Aliansi Masyarakat Ingatkan Aparat, Termasuk Polri Jaga Netralitas di Pilkada Serentak
ILUSTRASI Pilkada Serentak 2024: Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengenai netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). 
14:12
19 November 2024

Aliansi Masyarakat Ingatkan Aparat, Termasuk Polri Jaga Netralitas di Pilkada Serentak

- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengenai netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 ini menyatakan bahwa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang terlibat dalam keputusan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon dapat dikenakan sanksi pidana.

Ricky Rasodi, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Gowa untuk Demokrasi Jurdil, menegaskan pentingnya netralitas Polri dalam Pilkada serentak, terutama di Kabupaten Gowa.

"Netralitas merupakan kewajiban bagi setiap anggota ASN, TNI, dan Polri untuk menjaga Pilkada berlangsung aman dan lancar," ujarnya, Selasa 19 November 2024.

Ricky menambahkan bahwa netralitas Polri sudah diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 27 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa Polri harus bersikap netral dalam politik dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Aliansi untuk Demokrasi juga meminta Kapolri dan jajarannya untuk menaati peraturan terkait netralitas, termasuk Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang disiplin anggota Polri.

"Setiap pejabat Polri dilarang untuk melakukan tindakan politik praktis," tegas Ricky.

Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri dan Polri perlu mengawasi pejabat daerah dan anggota TNI/Polri agar tidak membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, sesuai dengan Pasal 71 ayat 1 UU Pilkada.

"Pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral dapat dipidana berdasarkan Pasal 188 UU Pilkada," tambahnya.

Putusan MK

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi memutuskan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral sudah bisa ditindak lewat jalur pidana.

Yakni membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (14/11). 

Pasal 188 UU 1/2015 berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”

Menurut MK, Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. 

Dalam perkembangannya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).

Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.”

Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri".

Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya, perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.

Terlebih, UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.

Kondisi ini, menurut MK, menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.

Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.

Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.

"Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.

MK menyatakan bahwa ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi.

Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:

"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."

Sumber: Tribun Banten

Editor: Malvyandie Haryadi

Tag:  #aliansi #masyarakat #ingatkan #aparat #termasuk #polri #jaga #netralitas #pilkada #serentak

KOMENTAR