MK Hapus Presidential Threshold, Partai Buruh Bakal Usung Capres di Pemilu 2029
Putusan ini, dianggap telah mengembalikan khitah MK sebagai pengawal demokrasi dan konstitusi.
"Kami Partai Buruh mengucapkan terima kasih kepada para hakim MK kemudian mahasiswa dari UIN yang mengajukan permohonan ini," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Buruh, Ferri Nuzarli ditulis Sabtu (4/1/2025).
Diketahui, MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka adalah, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna.
MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis (2/1/2024).
Ihwal ini, Ferri mengapresiasi tidak hanya hakim MK juga para penggugat.
Rencananya, Partai Buruh akan mengundang para mahasiswa ke kantor Partai Buruh untuk memberikan apresiasi secara langsung.
Partai Buruh menganalogikan iklim politik mendatang semakin baik.
Keputusan MK ini, membuka keran partai politik peserta Pemilu 2024 untuk mengusung sendiri jagoannya di Pilpres 2024.
Partai berbasis massa ini, dipastikan bakal mengajukan Capres sendiri.
"Nanti dalam Rakernas pada tanggal 10 Februari 2025 kami akan memutuskan calon yang akan kami usung," pungkasnya.
Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh, Said Salahuddin mengungkapkan, pihaknya sudah menganalisa mengapa perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 dikabulkan MK.
Pertama, berdasarkan original intent perumusan Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945, tidak ditemukan bukti adanya kehendak dari MPR untuk menentukan syarat pencalonan capres-cawapres di dalam UU dengan menggunakan aturan Presidential Threshold.
Kedua, berdasarkan original intent pembentukan UU yang pertama kali merumuskan aturan Presidential Threshold, yaitu UU 23/2003, diketahui bahwa aturan Presidential Threshold hanyalah merupakan "syarat tambahan" yang dibuat-buat oleh Pemerintah dan DPR.
Ketiga, berdasarkan perbandingan penerapan aturan Presidential Threshold di sejumlah negara yang menganut sistem presidensial diketahui bahwa syarat dimaksud diberlakukan untuk syarat keterpilihan, dan bukan syarat pencalonan, sebagaimana didalailkan pula oleh Partai Buruh dalam keterangan yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Keempat, syarat presidential threshold dalam proses pencalonan yang didasari pada perolehan suara atau kursi DPR merupakan logika dalam sistem parlementer yang dipaksakan diterapkan dalam praktik sistem presidensial di Indonesia.
Terakhir, syarat presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.
MK Hapus Presidential Threshold
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.
"Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya
Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil," kata Saldi.
Tag: #hapus #presidential #threshold #partai #buruh #bakal #usung #capres #pemilu #2029