Mengenal Sejarah Pura Pakualaman, Istana Sang Adipati Paku Alam X yang Bertakhta Sebagai Wakil Gubernur DIY
Miyos Gangsa Sekaten di Pura Pakualaman, Rabu (27/9). (Instagram @purapakualaman)
13:28
6 Januari 2024

Mengenal Sejarah Pura Pakualaman, Istana Sang Adipati Paku Alam X yang Bertakhta Sebagai Wakil Gubernur DIY

– Saat kita mengingat Yogyakarta, mungkin kita terlintas langsung dengan Keraton Yogyakarta, sebuah kesultanan yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono.

Jika kita berjalan sekitar 1,5 Km ke arah timur dari Titik 0 Km Yogyakarta melewati Jalan Sultan Agung, terdapat sebuah istana yang dikenal dengan Pura Pakualaman.

Pura Pakualaman berdiri usai adanya penyerahan kekuasaan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II kepada adiknya Pangeran Natakusuma pada tahun 1813 saat pendudukan Inggris.

Pangeran Natakusuma pun mendapatkan gelar Kanjeng Gusti pangeran Adipati Arya (GPAA) Paku Alam I.

Berdasarkan politik kontrak yang ditandatangani Raffles sebagai wakil pemerintahan Inggris dengan Sri Sultan Hamengkubuwana III, Pemerintah Inggris mengembalikan wilayah Kesultanan Yogyakarta yang sebelumnya dikuasai semasa Daendels kecuali Grobogan yang diberikan kepada Paku Alam.

Selain itu, politik kontrak juga mengatur wilayah yang ditandatangani Paku Alam I dan John Crawfurd pada 17 Maret 813.

Setelah resmi menjadi adipati, Sri Paku Alam I mendirikan Pura Pakualaman di wilayah yang dikuasainya. Pakualaman memiliki 400 cacah yang meliputi kawasan sekitar pura dan di luar kabupaten adikarto.

Pura Pakualaman selayaknya keraton-keraton Jawa yang memiliki tata ruang Catur Gatra Tunggal. Konsep ini memiliki empat bagian yang menjadi satu, yaitu budaya, sosial, ekonomi, dan keagamaan.

Catur Gatra Tunggal tersebut ditunjukkan dengan adanya pusat pemerintahan di Puro Pakualaman.

Bangunan Pura Pakualaman pun berdiri dengan menghadap ke selatan, berbeda dengan Keraton Yogyakarta yang menghadap ke utara. Hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Kesultanan Yogyakarta.

Kompleks Pura Pakualaman seluas 5,4 ha pun dikelilingi tembok yang tinggi. Arsitektur Langgam Jawa pun terlihat pada bangunan Pura Pakualaman.

Salah satu ruangan di dalam kompleks pura pun pernah ditempati Soekarno saat Gedung Agung Yogyakarta sedang dipersiapkan sewaktu Ibu Kota Indonesia pindah ke Yogyakarta akibat Agresi Militer Belanda II.

Selanjutnya, pada bidang sosial ditunjukkan dengan adanya Alun-alun Sewandanan yang berada di selatan Pura Pakualaman.

Alun-alun ini hingga saat ini masih digunakan untuk masyarakat termasuk saat Prosesi Grebeg.

Pura Pakualaman pun memiliki Masjid Agung Pakualaman sebagai pusat keagamaan. Masjid ini dibangun pada masa Paku Alam II pada 1850.

Masjid ini memiliki tiga bagian, yaitu bagian utama yang digunakan untuk salat, serambi, dan teras. Mulanya saat dibangun masjid ini berbentuk segi empat dan hanya terdiri dari bagian utama dan serambi saja.

Masjid ini pun memiliki mustaka yang berbentuk mahkota. Selain itu, dahulu juga memiliki blumbangan air di depan dan kedua sisinya.

