Ironi Efisiensi: Obral dan Rangkap Jabatan Rencana Badan Pajak
Ilustrasi pajak penghasilan berapa persen sebagaimana diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).(Muhammad Idris/Money.kompas.com)
06:08
17 Juni 2025

Ironi Efisiensi: Obral dan Rangkap Jabatan Rencana Badan Pajak

DEWAN Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Bidang Perpajakan Edi Slamet Irianto merilis ke media struktur organisasi lembaga perpajakan yang konon akan diberi nama Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN).

Edi Slamet Irianto dikenal sebagai pensiunan dengan jabatan terakhir kepala kantor wilayah DJP Jakarta Utara, dan saat ini sebagai Guru Besar bidang hukum pajak di Universitas Sultan Agung, Semarang.

Sejak lama ditengarai para pejabat DJP bergerilya dari satu kandidat presiden ke kandidat presiden lainnya hingga partai politik, untuk membawa gagasan pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan.

Publik tentunya bertanya apa motif pemisahan itu, meskipun para penggagas selalu menampilkan argumentasi rasional.

Argumentasi yang digunakan adalah asumsi bahwa pemisahan organisasi DJP dari Kemenkeu akan membawa dampak kenaikan pajak yang bisa dipungut untuk mencapai target ambisius Presiden Prabowo mencapai angka tax ratio sebesar 23 persen.

Tax ratio 23 persen berarti pajak yang dipungut sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pendapat bahwa pemisahan organisasi akan meningkatkan pajak yang dipungut adalah argumentasi “ante factum”, atau istilah sarkastik yang dapat digunakan adalah “utopia” atau baru sebatas harapan.

Dengan bahasa lain, argumentasi kenaikan pajak hanya akan terjadi jika terjadi pemisahan organisasi adalah asumsi yang belum terjadi sama sekali.

Analis yang membawa usulan pemisahan organisasi itu tidak menyajikan data empiris dan historis yang terjadi di negara lain, misalnya, sebagai data “post factum”.

Apabila pengusul mampu menyajikan data “post factum” di negara lain, meskipun terjadi pada locus (tempat) dan tempus (waktu) yang berbeda, mungkin masih bisa diterima secara rasional.

Meskipun itu pun masih menyisakan perdebatan mengenai kondisi “cateris paribus” yang mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain.

Sehingga usulan pemisahan organisasi DJP dari Kementerian Keuangan adalah suatu perjudian kebijakan.

Para pengusul mencoba menarik Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat PNBP di Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) ke dalam tarian gagasannya mengenai pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan.

Hal itu tentunya akan menambah amunisi dukungan internal Kemenkeu terhadap gagasan pemisahan yang diusulkan.

Argumentasi ante factum itu terdegradasi dengan rilis yang dikeluarkan oleh Edi Slamet Irianto, di mana ada obral jabatan dan rangkap jabatan dalam struktur organisasi BOPN.

Publik menjadi makin skeptis. Saat skeptis pada argumentasi ante factum yang digaungkan, makin skeptis dengan obral jabatan dan rangkap jabatan. Publik menduga ada aroma tujuan memperbanyak jabatan semata.

Pejabat eselon bertambah bagaikan deret geometrik

Kepala Kantor Perwakilan BPOP yang saat ini disebut Kepala Kantor Wilayah DJP meningkat menjadi eselon 1b, dari sebelumnya eselon IIa.

Saat ini DJP memiliki 34 kantor wilayah. Peningkatan satu level akan berdampak menambah jabatan baru sebanyak perkalian 34 (dengan asumsi jumlah kantor perwakilan sama dengan kantor wilayah saat ini) dikalikan jumlah jabatan setiap level sebanyak kedalaman level.

Jika jumlah jabatan setiap level sebanyak 6 pejabat dan kedalaman level hingga 4 level (eselon IV), maka akan menambah jabatan baru sebanyak 34 pejabat eselon I, 204 pejabat eselon II, 1.224 pejabat eselon III, dan 7.344 pejabat eselon IV pada jabatan baru ((34x1)+(34x6)+(34x6x6)+(34x6x6x6)).

Hal itu belum menghitung berapa staf (pelaksana) setiap eselon IV. Jika ditentukan 6 staf (pelaksana) setiap eselon IV, maka kebutuhan pelaksana baru sebanyak 44.064 pelaksana.

Total kebutuhan pegawai baru di kantor perwakilan sebanyak 52.870 pegawai baru yang dapat direkrut.

Jika ditambah lagi kebutuhan pejabat fungsional, baik pemeriksa pajak, penilai pajak, pemeriksa bea cukai, analis PNBP, dan penyuluh pajak bisa lebih banyak lagi, ditentukan seberapa banyak kebutuhan jabatan fungsional setiap kantor perwakilan.

Perhitungan itu belum menghitung jabatan baru di kantor pusat BOPN, di mana jabatan eselon I dan eselon II bertambah banyak.

Lantas, berapa beban keuangan negara untuk membayar gaji dan tunjangan?

Publik dapat menghitungnya kira-kira berapa tambahan anggaran gaji dan tunjangan untuk 34 pejabat eselon I, 204 pejabat eselon II, 1.224 pejabat eselon III, 7.344 pejabat eselon IV, serta 44.064 pelaksana baru mengacu pada tabel gaji sesuai peraturan pemerintah mengenai gaji PNS dan tabel tunjangan kinerja DJP sesuai Perpres Nomor 37 Tahun 2015 Juncto Perpres Nomor 96 Tahun 2017.

Rangkap jabatan, ironi di tengah kebijakan efisiensi

Dalam artikel sebelumnya, penulis berpendapat bahwa sekurangnya terdapat empat undang-undang yang berpotensi dilanggar dalam rangkap jabatan pejabat.

Rancangan struktur organisasi BOPN yang beredar menempatkan Menko Perekonomian, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala PPATK sebagai anggota dewan pengawas. Sangat mirip dengan apa yang telah diimplementasikan di Danantara.

Obral jabatan dan rangkap jabatan tentunya berlawanan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang diimplementasikan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Jika akhirnya BOPN didirikan dengan struktur baru itu, maka berdampak pada pemborosan anggaran negara.

Sedangkan “ante factum” yang diharapkan (tax ratio sebesar 23 persen) belum tentu tercapai, meskipun dengan badan baru BOPN.

Berdirinya BOPN setidaknya berimplikasi pada tuntutan untuk mengubah beberapa undang-undang, yang paling utama adalah undang-undang tentang ketentuan umum perpajakan.

Perubahan undang-undang berimplikasi pada perubahan proses bisnis dan sistem yang tentunya sangat mahal.

Sedangkan sistem baru, yaitu “CORETAX DJP” masih terseok-seok melangkah meskipun telah menghabiskan lebih dari satu triliun rupiah untuk membangunnya.

Last but not least, meskipun mungkin saja rilis rancangan struktur organisasi BOPN yang beredar di media adalah suatu cara untuk tes ombak atau “testing the waters”, civil society mestilah mengkritisi.

Kritik dari civil society, baik melalui pers maupun di luar pers, tentunya menjadi riak dan ombak yang membuat perumus kebijakan dan penentu kebijakan (Presiden dan DPR) berpikir seribu kali mengimplementasikan rancangan yang digagas oleh Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Bidang Perpajakan.

Tag:  #ironi #efisiensi #obral #rangkap #jabatan #rencana #badan #pajak

KOMENTAR