



Budget Rp 50 Juta Bisa Bikin Rumah Seperti Apa?
- Di tengah belum terjangkaunya harga rumah dengan penghasilan masyarakat, tentu muncul pertanyaan tentang apakah uang Rp 50 juta bisa bikin rumah? Kalaupun bisa, seperti apa rumahnya?
Pertanyaan itu bisa saja muncul di kalangan masyarakat berpenghasilan pas-pasan yang hanya bisa menabung dan tidak ingin terikat dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di perbankan.
Menjawab hal itu, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto mengatakan, di tengah tingginya harga tanah dan properti di Jakarta, gagasan membangun rumah dengan uang Rp 50 juta mungkin terdengar mustahil.
Namun, jika tanah sudah dimiliki oleh masyarakat, maka membangun rumah yang layak huni secara sangat sederhana menjadi mungkin.
"Rumah tersebut bukanlah rumah yang mewah, melainkan hunian dasar yang berfungsi sebagai titik awal yakni sebuah ruang berteduh, tempat kembali, dan fondasi tumbuhnya kehidupan keluarga," ujarnya kepada Kompas.com pada Rabu (25/6/2025).
Menurut pria akrab disapa Boegar itu, rumah yang dibangun dengan dana Rp 50 juta umumnya berukuran sangat kecil, berkisar kurang dari 21 meter persegi.
Rumah tipe ini bisa mencakup satu kamar tidur, satu kamar mandi kecil, dan ruang serbaguna yang merangkap fungsi dapur dan ruang keluarga.
Desainnya harus mengutamakan efisiensi ruang dan modularitas, karena setiap meter perseginya sangat berarti.
"Rumah seperti ini biasa disebut sebagai "rumah tumbuh". Rumah yang dirancang untuk dikembangkan bertahap sesuai kemampuan penghuni di masa depan," tandasnya.
Lanjut dia, membangun rumah Rp 50 juta memang bukan solusi ideal, tetapi bisa menjadi solusi transisi yang realistis.
Karena hal itu bisa menjawab kebutuhan paling dasar akan tempat tinggal, tanpa bergantung pada skema pembiayaan kompleks atau ketergantungan pada developer.
Material dan Metode Konstruksi Menjadi Kunci
Boegar menjelaskan, untuk mewujudkan pembangunan rumah Rp 50 juta, pemilihan material dan metode konstruksi menjadi kunci.
Dinding bisa menggunakan batako yang diplester sebagian, atap dari rangka baja ringan dengan penutup seng gelombang atau spandek.
Kemudian, lantai menggunakan semen ekspos atau keramik ekonomis. Sementara sistem listrik cukup dengan daya dasar 900 VA.
Selanjutnya, kebutuhan sanitasi pun bisa dijawab dengan penggunaan septic tank sederhana dan kloset jongkok.
"Pekerjaan dilakukan secara swadaya atau melalui tenaga tukang harian, bukan kontraktor penuh, agar biaya tetap terjaga," imbuhnya.
Lanjut dia, walaupun bentuknya kecil dan tampilannya sederhana, rumah ini tetap bisa dirancang secara fungsional dan manusiawi.
Ventilasi silang, pencahayaan alami, dan kemiringan atap yang memadai dapat menjadikan rumah terasa lebih sehat serta lega.
Elemen ruang luar seperti teras mungil atau halaman sempit untuk menjemur pakaian akan sangat membantu kualitas hidup penghuni.
"Arsitektur sederhana bukan berarti seadanya, melainkan arsitektur yang cerdas, hemat, dan sadar konteks sosial ekonomi," ucapnya.
Secara Legal Perlu Dukungan Pemerintah
Meski begitu, kata Boegar, tantangan terbesar membangun rumah Rp 50 juta bukan pada desain bangunan, melainkan pada konteks sosial dan hukum pertanahan.
Pasalnya, banyak masyarakat kelas bawah tinggal di tanah tanpa sertifikat atau berada dalam zona abu-abu tata ruang.
Kondisi itu dianggapnya bisa membuat pembangunan rumah berbiaya rendah menjadi terhambat secara legal, meskipun secara teknis memungkinkan.
"Oleh karena itu, kehadiran Pemerintah melalui dukungan legalisasi, pendampingan teknis, dan penguatan infrastruktur kawasan menjadi sangat penting," tuturnya.