Trust Indonesia Menilai Putusan MK Hapus Presidential Threshold Menguntungkan Banyak Pihak, Mengapa?
Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal. Trust Indonesia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas atau presidential threshold menguntungkan banyak pihak.  
07:00
6 Januari 2025

Trust Indonesia Menilai Putusan MK Hapus Presidential Threshold Menguntungkan Banyak Pihak, Mengapa?

- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Menanggapi hal itu, Trust Indonesia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu menguntungkan banyak pihak. 

Menurut Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal, penghapusan PT tersebut sudah tentu akan mendorong hadirnya calon presiden (Capres) alternatif yang diinginkan mayoritas rakyat Indonesia.

"Pertama, masyarakat tentu akan punya banyak alternatif pilihan calon Presiden. Sebab siapapun lebih berpeluang menjadi Calon Presiden karena tidak akan terjebak dalam logika prosedural pemenuhan persyaratan dukungan," kata Azhari dalam keterangannya, Senin (6/1/2024).

"Yang kedua, putusan MK tersebut juga akan menghentikan mata rantai oligarki partai yang biasanya dominan menentukan calon presiden," sambungnya.

Azhari menjelaskan sepanjang dua dekade terakhir, rakyat Indonesia hanya disediakan sosok pasangan Capres-Cawapres yang terbatas. 

Masyarakat pun akhirnya hanya bisa memilih pasangan Capres-Cawapres yang ditawarkan oleh elite politik.

"Hampir dua dekade kita menghadapi situasi pencapresan yang lebih didominasi keinginan elite ketimbang keinginan rakyat. Akibatnya, masyarakat Indonesia pun akhirnya tidak punya pilihan. Kita hanya ditawarkan pilihan capres-cawapres yang ditentukan elite politik," terangnya.  

Namun demikian, dia tetap mengingatkan kemungkinan terjadinya manuver elite politik yang tetap menginginkan adanya blok politik besar pendukung Capres, dengan dalih untuk menciptakan kestabilan pemerintahan. 

Pasalnya, para politisi ini tentu ingin membuat peta permainan politik mudah untuk dimenangkan. 

"Soal praktik putusan tersebut, hemat saya, tentu akan disesuaikan dengan kondisi politik yang akan terjadi nanti. Sebab bisa saja, meskipun presidensial Threshold dihilangkan, akan tetapi (manuver dan perilaku politik elite) blok koalisi besar Capres tetap akan tercipta. Prinsipnya, para politisi ini akan bersekutu untuk menciptakan kompetisi politik yang tidak rumit alias mudah untuk dimenangkan," papar Azhari.  

Dia pun menyarankan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah) dan penyelenggara (KPU-Bawaslu) untuk tetap menyusun formulasi pilpres yang tidak menimbulkan kerumitan dan keruwetan. 

Misalnya dengan menyediakan mekanisme penyaringan awal kandidat Capres dengan membuktikan pengumpulan dukungan masyarakat. 

Atau bisa juga dengan memulai penggunaan teknologi canggih dalam logistik pemilu dan penghitungan suara untuk meminimalisir biaya yang tinggi akibatnya banyaknya figur kandidat Capres-Cawapres yang mencalonkan diri.

MK Hapus Presidential Threshold

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

"Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

"Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil," kata Saldi. 

Editor: Dewi Agustina

Tag:  #trust #indonesia #menilai #putusan #hapus #presidential #threshold #menguntungkan #banyak #pihak #mengapa

KOMENTAR