Pengamat Tantang Pemerintah Buka Data Penebangan Hutan Kemenhut Era Zulhas: Berani Tidak?
- Pengamat Yayat Supriatna menyatakan banjir terkait kerusakan hutan disebabkan kebijakan pascareformasi yang masif.
- Penyelesaian masalah deforestasi memerlukan pemetaan detail mengenai aktor utama dan legalitas perizinan lahan.
- Pemerintah wajib transparan membuka data izin kehutanan dari setiap periode untuk menentukan tanggung jawab.
Pengamat Lingkungan Hidup, Yayat Supriatna, memandang polemik banjir di Sumatera tidak boleh hanya dimaknai sebagai kegagalan kementerian kehutanan yang sedang menjabat saat ini.
Ia menegaskan bahwa kerusakan hutan yang menjadi pemicu utama banjir telah berlangsung jauh lebih lama dan melekat pada jejak panjang kebijakan pascareformasi yang membuka ruang bagi penguasaan lahan secara besar-besaran.
Penyelesaian masalah tidak bisa dicapai tanpa menelusuri akar waktu yang memicu deforestasi tersebut.
“Pertama, kita harus melihat data time series-nya itu berapa tahun. Sepuluh tahun atau berapa tahun sejak terjadinya penebangan hutan dan izin-izin kehutanan besar-besaran itu dikeluarkan,” ujarnya, Selasa (9/12/2025).
Ia kemudian menguraikan bahwa titik kritis masalah deforestasi sebenarnya muncul pada masa transisi politik nasional di awal reformasi ketika aturan dan tata kelola kehutanan belum tertata dengan baik.
Menurutnya, fase itu menjadi pintu masuk terbesar bagi pelemahan kontrol negara atas kawasan hutan.
“Kalau kita melihat awalnya, itu terjadi di awal reformasi. Pada saat itulah terjadi eskalasi penguasaan lahan di tengah lemahnya regulasi,” kata Yayat.
Dalam penjelasannya, Yayat juga menggambarkan persoalan serupa tidak hanya terjadi di satu wilayah tetapi merata di berbagai daerah, termasuk Sumatera Utara.
Ia menyebutkan bahwa kurun waktu hampir seperempat abad telah berlalu tanpa adanya koreksi signifikan terhadap kebijakan masa lalu.
“Jadi sebenarnya di wilayah Sumatera Utara—dan di tempat lain juga sama—semuanya dimulai ketika awal reformasi, saat aturan-aturan belum terstruktur dari masa Orde Baru menuju masa sekarang. Kalau kita hitung sejak reformasi, berarti hampir 24 tahun, sejak 1998. Ya kira-kira dari awal 200-an sampai 20 tahun terakhir,” tuturnya.
Yayat menilai bahwa pelemahan regulasi selama masa transisi itu membuka ruang bagi aktor-aktor besar melakukan ekspansi dan penjarahan kawasan hutan.
Ia menegaskan pentingnya mengidentifikasi siapa saja pihak yang berperan dalam perubahan besar tata guna lahan pada periode tersebut.
“Sejak kapan pelemahan-pelemahan itu terjadi? Termasuk pelepasan status kawasan yang menyebabkan alih fungsi, penjarahan, dan penguasaan. Sekarang pertanyaannya: siapa aktor-aktor besarnya dulu? Itu harus dipetakan,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan praktik penebangan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan pelaksana yang beroperasi di lapangan.
Hal itu membuat pemetaan legalitas menjadi krusial agar publik memahami perbedaan antara aktivitas yang diizinkan dan yang melanggar hukum.
“Kalau ada penebangan, perusahaan itu kan tidak mungkin menebang sendiri. Biasanya mereka menyuruh orang atau masyarakat yang dimodali. Tapi pertanyaannya, mana yang legal dan mana yang ilegal? Itu harus dipetakan juga,” katanya.
Menurut Yayat, langkah fundamental yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah memetakan kondisi aktual kawasan hutan secara detail, termasuk alih fungsi besar-besaran yang selama ini terjadi.
Ia menilai tanpa pemetaan tersebut, penyebab banjir hanya akan dibahas di permukaan tanpa menyentuh masalah strukturalnya.
“Satu-satunya cara adalah memetakan tingkat kerusakan kawasan hutan—mana yang legal dan mana yang ilegal. Kalau itu saja belum mampu dilakukan, persoalannya akan kembali ke akar,” ucapnya. Ia juga menyebut alih fungsi menjadi perkebunan sawit maupun industri pulp sebagai contoh yang wajib dibuka secara transparan.
Selain itu, Yayat mengingatkan bahwa persoalan serupa terjadi di sektor pertambangan, sehingga pemetaan legalitas juga harus mencakup aktivitas mineral dan batu bara.
Ia menilai ketegasan otoritas menjadi penting agar publik memahami batas kewenangan masing-masing institusi.
“Selain hutan, pertambangan juga begitu. Berapa banyak tambang yang legal dan ilegal?” tutur Yayat.
Menurutnya, Menteri Kehutanan harus menjelaskan area mana saja yang berada di bawah tanggung jawab langsung kementerian dan mana yang menjadi kewenangan lembaga atau pihak lainnya. Ketegasan ini diperlukan untuk mencegah saling lempar tanggung jawab antarinstansi.
“Dia harus menyebutkan mana tanggung jawabnya dalam kawasan hutan. Di luar kawasan hutan, itu bukan kewenangannya. Lalu siapa yang bertanggung jawab di luar kawasan hutan? Itu harus jelas,” tegasnya.
Yayat kemudian menyoroti pentingnya transparansi terkait izin-izin kehutanan yang dikeluarkan pada berbagai periode pemerintahan sebelumnya.
Ia bahkan menantang pemerintah untuk membuka data tersebut secara lengkap agar publik dapat melihat kontribusi setiap era terhadap kerusakan hutan.
“Itu yang harus diminta pertanggungjawaban. Sebutkan saja ini zaman zulhas, ini zaman siapa, ini masa siapa, siapa yang paling besar kontribusinya. Tapi pertanyaannya: berani tidak buka-bukaan? Kalau tidak ada keterbukaan, ya berat,” kata Yayat.
Ia menilai persoalan akan terus berulang jika batas tanggung jawab tiap periode tidak dipaparkan kepada publik secara jernih. Dalam pandangannya, keberanian membuka data masa lalu menjadi kunci untuk mengungkap aktor utama kerusakan hutan.
“Kalau tidak ada kejelasan soal ruang tanggung jawab, ya tidak selesai. Kedua, berani buka-bukaan atau tidak? Kalau tidak berani, ya sudah—tidak usah bicara jauh-jauh. Kalau sudah buka-bukaan, barulah terlihat apakah ada ‘dosa turunan’,” katanya.
Saat ditanya mengenai temuan yang mengarah pada era Zulkifli Hasan, Yayat menyatakan bahwa ukuran pertanggungjawaban tetap harus merujuk pada data izin serta besarnya alih fungsi yang terjadi. Ia menekankan bahwa peta izin adalah kunci untuk menilai kontribusi setiap periode.
“Iya (harus diminta pertanggungjawaban). Yang penting itu harus jelas dulu. Pertanggungjawaban itu begini: dari izin yang dikeluarkan, di mana alih fungsi paling besar itu terjadi? Dari izin tersebut—legal atau ilegal—dari aspek tata-guna lahan,” pungkasnya.
Tag: #pengamat #tantang #pemerintah #buka #data #penebangan #hutan #kemenhut #zulhas #berani #tidak