



Skema Kerja ASN Masa Depan: Hybrid, Fleksibel, atau Kembali ke Kantor?
PADA awal pandemi Covid-19, aparatur sipil negara (ASN) menghadapi perubahan drastis dalam pola kerja. Tanpa banyak pilihan, seluruh ekosistem birokrasi dipaksa masuk ke dunia digital.
Dari ruang sidang yang semula penuh map dan meja kayu, kini beralih ke layar Zoom dan Microsoft Teams. Kantor fisik mendadak menjadi sekunder, dan frasa seperti “kerja dari mana saja” (work from anywhere) mulai akrab di telinga birokrat.
Namun, seiring pandemi mereda, kita menyaksikan kemunculan pertanyaan strategis yang tak bisa diabaikan, apakah pola kerja fleksibel ini akan menjadi norma baru, atau hanya episode darurat yang segera kita tinggalkan?
Pada tahun-tahun awal pandemi, fleksibilitas kerja dianggap sebagai berkah tersembunyi. ASN bisa menghadiri rapat lintas provinsi dalam hitungan detik, efisiensi operasional meningkat, dan tidak sedikit pimpinan instansi melaporkan produktivitas yang relatif stabil.
Sistem informasi kinerja dan pelaporan daring mulai dimanfaatkan secara lebih serius. Digitalisasi, yang sebelumnya berjalan tertatih, melompat dalam hitungan bulan.
Namun, euforia itu perlahan berhadapan dengan kenyataan khas birokrasi: budaya organisasi yang belum siap berubah, sistem penilaian kinerja yang tetap mengandalkan presensi fisik, dan kepemimpinan yang merasa kehilangan kendali karena ASN "tidak terlihat".
Tidak sedikit pimpinan instansi yang kemudian mendorong kembali kewajiban kehadiran penuh di kantor, dengan narasi “mengembalikan kedisiplinan”. Seolah-olah kehadiran fisik adalah satu-satunya indikator kontribusi.
Hari ini, ASN berada dalam paradoks ruang kerja. Di satu sisi, teknologi telah membuka jalan bagi pola kerja fleksibel dan hybrid. Di sisi lain, sistem birokrasi masih terjebak pada paradigma lama: kehadiran fisik, jam kerja konvensional, dan kontrol hierarkis.
Skema kerja fleksibel bagi ASN bukan sekadar pilihan teknis, melainkan pertaruhan pada cara baru melihat kinerja, kepercayaan, dan kepemimpinan.
Pemerintah telah menginisiasi berbagai regulasi terkait fleksibilitas kerja, mulai dari Peraturan Menpan-RB No. 7 Tahun 2022 hingga implementasi SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik).
Namun, penerapannya masih sangat bergantung pada interpretasi pimpinan di masing-masing instansi.
Beberapa kementerian dan pemerintah daerah mulai mengadopsi skema hybrid secara terbatas, terutama untuk jabatan fungsional.
Namun, tidak sedikit pula yang kembali memaksa seluruh pegawai hadir penuh tanpa mempertimbangkan karakteristik pekerjaan, capaian output, atau urgensi layanan.
Mengelola kinerja, bukan mengawasi waktu duduk
Jika ingin serius mengadopsi skema kerja fleksibel atau hybrid, kita harus merevisi cara kita memandang kerja itu sendiri. Kinerja ASN tidak boleh lagi diukur dari waktu duduk di kantor, tetapi dari capaian yang terukur dan berdampak.
Perubahan ini menuntut reformulasi indikator kinerja, pelatihan kepemimpinan digital, serta penguatan sistem monitoring berbasis output. Kita butuh sistem penilaian kinerja yang adil, adaptif, dan mendorong produktivitas, bukan sekadar ketundukan.
Negara-negara seperti Singapura, Estonia, dan Inggris telah memformalkan skema kerja fleksibel bagi pegawai negeri, dengan indikator jelas: kepercayaan berbasis data.
ASN diberi target, lalu diberi ruang. Evaluasi dilakukan secara periodik berbasis hasil, bukan sekadar absen harian.
Indonesia, dengan jumlah ASN lebih dari 4,2 juta orang, memiliki tantangan tersendiri. Namun, justru karena skalanya besar, perubahan ke arah fleksibilitas dapat menciptakan dampak sistemik dan signifikan terhadap efisiensi birokrasi.
Salah satu hambatan utama dalam transisi ke skema kerja fleksibel adalah gaya kepemimpinan yang belum bertransformasi.
Banyak pimpinan masih berpikir dalam kerangka kontrol fisik dan dominasi hierarkis. Mereka merasa kehilangan otoritas ketika tidak bisa memanggil staf kapan pun di kantor.
