Banjir dan Hasrat Pembangunan
Ahmad Maryudi *)
BENCANA seolah belum bosan menyapa bumi pertiwi; banjir bandang Sumatra menjadi episode terbaru yang memilukan. Tercatat banyak korban jiwa, dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi. Belum lagi kerusakan infrastruktur, dan lumpuhnya aktivitas ekonomi masyarakat. Banjir bandang ini bahkan disebut sebagai bencana hidrometeorologi terdasyat dalam sejarah perjalanan negara Indonesia.
Di balik angka korban dan kerusakan, ada duka cita mendalam. Banyak yang kehilangan keluarga terkasih, kehilangan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian, dan bahkan mungkin kehilangan asa. Bencana ekologis ini menuntut sebuah refleksi jujur. Bahwa kerusakan alam telah terakumulasi, menumpuk dari waktu ke waktu.
Kombinasi destruktif
Laporan BKMG menyebut anomali iklim yang mengakibatkan intensitas curah hujan ekstrim dalam durasi yang cukup singkat. Curah hujan sebulan yang tetumpah dalam satu hari. Demikian yang sering dilaporkan. Tidak dimungkiri, itu menjadi salah satu penyebab, di saat daya dukung hutan dan ekosistem untuk menyerapkannya sudah sangat berkurang. Kombinasi destruktif termaksimal.
Di titik inilah, pengelolaan hutan dan tata ruang menjadi krusial, untuk mengantisipasi ketidakpastikan iklim. Banjir Sumatra bukan sekedar “kejadian alam”, namun ada campur tangan manusia yang sangat signifikan. Puluhan tahun, kita sangat sembrono dalam mengelola sumberdaya hutan.
Konservasi vs produksi
Diskursus publik sering terjebak dalam dikotomi sederhana: seolah-olah solusi satu-satunya. Hentikan pemanfaatan hutan. Ini sangat bisa dipahami, tapi tidak selalu realistis. Pengelolaan hutan tidak identik dengan konservasi semata. Hutan dapat memberi manfaat ekonomi dan ekologis secara simultan.
Tidak ada yang salah dengan kegiatan pemanfaatan hutan, senyampang tidak melebihi kemampuan regenerasinya. Bahkan negara maju -sebut saja, negara Skandinavia, Jerman, Kanada-, pun masih mengandalkan industri perkayuan. Dan hutannya tetap lestari, dan selalu jadi rujukan model kelola idaman. Itu karena pemanfaatan hutan dilakukan dengan kehati-hatian, dalam koridor kelestarian.
Jejak deforestasi & fragmentasi hutan
Akan tetapi, berpuluh tahun pembalakan di Sumatra (dan di Indonesia pada umumnya) dilakukan secara serampangan, dan mengabaikan daya dukung. Deforestasi hutan di Sumatra sangat kasat mata, dan bukan hal yang perlu diperdebatkan lagi. Di Sumatra lah, episode fragmentasi & deforestasi hutan alam Indonesia dimulai, baru disusul wilayah dan pulau lainnya. Fragmentasi hutan sudah terjadi sejak 1970-an.
Deforestasi terbesar terjadi pada periode 1990-2010. Penelitian menunjukkan bahwa pada periode 1990–2010, Sumatra kehilangan 7,5 juta hektar hutan primer, belum termasuk 2.3 juta hektar yang terdegradasi (Margono dkk. 2012). Pada periode ini, hampir 50% hutan primer dibuka/ dikonversi.
Ekspansi kawasan pertanian (terutama sawit) disebut sebagai penyebab utama deforestasi (Juniati dkk.2021). Belum lagi non-kehutanan lain seperti proyek infrastuktur dan kebutuhan non-kehutanan lainnya. Deforestasi bukanlah permasalahan kehutanan (industri perkayuan) semata, namun ada kelindan lintas sektor yang kompleks.
Yang pasti, hutan selama ini hanya diposisikan sebagai pelumas pembangunan. Ketika potensi (ekonomi) menurun, alih fungsi ke kegiatan ekstraktif lain—seperti sawit dan tambang—jadi solusi. Ukuran yang dipakai hanyalah berapa devisa yang disumbangkan. Benar bahwa hutan hanya menyumbang 1% dari PDB. Tapi “avoided loss” dengan adanya hutan, sengaja dilupakan.
