Ketidakpekaan Kepala Daerah Saat Rakyat Tertimpa Musibah
Profil Bupati Aceh Selatan Mirwan MS yang pergi umrah saat wilayahnya diterjaang banjir dan tanah longsor.(Instagram/@h.mirwan_ms_official)
07:18
7 Desember 2025

Ketidakpekaan Kepala Daerah Saat Rakyat Tertimpa Musibah

KEPERGIAN Bupati Aceh Selatan Mirwan MS untuk menunaikan ibadah umroh di tengah bencana banjir yang menerjang wilayahnya kembali memperlihatkan cacat dasar dalam praktik kepemimpinan pemerintahan daerah kita.

Bukan hanya soal waktu yang tidak tepat, tetapi juga pelanggaran terhadap etika publik dan ketentuan Undang-Undang Pemda No 23 Tahun 2014 yang sudah jelas mengatur larangan kepala daerah.

Kejadian serupa sebenarnya pernah terjadi. Bupati Indramayu, Lucky Hakim, pernah dikenai sanksi karena bepergian untuk liburan pasca-Lebaran ke Jepang tanpa izin pemerintah pusat.

Kasus itu seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi semua pejabat daerah bahwa ketika kita menyandang jabatan publik, maka kepentingan publik harus diutamakan daripada urusan pribadi.

Ada aturan, batasan, dan konsekuensi yang wajib ditaati. Sayangnya, pelajaran serupa itu kerap dilupakan.

Selama ini kita sering menjadikan kreativitas dan inovasi sebagai ukuran keberhasilan pemimpin daerah.

Benar, dua hal itu penting. Namun, dalam konteks pemerintahan, keduanya tidak cukup. Pemimpin publik harus memiliki satu sifat fundamental yang tidak bisa digantikan apa pun: sensitif terhadap penderitaan rakyatnya.

Pemimpin yang baik bukan hanya menghadirkan program, tetapi menghadirkan dirinya.

Kehadiran fisik seorang kepala daerah di tengah musibah banjir besar bukan sekadar simbol. Itu adalah bentuk pengakuan bahwa ia mengerti penderitaan warganya, memahami situasi di lapangan, dan siap memimpin langsung proses penanggulangan. Empati tidak dapat didelegasikan.

Karena itu, ketika kepala daerah justru pergi ke luar negeri saat rakyatnya berjuang menyelamatkan diri dari banjir, yang hilang bukan hanya pemimpinnya—tetapi juga rasa aman publik.

Izin bukan formalitas, tapi mekanisme Negara

Saya perlu mengingatkan bahwa Undang-Undang Pemda No 23 Tahun 2014 mewajibkan setiap kepala daerah yang akan bepergian ke luar negeri untuk minta izin pemerintah pusat. Termasuk perjalanan pribadi seperti umroh maupun berobat.

Mengapa itu penting? Pertama, untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan. Kedua, untuk menghindari kekosongan kepemimpinan dalam situasi genting.

Ketiga, karena kepala daerah membawa nama negara, bukan hanya namanya sendiri.

Jika aturan ini dilanggar, ada konsekuensi. Pasal 76 ayat (1) huruf i menyebut sanksi berupa pemberhentian sementara selama tiga bulan dan pembinaan khusus di Kemendagri.

Pada masa itu, tugas kepala daerah diambil alih oleh wakilnya. Itulah mekanisme negara yang sudah disiapkan agar pemerintahan tidak terganggu.

Ketika Bupati Aceh Selatan berangkat tanpa izin, konsekuensinya pun sebenarnya sudah otomatis terbuka.

Dalam kondisi bencana, penting selalu diingat satu prinsip: Kepala daerah harus hadir. Tidak bisa diwakilkan oleh staf, tidak bisa digantikan oleh laporan.

Pemimpin perlu melihat langsung: akses jalan yang terputus, jembatan rusak, tempat rakyat mengungsi, makanan yang tersedia, hingga warga yang kehilangan keluarga dan rumah.

Di momen seperti itu, rakyat membutuhkan pemimpinnya, bukan sosok formal pengganti.

Pemimpin pemerintahan tidak boleh “menghilang” justru ketika rakyat sedang berjuang. Itu bukan hanya kelalaian, tetapi juga kegagalan memahami makna kepemimpinan publik.

Tindakan cepat partai politik mencopot jabatan struktural Bupati Aceh Selatan adalah sinyal baik, tetapi belum cukup. Dalam negara hukum, sanksi harus dijatuhkan melalui mekanisme resmi berdasarkan aturan.

Jika pemerintah pusat tegas, maka kasus ini dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki budaya kepemimpinan di daerah.

Jika tidak, maka pola yang sama akan terus berulang: pemimpin meninggalkan daerah saat bencana, dan rakyat kembali menjadi korban.

Bencana selalu menguji tiga hal: kesiapan daerah, kekompakan pemerintahan, dan integritas pemimpinnya.

Tidak ada inovasi, proyek, atau pencitraan yang dapat menutupi ketidakhadiran seorang pemimpin ketika rakyat butuh pertolongan.

Pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya bukan hanya yang mampu membangun, tetapi yang mampu hadir. Hadir secara pikiran, hadir secara kebijakan, dan hadir secara fisik.

Karena dalam urusan kemanusiaan, ketidakhadiran sang pemimpin adalah bentuk paling nyata dari pengabaian penderitaan rakyat.

Tag:  #ketidakpekaan #kepala #daerah #saat #rakyat #tertimpa #musibah

KOMENTAR