Rentetan OTT Kepala Daerah: Mandeknya Pencegahan Korupsi
OPERASI tangkap tangan terkait kasus korupsi terus menjerat kepala daerah. Kasus Bupati Bekasi, Bupati Lampung Tengah, Gubernur Riau, serta sejumlah kepala daerah hasil Pilkada 2024, menunjukkan persoalan korupsi bersifat sistemik, bukan insidental.
Negara tampak hadir melalui penindakan yang cepat dan terbuka. Namun, frekuensi OTT yang tidak kunjung menurun justru menunjukkan satu persoalan mendasar: pencegahan korupsi tidak bekerja.
Ketika penindakan menjadi wajah utama kebijakan antikorupsi, negara sesungguhnya selalu datang terlambat—setelah pelanggaran terjadi dan kerusakan terlanjur berlangsung.
Selama ini, korupsi terlalu sering dipahami sebagai persoalan hukum yang diselesaikan di pengadilan. Pada saat perkara sampai ke pengadilan, kegagalan sesungguhnya telah terjadi jauh sebelumnya.
Pengadilan hanya memproses akibat, bukan mencegah proses yang memungkinkan pelanggaran tumbuh tanpa koreksi.
Karena itu, korupsi tidak pernah dapat diberantas dari meja hijau pengadilan; ia hanya bisa dicegah dari meja kerja dan dari ruang-ruang awal tempat kekuasaan dibentuk.
Dalam praktik birokrasi dan politik, korupsi jarang muncul secara tiba-tiba. Ia berkembang melalui kebiasaan kecil yang dibiarkan, prosedur dijalankan sebagai formalitas, dan keputusan administratif yang tidak pernah dikoreksi sejak awal.
Banyak pelanggaran berawal dari hal sederhana: komunikasi di luar sistem, dokumentasi yang ditunda, atau pengambilan keputusan yang tidak sepenuhnya berbasis data.
Ketika pola seperti ini dibiarkan, penyimpangan tidak lagi dipersepsikan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai cara kerja. OTT menghentikan pelaku, tetapi tidak otomatis menghentikan pola yang membentuknya.
Inilah sebabnya penindakan yang kuat tidak selalu berbanding lurus dengan pencegahan yang efektif.
Korupsi bukan sekadar masalah individu
Korupsi kerap dijelaskan sebagai kegagalan moral individu. Penjelasan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak memadai.
Dalam organisasi, keputusan seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja, sistem insentif, dan contoh yang ia lihat setiap hari.
Banyak pelaku korupsi memahami aturan dan konsekuensi hukum. Yang sering tidak terbentuk adalah kebiasaan berpikir etis dalam situasi konkret.
Ketika pelanggaran kecil tidak dikoreksi dan integritas tidak menjadi ukuran kinerja, keputusan menyimpang menjadi rasional dalam konteks organisasi.
Dari sinilah korupsi mulai “naik kelas”, seiring bertambahnya kewenangan dan akses terhadap sumber daya publik.
Persoalan yang lebih serius justru berada di ranah politik. Partai politik adalah pintu masuk kekuasaan dan pengendali utama proses rekrutmen pejabat publik.
Namun, kontribusi partai dalam pembiayaan politik nyaris tidak terlihat secara transparan dalam laporan resmi.
Ketika partai tidak mampu atau tidak mau menopang pembiayaan kandidat secara akuntabel, beban pendanaan bergeser ke individu.
Dalam konteks biaya politik yang tinggi, pergeseran ini mendorong kandidat mencari sumber dana di luar mekanisme yang sah dan terawasi. Di sinilah praktik politik uang dan transaksi balas budi menemukan ruangnya, bahkan sebelum seseorang menduduki jabatan publik.
Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas laporan dana kampanye Pilkada 2024 memperlihatkan persoalan serius.