Yang terjadi adalah kehutanan kemudian dipaksa untuk berperan sekedar sebagai “penyedia lahan” bagi aktivitas ekonomi lain yang lebih menjanjikan. Lanskap Sumatra yang rentan adalah warisan masa lalu, yang terus dieksploitasi dengan hingga hari ini.
Pola sama: Kebijakan longgar, lemah pengawasan
Penyebab deforestasi bisa berubah, namun mempunyai pola yang sama. Pertama, adanya policy inflation, kebijakan tereduksi semata untuk melayani kepentingan industri/ ekonomi, dan mengorbankan alam.
Banyak contohnya, semisal kebijakan hutan tanaman industri (HTI), yang diawali dengan clearing (dengan ijin pemanfaatan kayu) atas hutan alam yang dianggap sudah tidak produktif. Hutan alam hilang, pun HTI banyak yang tidak berhasil. Paket komplit.
Tidak jarang, deforestasi dan degradasi dilegitimasi dengan bungkus legal administratif. Belum lagi banyaknya kebijakan yang terfragmentasi dan tumpang tindih, rencana tata ruang terus berubah, dan orientasi jangka pendek mengalahkan keberlanjutan.
Masalah ini diperparah oleh capacity collapse. Koordinasi antar lembaga sering tidak berjalan baik. Ego sektoral membuat masing-masing sektor bergerak sendiri, tanpa orkestrasi. Belum lagi aspek pengawasan yang lemah: aparat terbatas, wilayah kelola yang luas, dan aturan yang mudah ditabrak dan dibelokkan.
Tantangan terbaru
Banjir bandang Sumatra adalah cerminan kompleksitas tantangan tata kelola. Ini tidak berarti kita tidak pernah berupaya. Pemerintah pun tak henti memperbaiki tata kelola kehutanan melalui, penegakan hukum dan pembenahan perizinan untuk mencegah pembalakan liar. Apresiasi internasional pun ada. Indonesia pun disebut sebagai negara pertama, dan satu-satunya, yang diakui mempunyai sistem yang robust untuk mencegah pembalakan dan perdagangan kayu illegal.
Persoalan-persoalan kehutanan tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ada kelindan dengan sektor lain, seperti perkebunan, pangan/ pertanian, pertambangan, dan infrastruktur. Ketika kebijakan lintas sektor tidak selaras, upaya perlindungan hutan menjadi terkendala. Jangan dilupakan munculnya monster baru, UU Cipta Kerja, yang secara jelas mendepresiasi fungsi hutan. Luasan tutupan hutan minimal dihapuskan. Prosedur alih fungsi hutan diserderhanakan, apalagi kalau diatasnamakan proyek strategis nasional. Intinya, pembangunan tidak dilandasi kepedulian atas sifat dan karakter alam.
Cermin akumulasi permasalahan
Banjir bandang di Sumatra bukan peristiwa mendadak, melainkan akumulasi dari kebijakan yang tidak arif, tata ruang yang bermasalah, dan pengawasan yang lemah selama bertahun-tahun. Bencana ini harus menjadi cermin besar bagi kita semua, dan pengingat untuk terus berbenah dan tidak saling menyalahkan.
Persoalan ini terlalu kompleks untuk ditimpakan pada satu aktor atau satu sektor. Kerusakan yang kita lihat hari ini adalah hasil dari keputusan panjang lintas waktu dan generasi, dan lintas kepentingan. Ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya kebijakan yang lebih arif, tetapi juga kesungguhan untuk bertindak nyata.
Mengurangi -atau bahkan menghentikan- deforestasi, rekonstruksi tata ruang yang lebih arif, pengetatan pelepasan kawasan hutan, memperkuat koordinasi dan pengawasan di lapangan harus dilakukan secara konsisten.
Banjir bandang Sumatra tidak harus menjadi takdir yang terus berulang, melainkan peringatan untuk memperbaiki cara kita mengelola ruang hidup secara lebih adil dan bertanggung jawab. Pembangunan sesungguhnya bukanlah seberapa cepat hasrat ekonomi tercapai, tapi seberapa bijak kita menahan diri, demi keberlanjutan dan keadilan lintas generasi.
*) Guru Besar UGM – Deputy Coordinator bidang Kebijakan & Ekonomi KehutananInternational Union for Forest Research Organizations (IUFRO, Vienna)
Tag: #banjir #hasrat #pembangunan