Kepemimpinan ASN di masa depan harus beranjak dari model kontrol ke model kepercayaan. Pemimpin harus mampu mengelola tim secara digital, memotivasi melalui komunikasi yang efektif, dan mengevaluasi berdasarkan data hasil kerja. Ini bukan perkara sederhana, tapi sangat krusial.
Paradigma kepemimpinan birokrasi yang berhasil dalam skema kerja fleksibel bukan yang paling galak mengontrol, tapi yang paling lihai memberdayakan.
Meski fleksibilitas menjanjikan banyak manfaat, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap risiko ketimpangan.
ASN di daerah tertinggal, perbatasan, atau pulau terluar mungkin belum memiliki infrastruktur digital memadai. Jika tidak diantisipasi, maka skema kerja hybrid bisa menciptakan “kelas dua” dalam birokrasi: yang digital dan tertinggal.
Karenanya, kebijakan kerja fleksibel harus diiringi dengan peta jalan investasi infrastruktur digital, pelatihan keterampilan digital, dan standardisasi platform kerja. Ini pekerjaan rumah bersama antara LAN, Kemenpan-RB, BKN, dan instansi masing-masing.
Pertanyaan utamanya bukan lagi “apakah ASN boleh bekerja dari rumah”, tapi “bagaimana kita mendesain ulang sistem kerja agar ASN bisa memberikan kinerja terbaiknya, dari mana pun”.
ASN bukan sekadar pegawai administratif. Mereka adalah talenta strategis negara yang harus diberi ruang untuk berkembang dan berkontribusi.
Fleksibilitas kerja adalah jalan untuk menciptakan birokrasi yang lebih responsif, adaptif, dan relevan dengan zaman. ASN yang bisa bekerja secara fleksibel adalah ASN yang belajar mengelola waktu, disiplin tanpa diawasi, dan bekerja lintas batas birokrasi.
Menuju arsitektur kerja ASN masa depan
Masa depan kerja ASN tidak bisa hanya dibentuk lewat kebijakan sementara atau reaksi terhadap krisis. Ia memerlukan rancangan nasional yang terstruktur dan berpandangan jauh ke depan.
Birokrasi yang tangguh dan relevan hanya bisa tumbuh jika kita serius menata ulang cara kerja ASN. Arsitektur sistem kerja yang baru harus dibangun dengan pendekatan lintas sektor dan lintas jenjang pemerintahan.
Langkah pertama adalah melakukan klasifikasi menyeluruh terhadap jenis pekerjaan ASN. Tidak semua tugas menuntut kehadiran fisik di kantor, dan tidak semua dapat dijalankan secara daring.
Pekerjaan berbasis pelayanan publik langsung tentu membutuhkan kehadiran, tapi banyak jabatan fungsional bisa dilakukan secara hybrid. Tanpa klasifikasi ini, penerapan fleksibilitas kerja akan menjadi tidak adil dan sulit dikendalikan.
Langkah kedua adalah merombak sistem penilaian kinerja. Selama presensi fisik masih menjadi acuan utama, fleksibilitas kerja akan selalu diragukan.
Kinerja ASN harus diukur berdasarkan capaian kerja dan dampaknya terhadap masyarakat. Dengan demikian, kita bisa mendorong produktivitas sekaligus memperkuat akuntabilitas.
Ketiga, pemerintah perlu menghadirkan platform digital nasional yang seragam dan terintegrasi.
Saat ini, masing-masing instansi cenderung membangun sistem informasi sendiri yang tidak selalu kompatibel. Hal ini menghambat kolaborasi lintas sektor dan menyebabkan duplikasi data.
Sebuah workspace ASN nasional akan memungkinkan kerja bersama yang efisien dan transparan.
Keempat, kita perlu mengubah paradigma kepemimpinan dalam birokrasi. Pemimpin ASN masa depan harus mampu mengelola tim secara jarak jauh, dengan pendekatan yang lebih memberdayakan daripada mengontrol.
Mereka harus fasih dalam komunikasi digital dan manajemen kinerja berbasis kepercayaan. Kepemimpinan transformasional adalah kunci agar fleksibilitas kerja tidak berubah menjadi kekacauan.
Kelima, investasi dalam penguatan kapasitas ASN adalah pondasi dari semua ini. Literasi digital, manajemen waktu, dan etika kerja fleksibel perlu menjadi bagian dari kurikulum pelatihan nasional.
ASN sebagai talenta negara harus dibekali kompetensi agar mampu bekerja secara efektif dari mana saja. Tanpa ini, fleksibilitas hanya akan menjadi wacana yang gagal diterapkan.
Tag: #skema #kerja #masa #depan #hybrid #fleksibel #atau #kembali #kantor