Duduk Perkara Polemik Perbedaan Penghitungan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
Ilustrasi kemiskinan. Bank Dunia mencatat 60,3 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin jika dihitung menggunakan standar negara berpendapatan menengah atas()
10:12
17 Juni 2025

Duduk Perkara Polemik Perbedaan Penghitungan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia

- Penghitungan garis kemiskinan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia (World Bank) belakangan menjadi isu yang diperdebatkan.

Mulanya, perdebatan muncul ketika Bank Dunia merilis laporan Macro Poverty Outlook 2025 yang dirilis pada 10 April lalu.

Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mengelompokkan ekonomi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi menengah ke atas (upper middle income country).

Dengan dimikian formula penghitungan garis kemiskinan yang dipakai Bank Dunia adalah pendapatan penduduk 6,85 dollar AS atau setara Rp 111.600 (kurs Rp 16.290) per kapita per hari.

Artinya, penduduk yang penghasilannya tak sampai 6,85 dollar AS per hari merupakan penduduk miskin versi Bank Dunia.

Dengan formula di atas, per 2024 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen.

Data ini menurun tipis bila dibandingkan pada tahun 2023, di mana angka kemiskinan di Indonesia versi Bank Dunia sebanyak 61,8 persen.

Berbeda dengan Data BPS

Hal ini kemudian menjadi perdebatan lantaran jumlah penduduk miskin Indonesia menurut versi BPS jauh lebih sedikit dari hitung-hitungan Bank Dunia.

Data resmi dari BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Perbedaan ini karena metode penghitungan BPS berbeda dengan Bank Dunia. BPS mengacu pada garis kemiskinan nasional per kapita sebesar Rp 595.242 per bulan.

Sementara penghitungan penduduk miskin Bank Dunia mengacu pada garis kemiskinan 6,85 dollar AS per hari sesuai paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) 2017 untuk negara dengan ekonomi menengah ke atas.

Perubahan PPP 2021 Sebabkan Lonjakan Penduduk Miskin

Kemudian, per Juni lalu, Bank Dunia resmi mengubah acuan penghitungan garis kemiskinan dari PPP 2017 menjadi PPP 2021.

Dengan demikian terjadi kenaikan garis kemiskinan dari laporan April 2025, dari semula 6,85 dollar AS menjad 8,30 dollar AS per kapita per hari untuk negara dengan ekonomi menengah ke atas.

Alhasil jumlah penduduk miskin nasional mengalami kenaikan, dari semula mengalami penurunan.

Menurut hitungan PPP 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 68,25 persen dari total penduduk pada 2024 atau 194,67 juta jiwa.

Angka tersebut meningkat dibandingkan perhitungan menggunakan PPP 2017 yang sebanyak 60,3 persen dari total penduduk Indonesia.

Ekonom Minta BPS Revisi Garis Kemiskinan

Perbedaan data yang sangat signifikan itu, dinilai ekonom karena garis kemiskinan yang digunakan BPS tak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, sejak 1976, indikator pengukuran garis kemiskinan oleh BPS tidak mengalami perubahan.

Berbeda dengan lembaga internasional seperti Bank Dunia yang secara rutin menyesuaikan indikator kemiskinan berdasarkan PPP yang mengikuti perubahan konsumsi dan biaya hidup masyarakat.

Oleh karenanya, Bhima mendesak agar BPS segera mengubah indikator perhitungan garis kemiskinan nasional agar sesuai dengan kondisi realitas masyarakat Indonesia saat ini, yang sudah banyak berubah dalam 50 tahun terakhir.

"BPS perlu segera melakukan revisi garis kemiskinan dengan ajak akademisi independen dan lembaga internasional," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (10/6/2025).

Menurutnya, perubahan ini perlu dilakukan BPS karena data yang dirilis BPS menjadi acuan pemerintah untuk menyusun kebijakan, dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda utama pemerintah.

"Khawatirnya, jumlah orang miskin yang understated berisiko membuat bantuan sosial tidak meng-cover penduduk yang sebenarnya masuk kategori miskin," ucapnya.

Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Dia menilai standar garis kemiskinan BPS terlalu rendah sehingga tidak mencerminkan realitas.

Bahkan, standar kemiskinan yang tidak tepat dapat berisiko membuat pemerintah menjadi lengah menurunkan rasio kemiskinan karena merasa angka kemiskinan rendah, sedangkan realitas yang terjadi justru sebaliknya.

"Benchmark yang terlalu rendah ini membuat kita complacent, tidak all out memberantas kemiskinan. Cukup dengan memberikan bansos sedikit saja, puluhan juta orang terangkat ke atas garis kemiskinan tersebut," ucapnya kepada Kompas.com.

Pemerintah Berencana Ubah Garis Kemiskinan Nasional

Rupanya, pembahasan mengenai perubahan garis kemiskinan nasional telah dikaji oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN).

Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, upaya mengkaji ulang garis kemiskinan ini dilakukan karena pihaknya menilai standar yang digunakan saat ini memang harus diubah.

"Jadi bukan menandakan tidak baik, tapi memang angka ini setelah perubahannya harus betul-betul dilihat lagi. Dan itu saya kira sudah kita siapkan laporannya pada Presiden. Tidak ada yang aneh disini, tapi harus memang dilakukan perubahan," ujarnya saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025).

Saat ini DEN tengah menyiapkan laporan pengkajian garis kemiskinan baru untuk dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto. Meski masih belum dapat dipastikan, diperkirakan kajian garis kemiskinan yang baru dapat diumumkan tahun ini karena data kajiannya saat ini sudah cukup lengkap.

"Sehingga kita tidak perlu kaget-kaget, kita berharap nanti mungkin kalau Presiden setuju, angka-angkanya bisa keluar nanti dan pidato Presiden mungkin akan lebih mencerminkan angka yang sebenarnya," tukasnya.

Menurut anggota DEN Arief Anshory Yusuf yang melakukan kajian garis kemiskinan nasional di DEN, garis kemiskinan BPS seharusnya dinaikkan menjadi Rp 765.000 per kapita per bulan.

Sebab garis kemiskinan yang selama ini digunakan BPS terlalu rendah karena hanya sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional yang sebesar Rp 546.400 per bulan.

"Dengan jarak kurang dari Rp 50.000 per bulan (dengan garis kemiskinan ekstrem internasional), ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, dikutip Kamis (12/6/2025).

Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan nasional dapat menciptakan ilusi kemajuan dan berisiko menyesatkan arah kebijakan karena tidak mencerminkan kondisi riil di masyarakat.

Namun, di sisi lain, dia menilai kondisi Indonesia yang baru saja masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas masih belum sesuai jika harus mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas.

Pasalnya, GNI per kapita Indonesia yang sebesar 4.580 dollar AS lebih mendekati batas bawah garis kemiskinan bagi negara berpendapatan menengah ke atas yang sebesar 4.466 dollar AS.

Oleh karenanya, Arief mengusulkan agar Indonesia meramu standar garis kemiskinan sendiri mengikuti standar negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country) dari Bank Dunia, yakni 4,20 dollar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 765.000 per bulan.

"Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini Rp 595.000, namun masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas (UMIC) sebesar Rp 1,5 juta," ungkapnya.

Sementara itu, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tengah mendalami garis kemiskinan nasional sebagai bagian dari penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Sebab pada tahun depan pemerintah masih memfokuskan kebijakan untuk menghapus tingkat kemiskinan di Indonesia terutama kemiskinan ekstrem.

Oleh karenanya, berbagai indikator kemiskinan mulai dari garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan ekstrem nasional, hingga indeks modal manusiaini menjadi bagian dari agenda pembahasan dengan DPR sebagai masukan penting dalam penyusunan RAPBN 2026.

"Kemiskinan ekstrem, tingkat kemiskinan, maupun indeks modal manusia. Seluruh indikator ini saat ini kita sedang diskusikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan di bulan Juli nanti akan menjadi masukan bagi pemerintah ketika pemerintah membuat RAPBN 2026 yang akan disampaikan pada bulan Agustus," ujarnya saat acara "Kadin Global & Domestic Economic Outlook 2025" di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Penjelasan Bank Dunia

Atas berbagai perdebatan yang telah terjadi belakangan ini, Bank Dunia justru menilai garis kemiskinan yang dirilis BPS lebih relevan untuk Indonesia.

Dalam lembar fakta bertajuk “The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia”, dikutip di Jakarta, Senin (16/6/2025), Bank Dunia menyebutkan bahwa garis kemiskinan nasional tetap menjadi yang paling tepat untuk menjadi acuan pengambilan kebijakan suatu negara.

Sementara data yang dirilis Bank Dunia merupakan pengukuran internasional yang bertujuan untuk menjadi tolok ukur dalam memantau kondisi kemiskinan global serta membandingkan kondisi kemiskinan satu negara dengan negara lainnya.

Perbedaan itu pun bersifat intensional. Bank Dunia sengaja menggunakan pendekatan pengukuran yang berbeda dengan pendekatan pemerintah tiap negara, mengingat perbedaan tujuan dari kedua pengukuran.

"Garis kemiskinan nasional disusun oleh pemerintah dan disesuaikan untuk konteks spesifik suatu negara. Data tersebut digunakan untuk pengambilan kebijakan pada tingkat nasional, seperti dukungan terhadap kelompok miskin," tulis Bank Dunia.

Tag:  #duduk #perkara #polemik #perbedaan #penghitungan #garis #kemiskinan #bank #dunia

KOMENTAR