Mayoritas pasangan calon melaporkan sumber dana yang didominasi dana pribadi, dengan nilai rata-rata sekitar Rp 3,8 miliar. Angka ini sangat jauh dari estimasi biaya riil Pilkada yang menurut KPK dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Akses publik terhadap data dana kampanye juga terbatas. Identitas penyumbang tidak jelas, sumbangan dari badan usaha tidak ditampilkan secara memadai, dan laporan nol rupiah tidak ditindak tegas.
Dalam kondisi seperti ini, pelaporan dana kampanye lebih berfungsi sebagai formalitas administratif daripada instrumen pengawasan. Pendanaan gelap menjadi risiko sistemik, bukan pengecualian.
Keuangan Parpol: Masalah dimulai sejak hulu
Akar persoalan korupsi politik dapat ditelusuri sejak tata kelola keuangan partai politik.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik memang mengakui berbagai sumber keuangan partai—iuran anggota, sumbangan individu dan badan usaha, serta bantuan APBN/APBD.
Namun, dalam pengaturan akuntabilitasnya, undang-undang ini secara tegas hanya mewajibkan audit negara melalui BPK terhadap dana bantuan APBN/APBD.
Sementara itu, dana partai di luar APBN—yang justru dominan dalam aktivitas politik dan kontestasi elektoral—tidak berada dalam mekanisme audit negara yang ketat dan menyeluruh.
Dana non-APBN tersebut hanya diaudit oleh akuntan publik berdasarkan laporan yang disampaikan partai, tanpa kewenangan audit investigatif sebagaimana dimiliki auditor negara.
Akibatnya, akuntabilitas berhenti pada apa yang dilaporkan, bukan pada keseluruhan aliran dana yang sesungguhnya terjadi. Di sinilah ruang abu-abu itu terbentuk sejak hulu.
Ketika pembinaan integritas dan pengawasan keuangan partai tidak dibangun secara kuat, beban biaya politik berpindah ke hilir, saat kader partai menduduki jabatan publik dan mengelola anggaran negara.
Dalam kondisi seperti ini, korupsi tidak muncul sebagai penyimpangan mendadak, melainkan sebagai kelanjutan dari sistem pendanaan politik yang sejak awal tidak pernah dikoreksi.
Temuan Transparency International (TI) memperkuat pembacaan ini. Dalam Corruption Perceptions Index (CPI) 2023, Indonesia memperoleh skor 34 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara.
Skor ini stagnan dan menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia bersifat struktural, bukan insidental. TI menyoroti lemahnya transparansi pendanaan politik dan korupsi politik sebagai faktor utama yang menghambat perbaikan indeks.
Ini menegaskan bahwa masalah utama bukan kekurangan penindakan, melainkan kegagalan membangun akuntabilitas dan pembinaan integritas sejak awal.
Ketika biaya politik tinggi tidak diimbangi mekanisme pendanaan yang transparan dan diaudit secara ketat, korupsi muncul sebagai konsekuensi sistem, bukan semata penyimpangan individu.
OTT tetap diperlukan. Namun, OTT seharusnya dipahami sebagai indikator kegagalan pencegahan, bukan ukuran keberhasilan pemberantasan. Selama kebijakan antikorupsi terlalu bertumpu pada hukuman, negara akan terus bekerja di hilir.
Pencegahan korupsi harus dimulai dari fase formatif: di meja perencanaan, di ruang pengambilan keputusan, dan terutama di proses rekrutmen politik.
Tanpa pembinaan integritas sejak awal, tanpa transparansi pendanaan politik, dan tanpa audit menyeluruh terhadap keuangan partai politik—khususnya dana non-APBN—penindakan akan terus mengejar akibat, sementara sebabnya dibiarkan tumbuh.
OTT yang banyak justru menandakan pencegahan yang mandek. Selama negara belum menempatkan pembinaan integritas sebagai inti kebijakan, baik di birokrasi maupun di partai politik, penindakan akan terus berjalan, tetapi korupsi akan terus menemukan jalannya.
Tag: #rentetan #kepala #daerah #mandeknya #pencegahan #korupsi