Sudah Cukupkah Definisi Kemiskinan?
Seorang warga berjalan di titian rumahnya di Kampung Pojok, Kecamatan Penjaringan, Jakarta, Senin (5/2/2024). Pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi 0 persen pada 2024, setelah mengalami penurunan 1,12 persen pada 2023. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
08:08
7 Februari 2025

Sudah Cukupkah Definisi Kemiskinan?

PADA pertengahan Januari 2025, BPS mengumumkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan.

Berdasarkan data per September 2024, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 8,57 persen, turun 0,46 persen poin dibandingkan Maret 2024.

Jika dibandingkan dengan Maret 2023, persentase ini mengalami penurunan sebesar 0,79 persen poin.

Selain itu, jumlah penduduk miskin pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang, berkurang 1,16 juta orang dibandingkan Maret 2024, serta turun 1,84 juta orang dibandingkan Maret 2023.

Dengan melakukan disagregasi antara perkotaan dan perdesaan, terdapat perbandingan yang cukup signifikan.

Di wilayah perkotaan, terdapat 6,66 persen penduduk miskin. Sementara itu, kondisi perdesaan memiliki tingkat kemiskinan sebesar 11,34 persen.

Dengan melihat jumlah penduduk miskin, terdapat 11,05 juta penduduk miskin di perkotaan dan 13,01 juta penduduk miskin di perdesaan.

Definisi kemiskinan yang digunakan adalah berdasarkan tingkat pengeluaran, yaitu Rp 595.242 per kapita per bulan.

Garis kemiskinan ini terbagi menjadi Rp 443.433 per kapita per bulan untuk makanan dan Rp 151.809 per kapita per bulan untuk nonmakanan.

Artinya, jika ada rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di bawah angka tersebut, maka satu keluarga dikelompokkan sebagai keluarga miskin.

Penurunan persentase kemiskinan ini menjadi catatan positif untuk Indonesia. Dibandingkan dengan kondisi sebelum COVID-19 (September 2019), kondisi ini telah menunjukkan perbaikan.

Pada September 2019, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 9,22 persen. Kemudian, angka ini sempat naik menjadi 10,19 persen (September 2020).

Setelah itu, angka ini turun menjadi 9,71 persen (September 2021), 9,57 persen (September 2022), dan terus mengalami perbaikan.

Ketimpangan

Sementara itu, ketimpangan di Indonesia justru tidak mengalami perbaikan. Tingkat ketimpangan biasanya diukur dengan Gini index. Secara sederhana, Gini index menunjukkan sebuah rasio.

Gini index dengan nilai 0 (nol) menunjukkan bahwa seluruh orang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang sama.

Sedangkan Gini index nilai 1 (satu) menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan sempurna. Hanya ada satu orang yang memiliki seluruh pendapatan atau pengeluaran. Sedangkan yang lain tidak memiliki sama sekali.

Makin tinggi nilai Gini index, maka makin buruk kondisi komunitas atau negara tersebut.

Sebagai catatan, Gini index adalah 0,381 pada September 2024. Nilai ini justru mengalami kenaikan dari Maret 2024 (0,379). Namun dibandingkan pada Maret 2023, nilai Gini index mengalami penurunan dari 0,388 (Maret 2023).

Fakta menariknya adalah bahwa Gini Index cenderung stagnan atau tidak mengalami perubahan signifikan berdasarkan data periode 2021 hingga 2024.

Dibandingkan dengan dekade sebelumnya, nilai Gini Index pada 2010 tercatat sebesar 0,378, kemudian meningkat menjadi 0,414 pada 2014. Pada 2019, sebelum pandemi COVID-19, angkanya turun menjadi 0,380.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan dalam 15 tahun terakhir.

Jika dibandingkan dengan penurunan angka kemiskinan, perkembangan Gini Index ini kurang menggembirakan. Ini menjadi pertanyaan besar untuk kita semua.

Pada dasarnya, kita berharap bahwa tren penurunan tingkat kemiskinan juga sejalan dengan penurunan Gini index.

Perbedaan tren

Perbedaan tren antara tingkat kemiskinan dan ketimpangan ini menjadi pertanyaan besar.
Namun sebenarnya perbedaan ini dapat dijelaskan dengan mudah.

Dua hal (kemiskinan dan ketimpangan) tersebut pada dasarnya obyek yang sama. Namun, dua hal tersebut memiliki fokus yang berbeda satu sama lain.

Tingkat kemiskinan biasanya diukur dengan Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan membagi seluruh rumah tangga menjadi dua kategori, yaitu rumah tangga miskin dan rumah tangga tidak miskin.

Sedangkan Gini index dihitung dengan membandingkan tiap pasangan pendapatan (dalam konteks Indonesia adalah pasangan pengeluaran).