Sementara, pada sektor perekonomian, Pura Pakualaman dahulu memiliki Pasar Tanjung di sisi barat. Namun, saat ini digantikan oleh Pasar Sentul yang terletak di sisi timur Pura Pakualaman.

Jika melihat struktur kawasan dan toponim, kawasan Pakualaman memiliki karakter dengan jalan di dalam kawasan Pakualaman yang hampir tidak mengalami perubahan.

Ini menunjukkan adanya fungsi penting sebagai jalur ritual dan makna struktur kawasan yang masih dilindungi.

Selain itu, kawasan Pura Pakualaman juga terdapat hunian-hunian yang digunakan oleh para pangeran, kerabat, maupun pejabat Pakualaman. Hunian yang disebut dengan Ndalem tersebut memiliki konsep tata ruang tradisional Jawa pada konfugurasi massa bangunannya.

Tak hanya itu, konsep sistem pertanahan berupa magersari dan indung, serta tanah keprabon dan tanah bukan keprabon untuk menyatakan status dan kepemilikan tanah Pakualaman.

Arsitektur berlanggam Jawa dan Indisch pun dapat ditemui pada bangunan-bangunan yang tersebar di lingkungan Pakualaman dan termasuk sebagai bangunan cagar budaya.

Bangunan-bangunan tersebut seperti Dalem Surya Sudirja, Dalem Banaran, Dalem Somawinatan, Dalem Pujowinatan, Dalem Nototarunan, Dalem Notonegaran, Dalem Kepatihan, Kemayoran I, Kemayoran II, dan sebagainya.

Paku Alam Bertahta Sebagai Wakil Gubernur DIY

Sang Adipati Pakualaman saat ini, Sri Paku Alam X pun kini menduduki takhta sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Posisi ini memiliki sejarah yang sama dengan posisi Gubernur DIY yang ditakhtai oleh Sultan Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Kedua posisi tersebut bermula saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan jika wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman menjadi bagian dari Republik Indonesia melalui Maklumat pada 5 September 1945.

Selain itu, maklumat tersebut juga menyatakan masyarakat Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman setia kepada Indonesia.

Tak hanya itu, saat Agresi Militer Belanda II yang mengakibatkan pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Yogyakarta pada 1946.

Sehingga secara kesejarahan-politis, DIY memiliki sejarahnya sendiri yang tak dimiliki wilayah lainnya dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia.

Status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil oleh pemimpin wilayah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, bukan pemberian dari entitas politik nasional.

Hal ini menjadi penting untuk dipahami karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki struktur yang lengkap dan lebih siap untuk membentuk sebuah negara merdeka.

Secara yuridis, amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dideskripsikan sebagai bukti hukum yang menyatakan wilayah Yogyakarta mengalami perubahan dari Daerah Swapraja atau Zelfbesturende Landschappen menjadi sebuah daerah bersifat istimewa dalam teritorial Republik Indonesia.

Sementara secara sosio-psikologis, Yogyakarta akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis.

Perkembangan tersebut tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai rujukan penting mayoritas masyarakat Yogyakarta dan tetap memandang dan mengakui sebagai pusat budaya Jawa dan simbol pengayom.

Sementara itu, secara akademik-komparatif, pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara.

Rasionalitas bagi pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta merupakan sebagai wujud konkret dari kebijakan desentralisasi yang bercorak asimetris mendapatkan pembenarannya.

Dengan pertimbangan tersebut melahirkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta. Dalam UU inilah Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku alam diatur untuk menduduki jabatan sebagai gubernur dan wakil gubernur seumur hidupnya.

Walaupun demikian, kedua pemimpin di wilayah Yogyakarta tersebut tetap memiliki masa jabatan selama lima tahun tiap periodenya sejak dilantik.

Editor: Hanny Suwin

Tag:  #mengenal #sejarah #pura #pakualaman #istana #sang #adipati #paku #alam #yang #bertakhta #sebagai #wakil #gubernur

KOMENTAR