Hasil Kelola Dana Sawit: Siapa Untung, Siapa Buntung?
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit(freepik.com)
13:56
19 Februari 2025

Hasil Kelola Dana Sawit: Siapa Untung, Siapa Buntung?

SEJAK resmi didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang pada awal 2025 ini mengalami perubahan nomenklatur menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) telah menghimpun dan mengelola dana kelapa sawit sebesar Rp 172,31 Triliun.

BPDP melalui perpres tersebut diberi kewenangan mengelola dana sawit dari hasil pungutan ekspor Crued Palm Oil (CPO) lalu disalurkan kembali dengan tujuan menciptakan tata kelola industri sawit berkelanjutan.

Namun, dengan jumlah dana jumbo yang telah dikelola tersebut, apakah tata kelola kelapa sawit kita benar-benar berkembang, atau justru semakin melenceng dari tujuan awal? Sejauh mana dana kelapa sawit bisa membantu produktifitas petani sawit?

Pada Senin (17/2/2025) lalu, penulis berkesempatan mengikuti kegiatan Rapat Dengar Pendapat antara Komisi XI DPR RI dengan Direktur Utama BPDP. Rapat tersebut membahas Laporan Kinerja BPDP pada 2024.

Dari hasil paparan yang disampaikan BPDP menunjukkan bahwa pengelolaan dana sawit tersebut lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar ketimbang petani kecil yang mayoritas mengelola perkebunan sawit.

Hal ini terlihat dari kebijakan alokasi penyaluran dana hasil pungutan terhadap ekspor kelapa sawit selama lima tahun terakhir, yang didominasi pemberian insentif biodiesel kepada pengusaha, ketimbang kebijakan afirmatif untuk melibatkan petani sawit dalam skema biodiesel.

Selama lima tahun terakhir, BPDPKS telah menyalurkan dana sebesar Rp 177,28 triliun untuk insentif biodiesel kepada taipan kelapa sawit seperti Wilmar, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle, Sinarmas, Jhonlin dll.

Padahal, dari total luas perkebunan sawit yang 16,8 juta hektare, luas kebun sawit petani rakyat mencapai 6,7 juta hektare.

BPDP berdalih petani sawit tidak punya infrastruktur maupun sarana mumpuni untuk memproduksi biodiesel. Maka lebih memilih mengucurkan subsidi dana sawit biodiesel kepada perusahaan perkebunan yang memiliki fasilitas pemurnian metil ester asam lemak (FAME).

Setali tiga uang dengan itu, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas petani sawit selama lima tahun terakhir, hanya tersalurkan sebesar Rp 10,29 triliun.

Kondisi ini semakin diperparah dengan susahnya petani kecil mengakses dana PSR. Petani sering kali terjebak dalam birokrasi rumit dan tidak transparan.

Banyak petani mengeluhkan bahwa proses pengajuan dana untuk program PSR terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan akses.

Biaya PSR yang mencapai Rp 30 juta/Ha juga dianggap lebih rendah dengan biaya wajar peremajaan yang mencapai Rp 60 juta/Ha.

Hasilnya, realisasi PSR selalu jauh dari target yang ditetapkan. Total realisasi PSR selama lima tahun terakhir adalah 402.600 hektare atau 37,22 persen dari total target yang ditetapkan, yaitu 1.080.000 hektare.

Terbaru, berdasarkan data GAPKI selama tahun 2024 dari target PSR tahun 2024 seluas 120.000 hektare, baru 38.000 hektare yang tercapai.

Ketimpangan dalam mengakses dana sawit ini pada akhirnya melenceng dari semangat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Penggunaan dana yang dikelola oleh BPDP tersebut telah diatur untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit, seperti melalui peremajaan kebun, pengembangan SDM, riset, dan lain sebagainya.

Sementara, penyaluran dana untuk membayar subsidi biodiesel ke perusahaan sawit sebenarnya tidak tercantum di UU.

Pemakaian dana BPDPKS untuk kebutuhan pembiayaan bahan bakar nabati baru dimunculkan dalam Peraturan Presiden No 66 Tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan dan Kelapa Sawit serta Peraturan Menteri ESDM No 45 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.

Lebih lanjut, kebijakan insentif biodiesel bertujuan mengurangi impor ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mendukung penggunaan energi terbarukan.

Sayangnya, alih-alih mampu menekan impor solar, nyatanya, volume impor solar dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dari 3,180 juta KL pada 2020, menjadi 7,582 juta KL pada 2024.

Ditambah lagi mulai 1 januari 2025, pemerintah secara resmi menaikkan persentase minyak sawit ke dalam solar menjadi 40 persen alias program Biodiesel 40.

Dengan dalih mempercepat transisi energi, program tersebut berpotensi menciptakan deforestasi 1,57 juta hektare atau setara dengan luas dua kali Provinsi Banten.

Akar masalah

Akar masalahnya ada pada model kelembagaan BPDP dan cara mereka mengelola dana. Meski berstatus sebagai badan layanan umum dan dipimpin pejabat non-eselon di bawah Kementerian Keuangan, tetapi pengambil keputusan badan itu berada di tangan Komite Pengarah.

Kebijakan alokasi dana sawit yang didominasi oleh insentif biodiesel ketimbang program PSR dirancang oleh Komite Pengarah yang dipimpin oleh Menko Perekonomian dengan beranggotakan kementerian teknis serta dapat mengundang narasumber dari pihak perusahaan besar dalam setiap pengambilan keputusan dan diawasi oleh Dewan Pengawas yang salah satu anggotanya berasal unsur dari perusahaan besar.

Sementara unsur petani sawit tidak diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di struktur kelembagaan BPDP.

Praktis BPDP hanya berperan sebagai juru tagih dan juru bayar tanpa memiliki otonomi yang cukup untuk mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan petani sawit.

Problem kedua adalah pengelolaan dana sawit yang dikenal sebagai on budget off treasury: pungutan dicatat sebagai penerimaan negara, tapi tidak masuk kas negara dan dialokasikan langsung terbatas ke program-program yang telah ditentukan oleh Komite Pengarah.

Sehingga negara tidak bisa merealokasi penerimaan tersebut ke sektor-sektor yang lebih produktif.

Perpaduan model kelembagaan yang timpang dan mekanisme pengelolaan dana yang pincang itu semakin membuat tata kelola dana sawit semakin jauh dari kata ideal.

Pengelolaan dana sawit di Indonesia saat ini menunjukkan ketidakadilan yang signifikan antara korporasi besar dan petani.

Ditambah lagi ambisi pemerintah untuk menambah kandungan nabati dalam Biodisel menjadi 40 persen semakin membuat negara berada dalam ancaman kerusakan alam karena deforestasi.

Perlu ada upaya perbaikan untuk menciptakan tata kelola dana sawit yang baik dan berkelanjutan.

Utamanya mengenai aspek kelembagaan BPDP, baik dalam keterlibatan petani dalam pengambilan kebijakan maupun struktur pengelolaan dana, sehingga petani kecil dapat merasakan manfaat yang seharusnya mereka dapatkan.

Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan industri kelapa sawit yang lebih adil bagi petani sawit dan berkelanjutan bagi semua.

Tag:  #hasil #kelola #dana #sawit #siapa #untung #siapa #buntung

KOMENTAR