Misalnya, rumah tangga A dengan pengeluaran sebesar Rp 2 juta per bulan, rumah tangga B dengan pengeluaran Rp 3 juta per bulan, dan rumah tangga C dengan pengeluaran Rp 5 juta per bulan.

Dengan demikian, terdapat perbedaan sebesar Rp 1 juta antara rumah tangga A dan B, Rp 3 juta antara rumah tangga A dan C, dan Rp 2 juta antara rumah tangga B dan C.

Kemudian perbedaan tersebut dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran secara keseluruhan.

Dengan konsep ini, ketika antarrumah tangga di Indonesia terjadi banyak perbedaan pengeluaran, maka Gini index akan cenderung meningkat.

Konsep Gini index lebih menunjukkan pengukuran dalam satu populasi. Tidak hanya mengukur perbedaan pengeluaran pada rumah tangga miskin. Namun, Gini index juga mengukur perbedaan pengeluaran pada rumah tangga nonmiskin.

Dalam bahasa sederhana, apa yang terjadi pada distribusi rumah tangga nonmiskin akan berpengaruh terhadap Gini index.

Sejak pertengahan 2024, publik di Indonesia ramai berdiskusi tentang penurunan kelas menengah. Selain itu, jumlah masyarakat yang masuk kembali ke kelompok rentan miskin juga mengalami peningkatan.

Tidak hanya itu, ketimpangan juga terjadi karena ada sebagian kelompok kecil masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi. Ini terlihat dari 1 persen kelompok teratas atau 0,1 persen kelompok teratas yang biasanya memiliki perbedaan sangat signifikan.

Data ini menunjukkan bahwa banyak fenomena yang berpengaruh terhadap perhitungan Gini index.

Mengubah Key Performance Indicator (KPI)

Sebagai penutup, kita harus melakukan refleksi terhadap pengukuran kemiskinan.
Dalam analogi sederhana, sudah lumrah bagi organisasi memiliki target KPI tiap tahun.

Karyawan di perusahaan pasti paham bahwa tiap tahun mereka diberikan target tertentu untuk mengukur prestasi.

Dalam konteks ini, apakah Garis Kemiskinan masih relevan digunakan? Jika angka sudah turun signifikan di bawah 10 persen, apakah pengukuran tersebut masih relevan digunakan?

Mengapa tidak mencari alternatif lain dengan hasil pengukuran lebih tinggi, misal masih berkisar di antara 30 hingga 40 persen?

Dengan menggunakan hasil pengukuran yang lebih besar, maka semua pihak merasa lebih perhatian terhadap kelas menengah. Selama ini, kelas menengah cenderung kurang mendapatkan perhatian.

Ketika angka kemiskinan sudah di bawah 10 persen, kita sudah berpuas diri dan menganggap masalah sudah selesai.

Padahal tantangan baru telah muncul, yaitu bagaimana mendorong masyarakat rentan miskin dan kelas menengah agar bisa naik kelas.

Mengapa tidak menggunakan alternatif konsep pengukuran lain?

Misalnya, OECD menggunakan definisi setengah dari nilai median pendapatan rumah tangga. Jika digunakan dalam konteks Indonesia, maka definisinya menjadi setengah dari median pengeluaran rumah tangga.

Bank Dunia menggunakan standar tingkat pengeluaran 2,15 dollar AS per hari. Ukuran ini biasanya digunakan untuk monitoring negara berpendapatan bawah (low-income countries)

Namun, Bank Dunia juga melakukan monitoring dengan menggunakan standar 3,65 dollar AS per hari terutama untuk negara berpendapatan menengah kelas bawah (lower middle-income countries).

Selain itu, monitoring dengan standar 6,85 dollar AS per hari juga dilakukan terutama terhadap negara berpendapatan menengah kelas atas (upper middle-income countries).

Indonesia sebagai negara yang mengklaim sebagai upper middle-income countries sudah seharusnya mengeluarkan publikasi rutin dengan standar ini sebagai pembanding.

Terus terang, angka standar 6,85 dollar AS jelas lebih tinggi. Dengan menggunakan kurs Rp 16.000 per dollar, maka nilainya lebih dari Rp 3,2 juta per kapita per bulan.

Bandingkan dengan Garis Kemiskinan nasional yang hanya Rp 595.242 per kapita per bulan.

Terakhir, sudah selayaknya kita berpikir lebih progresif tentang KPI kemiskinan. Dengan ambisi menjadi negara maju, sudah selayaknya ada KPI lain yang harus dipertimbangkan untuk diganti agar lebih relevan mengukur tantangan yang lebih tinggi.

Analogi sederhana, ketika kita bersekolah, jenis ujian untuk kelas lebih tinggi tentu berbeda dengan jenis ujian untuk kelas lebih rendah.

Tag:  #sudah #cukupkah #definisi #kemiskinan

KOMENTAR