



Harga Energi Terancam Naik, Industri Diminta Siaga Dampak Perang Israel-Iran
– Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, perang Iran-Israel bisa menyebabkan naiknya biaya produksi industri dan logistik serta pelemahan permintaan ekspor.
Oleh karena itu, ia meminta industri dalam negeri segera melakukan mitigasi risiko dampak perang Iran-Israel.
"Terutama (akibat) ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi," ujar Agus dilansir siaran pers Kemenperin, Rabu (18/6/2025).
"Karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati Timur Tengah yang sedang dilanda konflik terbuka saat ini," katanya.
Ilustrasi energi terbarukan.Menurut Menperin, energi bagi industri adalah sesuatu yang vital, tidak hanya sebagai sumber energi produksi, tetapi juga sebagai bahan baku dalam proses produksi.
Karena itu, ia meminta industri manufaktur lebih efisien dalam menggunakan energi selama proses produksi.
Pelaku industri juga diharapkan segera melakukan diversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi.
"Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan," ungkap Agus.
“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” lanjutnya.
Ia kemudian menjelaskan, dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi global.
Pasalnya, Timur Tengah adalah penghasil minyak utama yang menyumbang hampir 30 persen produksi global, sehingga pasar menjadi waspada.
Selain itu, gangguan pada produksi energi Iran—yang mencapai 3,2 juta barel per hari—berpotensi memicu gangguan pasokan sekaligus fluktuasi harga energi di pasar internasional.
Saat ini, harga minyak Brent telah berfluktuasi antara 73 hingga 92 dollar AS per barel pasca meletusnya perang Iran-Israel.
Volatilitas harga energi dunia semakin tinggi seiring munculnya ancaman penutupan Selat Hormuz yang menjadi urat nadi jalur pasokan energi global.
"Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, serta gangguan rantai pasok bahan baku," tambah Agus.
Di sisi lain, perang antara Israel dan Iran dapat memicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara importir minyak mentah.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, jika konflik antara Israel dan Iran semakin memanas dan meluas, maka harga minyak dunia akan melambung.
Saat serangan Israel ke Iran dimulai pada Jumat (13/6/2025), harga minyak mentah Brent langsung melonjak 13 persen ke level 78,50 dollar AS per barrel, tertinggi sejak awal 2025.
Maka, kata Fahmy, jika perang di Timur Tengah semakin memanas, tidak menutup kemungkinan harga minyak mentah dunia bisa mencapai 100 dollar AS per barrel.
JP Morgan, lanjutnya, bahkan memproyeksikan kenaikan harga minyak dunia bisa melonjak ke 130 dollar AS per barrel jika eskalasi perang meluas hingga Iran menutup Selat Hormuz—jalur utama pengangkutan minyak dunia.
Fahmy mengatakan, dalam kondisi tersebut, pemerintah akan dihadapkan pada dilema dalam menetapkan harga BBM di dalam negeri. Jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan membengkak.
Sementara itu, jika harga BBM subsidi dinaikkan, hal ini akan memicu inflasi dan mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya beli masyarakat serta menekan pertumbuhan ekonomi.
Tag: #harga #energi #terancam #naik #industri #diminta #siaga #dampak #perang #israel #iran