



Sudah Bayar Premi, Masih Harus Bayar Lagi? Peserta Asuransi Keberatan Aturan Baru OJK
- Peserta asuransi kesehatan keberatan dengan adanya aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan produk asuransi kesehatan memiliki skema co-payment dalam layanan rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit.
Sebagai informasi, dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan diatur produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment).
Pembagian risiko ini ditanggung oleh pemegang polis dan peserta dimana bagian tanggungan perserta paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim.
Adapun batas maksimum yang ditanggung peserta untuk rawat jalan sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim asuransi. Sementara untuk rawat inap maksimal sebesar Rp 3 juta per pengajuan klaim.
Salah seorang peserta asuransi kesehatan swasta, Ave (25 tahun), menyatakan keberatan akan aturan ini. Sebab sebagai karyawan swasta, dia secara rutin membayar premi asuransi dari memotong gaji setiap bulan dengan harapan asuransi kesehatan bisa menjadi dana cadangan yang dibutuhkan ketika sakit.
"Saya paham, mungkin niatnya adalah membagi risiko secara proporsional. Tapi apa adil, ketika peserta sudah bayar premi rutin tanpa pernah klaim bertahun-tahun, lalu saat klaim justru diminta berbagi risiko? Apa gunanya ikut asuransi kalau akhirnya tetap harus keluar uang juga, bahkan di masa paling rentan seperti sedang sakit?" ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (4/6/2025).
Dengan adanya skema co-payment ini dia menjadi merasa terbebani karena ketika sakit seharusnya bisa langsung mendapatkan pertolongan namun masih harus mengurus merogoh kocek lagi. Belum lagi proses mengurus klaim asuransi terkadang juga membutuhkan tenaga.
"Ini bukan soal saya keberatan bayar segitu, tapi soal prinsip dan rasa keadilan. Saat kita sakit, kondisi fisik, mental, dan finansial itu sama-sama rapuh. Bukannya mendapat kepastian dan rasa tenang dari asuransi yang sudah kita percayai, kita malah dihadapkan lagi pada beban tambahan," imbuhnya.
Oleh karenanya, dia berharap agar OJK mengkaji kembali aturan ini dengan mempertimbangkan dari sisi peserta asuransi kesehatan.
"Buat saya, ini bukan sekadar aturan teknis. Ini soal bagaimana negara dan industri keuangan memperlakukan warganya, apakah dengan empati, atau hanya logika untung-rugi semata. Karena sakit itu bukan pilihan. Tapi kepercayaan bisa hilang kalau rasanya dibiarkan sendirian menghadapi semuanya," tukasnya.
Demikian juga dengan Krisna (31 tahun), karyawan swasta ini mengambil asuransi kesehatan dengan tujuan agar memiliki proteksi ketika tiba-tiba sakit atau membutuhkan layanan kesehatan.
Dia bilang, dengan adanya aturan baru ini justru menjadi bertambah bebannya. Terlebih di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) tentu dana yang dimiliki akan sangat berharga.
"Saya keberatan dengan adanya regulasi ini, karena ini menyimpang dari tujuan saat untuk memiliki asuransi. Peraturan ini mulai dijalankan saat situasi ekonomi negara sedang tertekan berat ," kata dia.
Kendati demikian, aturan baru ini tidak membuat Krisna enggan memiliki asuransi kesehatan karena bagaimanapun dia tetap membutuhkan proteksi kesehatan.
Namun menurutnya, aturan ini justru akan membuat orang lain yang ingin mendaftar asuransi kesehatan menjadi menyurutkan keinginannya.
"Menurut saya adanya peraturan bukan membuat pemegang polis enggan tetapi justru akan menghambat minat orang-orang untuk memiliki asuransi kesehatan. Padahal asuransi kesehatan itu penting," ucapnya.
Oleh karenanya, dia meminta OJK mengkaji kembali aturan ini.
"Menurut saya aturan ini sebaiknya dikaji lagi sebab ini berbeda dengan tujuan awal pemegang polis saat akan memiliki asuransi. Meski alasan OJK adalah untuk pembagian risiko antara perusahaan asuransi dan pemegang polis tetapi dalam hal ini pemegang polis yang makin dirugikan," tuturnya.
Respons YLKI
Hal yang sama juga diminta oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang mengkritik aturan baru OJK yang mewajibkan peserta asuransi kesehatan ikut menanggung biaya klaim sedikitnya 10 persen dari total pengajuan klaim.
Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo, mengatakan bahwa YLKI mengkritik perubahan aturan asuransi kesehatan tersebut karena seharusnya klaim peserta asuransi dijamin 100 persen oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen.
Selain itu, ketentuan baru ini juga akan merugikan peserta asuransi yang sudah telanjur mengontrak polis dengan pihak asuransi karena terjadi perubahan mendadak yang merugikan mereka.
"YLKI meminta OJK mengkaji ulang aturan pembebanan biaya 10 persen tersebut. Tentu ini berdampak besar terhadap konsumen yang sudah berjalan," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (4/6/2025).
Menurut dia, OJK perlu mengkaji kembali aturan tersebut karena dapat menimbulkan kerancuan atas kontrak polis yang sudah telanjur disepakati oleh peserta dan pihak asuransi.
"Aturan OJK bisa mengubah proses bisnis di luar kontrak polis. Sebab, konsumen sudah menandatangani kontrak polis di awal asuransi, namun OJK bisa mengeluarkan aturan mengenai kenaikan iuran maupun aturan lain," jelasnya.
Tag: #sudah #bayar #premi #masih #harus #bayar #lagi #peserta #asuransi #keberatan #aturan #baru