



Sumitronomics dan Janji Negara Kesejahteraan: Jalan Lurus atau Ilusi Baru?
NAMA Prof. Sumitro Djojohadikusumo kembali menggema dalam wacana kebijakan publik Indonesia seiring naiknya istilah “Sumitronomics” ke permukaan.
Istilah ini muncul pascakemenangan Prabowo Subianto, putra Sumitro, dalam Pilpres 2024.
Diangkat sebagai arah baru pembangunan nasional, Sumitronomics diklaim menekankan peran negara sebagai motor pembangunan ekonomi, yang berpijak pada prinsip nasionalisme ekonomi, industrialisasi, dan proteksi terhadap kepentingan domestik.
Sebagai analis kebijakan publik, saya memandang kebangkitan wacana ini sebagai sesuatu yang layak diapresiasi—namun juga perlu diwaspadai.
Setiap gagasan besar mengandung dua wajah: inspirasi dan ilusi. Tugas kita hari ini adalah memilah antara keduanya dalam konteks ekonomi-politik Indonesia saat ini.
Negara kuat, tapi untuk siapa?
Gagasan Sumitro tentang negara sebagai aktor pembangunan sangat kontras dengan tren neoliberalisme yang dominan sejak Orde Baru.
Sumitro tidak percaya bahwa pasar bisa bekerja sendiri; ia menekankan perencanaan negara yang aktif, namun dengan syarat: kepemimpinan yang berintegritas dan birokrasi yang kompeten.
Namun, kita harus jujur mengakui: Indonesia hari ini belum memenuhi prasyarat itu. Laporan Transparency International (2023) menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Reformasi birokrasi stagnan, konflik kepentingan dalam kebijakan publik masih mengakar, dan elitisme politik makin menebal.
Bahkan, demokrasi kita disebut mengalami kemunduran (democratic backsliding) oleh beberapa lembaga riset internasional.
Dalam konteks ini, gagasan negara kuat bisa berubah arah: dari penggerak kesejahteraan menjadi mesin penguat oligarki.
Apakah Sumitronomics akan berpihak pada rakyat atau justru menjadi tameng kebijakan yang melanggengkan kuasa ekonomi-politik segelintir elite?
Buruh di tengah hilirisasi: Siapa yang diuntungkan?
Sumitronomics juga menjanjikan kebangkitan industrialisasi dan hilirisasi sebagai jalan keluar dari ketergantungan ekspor bahan mentah.
Ini, secara prinsip, adalah langkah benar. Namun, apakah output ekonomi ini juga menciptakan “outcome sosial” yang berkeadilan?
Mari lihat fakta lapangan. Laporan BPS 2024 menunjukkan bahwa 58 persen angkatan kerja masih berada di sektor informal.
Bahkan di sektor formal seperti manufaktur dan transportasi digital, praktik kerja kontrak, tanpa jaminan sosial, dan upah minimum masih menjadi standar.
Hilirisasi yang digadang-gadang meningkatkan nilai tambah ternyata masih menyisakan ketimpangan: pendapatan naik di atas, stagnan di bawah.
Contohnya, sementara pekerja tambang di Morowali atau Ternate menerima upah seadanya, perusahaan dan investor asing menikmati margin besar dari ekspor bahan setengah jadi.
Jika Sumitronomics ingin relevan, ia harus berbicara tentang kerja layak (decent work), perlindungan sosial, dan jaminan penghidupan minimum—bukan hanya neraca ekspor dan pertumbuhan angka GDP.
Dalam lanskap politik pasca-Pemilu 2024, Indonesia menghadapi kondisi paradoks: koalisi politik yang semakin besar, tapi ruang partisipasi publik semakin kecil.
Sentralisasi kekuasaan, lemahnya oposisi parlemen, dan minimnya pengawasan terhadap program strategis nasional dapat melahirkan kebijakan yang antikritik dan tidak adaptif.
Dalam konteks inilah saya menyampaikan kekhawatiran: jika Sumitronomics hanya menjadi alat legitimasi politik tanpa dibarengi reformasi struktural, maka ia hanya akan menjadi slogan kampanye berikutnya.
Rakyat tidak butuh jargon; mereka butuh keberpihakan yang nyata dalam bentuk kebijakan afirmatif terukur dan berkelanjutan.
Sebagaimana diingatkan oleh Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi “Pembangunan ekonomi yang tak menyertakan keadilan sosial hanya akan mempercepat keruntuhan sosial.”
Jalan ke depan: Dari narasi ke reformasi
Sumitronomics, jika ingin bermakna, harus bertransformasi dari retorika ke arah reformasi kebijakan yang menyentuh kehidupan rakyat. Sekurang-kurangnya ada tiga agenda yang mendesak.
Pertama, audit sosial dan fiskal atas semua proyek strategis nasional, terutama hilirisasi, dari kacamata dampak terhadap pekerja, lingkungan, dan daerah.
Kedua, penting untuk melakukan penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi daerah, agar peran negara tidak dibajak oleh dinasti politik atau kroni pengusaha lokal.
Ketiga, pemulihan ruang demokrasi partisipatif, di mana masyarakat sipil, akademisi, buruh, dan petani dilibatkan dalam merumuskan arah pembangunan jangka panjang, baik di nasional maupun d daerah-daerah.
Sebagai negara yang besar, Indonesia butuh gagasan besar. Namun lebih dari itu, kita butuh keberanian untuk membumikan gagasan besar itu menjadi kebijakan yang berpihak pada mereka yang paling tidak bersuara.
Sumitronomics bisa menjadi fondasi ekonomi nasional yang progresif dan berdaulat. Namun, jika tidak dikawal dengan etika publik, partisipasi rakyat, dan keberpihakan kepada buruh (marginal), maka ia akan tumbang di tangan elite yang hanya ingin mengganti baju ideologi untuk melanggengkan kekuasaan.
Karena sejatinya, keadilan sosial bukan soal wacana. Ia adalah pekerjaan harian—dan rakyatlah yang paling tahu apakah negara hadir atau tidak di meja makan mereka.
Tag: #sumitronomics #janji #negara #kesejahteraan #jalan #lurus #atau #ilusi #baru