tanpa terlalu bergantung pada sistem lama.

Namun, Indonesia harus cermat. BRICS bukan blok ekonomi tunggal seperti Uni Eropa. Tidak ada aturan tunggal, tidak ada bank sentral bersama. Setiap inisiatif tetap tergantung pada kesepakatan bilateral dan kesiapan nasional.

Langkah paling rasional bukanlah langsung menghapus dolar, melainkan memulai dari pilot project. Misalnya, memilih komoditas tertentu seperti minyak sawit Indonesia atau daging sapi Brasil untuk diperdagangkan dengan skema Rupiah–Real melalui bank khusus yang ditunjuk kedua negara.

Bank Indonesia dan Banco Central do Brasil bisa menandatangani perjanjian currency swap agar masing-masing punya cadangan mata uang mitra.

Selain itu, perlu juga edukasi bagi pelaku bisnis, terutama eksportir dan importir, mengenai manfaat dan cara menggunakan mekanisme ini. Tanpa pemahaman praktis, kebijakan sekeren apa pun hanya akan hidup di atas kertas.

Indonesia juga bisa mendorong BRICS untuk membangun infrastruktur pembayaran lintas negara berbasis teknologi digital semacam BRICS Payment Network agar transaksi lintas benua lebih efisien dan transparan.

Wacana perdagangan dalam mata uang lokal bukanlah hal baru, tapi kini menemukan konteksnya. Dunia sedang bergerak ke arah multipolar, dan negara-negara berkembang ingin menentukan nasibnya sendiri.

Bagi Indonesia, ini bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi dalam sistem global yang terus berubah.

Sementara bagi Brasil, kerja sama dengan Indonesia memperluas pengaruhnya di Asia dan memperkuat posisinya di BRICS.

Namun, idealisme perlu diimbangi dengan realisme. Tanpa kesiapan sistem keuangan, kepercayaan pasar, dan komitmen politik yang konsisten, penggunaan Rupiah–Real hanya akan menjadi jargon diplomatik.

Namun jika dikelola dengan cermat, langkah kecil ini bisa menjadi batu loncatan besar menuju dunia perdagangan yang lebih berimbang, inklusif, dan mandiri.

Setiap langkah menuju kemandirian mata uang adalah langkah menuju kedaulatan ekonomi yang lebih kuat. Indonesia dan Brasil kini punya kesempatan emas, yaitu dua negara besar dari selatan dunia, sama-sama ingin berdiri lebih tegak dalam sistem global.

Tag:  #menggagas #perdagangan #dengan #mata #uang #lokal #antara #indonesia #brasil

KOMENTAR