Masa Iya Jokowi Jadi ''Jubir'' Prabowo?
AWAL pekan lalu (8/1/2024), setidaknya di mata penulis, kian kental saja hal tersirat sokongan Presiden Jokowi kepada calon presiden nomor dua Prabowo Subianto.
Yakni ketika sang presiden menanyakan jalannya debat ketiga, yang dinilainya sarat serangan personal.
Kita ketahui bersama hal ini ketika Prabowo "dirujak" bersama capres nomor satu Anies Baswedan dan capres nomor tiga Ganjar Pranowo soal kompetensi pertahanan dan geopolitik.
Sokongan tersirat sebelumnya diberikan dalam makan malam berdua Jokowi-Prabowo sebelum debat, Jumat (5/1/2024) di Jakarta.
Presiden Jokowi di mata penulis hendak berkomunikasi nonverbal, menyampaikan pesan bahwa Prabowo capres yang didukungnya.
Sebab, beda ketika tahapan kampanye belum dimulai, ketiga capres diajak makan siang, Senin, 30 Oktober 2023.
Sementara kini Jokowi makan hanya dengan satu capres dan momentumnya pun sangat dekat dengan Debat ketiga, Minggu (7/1/2024).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang jalan pagi bersama di Kawasan Istana Bogor sekitar Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/1/2204).Tak cukup sampai sana. Setelah makan malam, Jokowi sarapan dengan Ketua Umum Partai Golongan Karya Airlangga Hartarto pada Sabtu (6/1/2024), juga makan bersama Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Minggu (7/1/2024). Keduanya ketua partai pengusung Prabowo-Gibran Rakabuming.
Apakah Jokowi paham performa Prabowo di debat perdana kurang oke, sehingga perlu di-booster dengan komunikasi nonverbal sebanyak itu? Hanya Jokowi dan Tuhan YME yang tahu.
Yang jelas, penulis sebagai dosen dan praktisi public relations, menilai terlalu mudah untuk menangkap bahwa Jokowi telah, sedang, dan terus menjadi "jubir" Prabowo.
Bahasa lisan, apalagi bahasa gestur yang diperlihatkannya, terlalu kental rona dan arah kemana telunjuk mengarah.
Nama kandidat yang didukung memang tak disebut Jokowi. Namun terutama relawan pendukungnya, akan terlihat buta, tuli, dan naif sekira tak bisa menangkap siapa figur yang didukungnya. Toh, masyarakat umum (bukan relawan) saja sudah bisa mengendusnya.
Jadi, tak berlebihan jadinya, jika khususnya Anies, Ganjar, para pendukung keduanya, dan tentu khalayak rasional umumnya, balik mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi sampai sedalam itu untuk cawe-cawe urusan Pilpres?
Kalaupun mau berkomentar, tentu sifatnya harus di tengah dan berkomentar menyeluruh ke semua paslon, bukan bertendensi mengadvokasi satu calon. Jadinya, kesan "jubir" tadi seolah terjustifikasi dengan laku komunikasi Jokowi.
Sadar akan situasinya, Selasa (9/1/2024), Jokowi mengklarifikasi bahwa pernyataannya bukan ke satu-dua paslon. But the damage has done, and communication is irreversible.
Situasi sudah berkembang demikian jauh-rusak, dan siapapun harus tahu, apalagi seorang RI 1, bahwa komunikasi publik itu sulit ditarik kembali, sangat alot dipulihkan!
Cawe-cawe
Pernyataan Jokowi akan cawe-cawe Pilpres, kian hari kian menebal saja dalam praktik yg tidak/kurang baik. Paling kerasnya tentu saja adalah saat sang anak, Gibran, bisa masuk gelanggang Pilpres berkat ketok palu sang adik ipar.
Mahkamah Kehormatan MK kemudian menyebut keputusan itu buah intervensi. Walau tak sebut siapa yang intervensi, hampir tak mungkin yang intervensi Ketua MK adalah seorang kepala desa, bukan?
Ini seolah tak ada suri tauladan dari Presiden RI sebelumnya di era modern. Jika Soeharto tak bisa jadi contoh, penulis kira Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak meninggalkan titisan trah apapun kecuali warisan inklusivitas yang bergema sampai sekarang.
Megawati Soekarnoputri tidak memopulerkan amat keras kedua anaknya, Puan Maharani atau Prananda Prabowo, saat menuntaskan periode dengan Gus Dur kala itu.
BJ Habibie setali tiga uang, tak satupun upaya simpan putranya, Ilham Habibie, di periode lanjutannya.
Begitu pula Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengorbit putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang sedang menanjak dinas militer-nya, sama seperti dia tidak berusaha keras membuat besannya, Hatta Rajasa, untuk menang di Pemilu 2014.
Selayaknya seorang pemimpin publik tahu, mulai dari Kades apalagi Presiden RI, saat dia mentas, saat itu pula dia jadi ayah semua anaknya. Baik anak yang penurut, cuek, sedang-sedang, jujur, hingga yang bandel-bandel.
Tiadalah mungkin dalam satu keluarga super besar bernama NKRI, sang ayah menerima semua anaknya baik, jujur, dan penurut. Maka, kebijaksanaan dan kesabaran ekstra, sampai-sampai Iwan Fals sebut "Manusia Setengah Dewa", harus dimiliki seorang presiden.
Konsekuensinya, terutama saat jelang akhir jabatan, tak patut kemudian memaksakan keinginan ada penerus yang tak jauh-jauh. Ini berarti tingkat kebijaksaannya belum paripurna; Dia belum selesai dengan dirinya sendiri.
Singkat kata, secara komunikasi publik, sang ayah pantang perlihatkan istimewakan salah satu anak, apalagi menghukum sang anak depan khalayak (pasti akan dendam berat).
Pepatah bijak mengatakan: Satu saja anak diemaskan, maka .... akan lahir seribu anak tiri.