



Sajak Siklon
Siklon
/mata badai/
kaulah bumi sol, saat tanganku mengeruk
lumpur, sisa langit pucat menurunkan lagi:
hujan malam perjumpaan - sekejap
nanah tanah kucium kembali
aku tercipta
dari separo Agustus dan separo September
borok di kening dan lutut, kehijauan
begonia di bawah kursi ayun kayu, rompang
ingatan dan mimpi pingsan
selalu berubah - mengubah - letak segalanya;
tak teraba bintang dari kamarku, tak terkira
jaraknya - langit sependek pandangan
cuma cermin batin kedangkalanku, jiwa
yang pernah memasukinya
kini terkenang pada sumur marmar
anjing dan sang pemburu
telah bergentayangan miliaran tahun di sana
tapi jutaan kali melebihi letak bulan, kubayangkan
rumah tempat menuai bahagia; saat bintang
meledak, cahaya berpangkasan dari lengannya
angkasa hitam oleh hitam darahnya
dan cintaku berbayangan dalam genangannya
yang seharusnya kaulihat -
urat yang kulihat dari kedalaman, temali merah
menyerap sariakanan, dan para iblis mencintainya
sambil melamunkan neraka padam
dan planet-planet terjala di dalamnya
seperti telur majir
bahasaku pun menjelma: ruang kekosongannya
ruang arsenik, inikah
makam kosmik terluas sejagat
inikah tujuan terakhir - stasiun kereta cepat
yang belum dibangun itu?
Siapa pun menitipkan sesuatu di sana: lagu
dan cincin, pertemuan dalam siklus
yang sejak mula purba
tapi aku melupakan puisi yang menjatuhkanku
ke jagat ini, yang menjatuhkanku sendiri
menanggung demam planet-planet
/dinding badai/
kau bumi tunggal, tempat angin berpeluk angin
aku terlahir dari dinding dan air mata
hanya pintu puisi terbuka buatku - hanya
kegelisahanku sendiri, menenun kain
dengan benang abu, pembakaran
suratku di darat dan lautmu, riak
air dan angin bisu jadi saksinya
kaulah
isyarat gempa, wahai bibit bencana
siapakah tuan rumahmu, mengapa mesti duka
dan luka hati buah tanganmu
-
/mata angin/
dalam coreng-moreng cat air kelabu batu
di kertas itu kaukuaskan lingkaran putih tak
sempurna menyerupai yinyang ujung lancipnya
mencuat tak patuh seperti rambut ijuk tahunan
menyapu latar rumah bermakadam - terus
menggeretnya searah dan tak searah jarum jam
- aku, bocah kecil, sabar menunggu dunia
separo jadi ini
2024
---
NANDA ALIFYA RAHMAH, alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Menulis puisi dan esai. Aktif berkegiatan di FS3LP. Antologi puisi terbarunya, Yang Tersisa dari Amuk Api, terbit 2020.