Purbaya dan Rayuan Partai Politik
RAYUAN partai politik kepada figur top selain sebagai strategi elektoral, ia adalah gejala ketakutan eksistensial partai.
Semula, partai diciptakan untuk melahirkan pemimpin, tapi kini partai justru bergantung pada daya magis figur eksternal untuk mempertahankan nyawa elektoralnya.
Partai yang harusnya menjadi sumber lahirnya bintang, kini justru mengorbit mengelilingi bintang.
Partai-partai besar, yang dulu bernapas dengan ideologi, kini berdesah dalam alunan “branding”. Mereka merayu artis, teknokrat, atau tokoh agama top sebagai ajang seleksi bakat dan panggung “bintang tamu”.
Rayuan partai pada figur memberikan lapisan sinyal makna bahwa telah terjadi krisis akut sistem kaderisasi yang semestinya menjadi mesin reproduksi kepemimpinan.
Partai-partai tidak lagi percaya pada buah dari rahimnya sendiri yang dibentuk oleh ideologi partai. Mereka lebih percaya pada magnet figur yang dibentuk oleh algoritma media sosial.
Praktik rayuan partai politik tersebut seolah-olah mengonfirmasi tesis Max Weber, yang menyatakan bahwa charismatic capital individu merupakan legitimasi organisasi (termasuk partai politik di dalamnya). Dukungan dan suara rakyat bisa dikonversi melalui daya visual dan performa sosok.
Padahal, jangan pernah diabaikan bahwa risiko paling fatal dari sistem “partainisasi figur top” justru mengancam eksistensi partai itu sendiri.
Sebab, ketika legitimasi elektoral partai bergantung pada pesona seorang figur yang tidak lahir dari rahim ideologinya, maka pada saat yang sama partai sedang menggerogoti fondasi ideologisnya sendiri dari dalam.
Figur yang mampu membawa suara tanpa ideologi, pada akhirnya juga mampu mencabut akar ideologi tanpa kehilangan suara bagi dirinya.
Di titik itulah, partai kehilangan fungsi utamanya sebagai pengusung gagasan, dan berubah menjadi sekadar kendaraan elektoral yang menumpang pada daya tarik personal.
Saya duga, di masa depan, akan lahir partai tanpa ideologi, tanpa struktur, bahkan tanpa anggota. Cukup dengan satu figur top yang diikuti jutaan penggemar di media sosial.
Saat itu terjadi, politik akan berhenti menjadi arena gagasan dan berubah menjadi industri perasaan. Mungkin bisa dikatakan dengan sebutan “sistem kepartaian sunyi”. Dan, praktik rayuan partai hari ini adalah bab pengantar menuju transformasi sunyi itu.
Nyata atau tidak, ketika partai mengulurkan tangan kepada figur top populer yang semula bebas bergerak di ruang publik, ia akan menjadi tawanan simbolik ketika menerima pelukan politik.
Ia akan kehilangan hak istimewanya sebagai suara Nurani rakyat. Setiap langkahnya setelah itu bukan lagi tafsir independen terhadap kebenaran, tetapi bagian dari orkestrasi kepentingan partai.
Harusnya—tapi ini mimpi tampaknya—partai menjaga agar mereka yang independen tetap di orbitnya sendiri. Biarkan mereka bekerja untuk publik, bukan untuk bendera partai.
Dalam posisi seperti itu, figur tersebut akan menjadi penyejuk moral dan kompas rasional di tengah turbulensi politik yang kerap tak karu-karuan.
Negara yang besar bukanlah negara yang berhasil menyerap semua orang hebat ke dalam partai, melainkan negara yang mampu memberi ruang bagi orang hebat untuk tetap menjadi dirinya sendiri.
Agar kebebasan berpikir tidak lahir dari konsensus politik, melainkan dari kesendirian intelektual yang dilindungi oleh sistem. Lagi-lagi ini konsep ini sangat susah terjadi di kita.
Rawan tergoyang
Celakanya, figur top independen nonpartai yang memiliki dampak besar hampir selalu menjadi incaran utama para pengepul kekuasaan. Begitu figur independen mulai dikelilingi oleh jaring-jaring kepentingan partai, ia kehilangan hak istimewanya, yaitu jarak.
Jarak adalah sumber daya moral yang paling mahal. Ketika jarak itu hilang, yang tersisa hanyalah sosok yang terombang-ambing di antara idealisme pribadi dan tekanan kolektif. Ia bekerja dengan bayang-bayang manuver partai politik.
Selain itu, di balik layar partai, ada juga oligarki yang menyiapkan jaring lebih halus daripada sekadar bujuk rayu politik.
Mereka memiliki sindikat kekuasaan yang mampu mengatur opini, mengontrol narasi publik, bahkan mendikte arah kebijakan.
Dalam ekosistem seperti ini, figur independen menjadi semacam tangkapan eksotis, seseorang yang harus dijinakkan agar legitimasi moralnya bisa “dipanen”.
Inilah paradoks tragis top figur dalam sistem kekuasaan kontemporer saat ini. Semakin besar dampak seorang independen, semakin besar pula tekanan untuk menjadikannya tidak independen.
Figur independen yang terlalu dekat dengan kekuasaan akan kehilangan daya kritisnya, tetapi yang terlalu jauh akan dilenyapkan dari percakapan publik.
Banyak figur independen tidak menyadari bahwa saat mereka mulai “diakomodasi”, mereka sebenarnya sedang dikurung dengan senyuman.
Mereka diberi posisi, panggung, bahkan penghargaan, tapi secara perlahan dilepaskan dari sumber kekuatannya.
Ketika mereka mulai berbicara dengan nada yang sama seperti elite partai, publik tidak lagi melihat mereka sebagai suara kebenaran, melainkan sebagai gema dari kekuasaan itu sendiri.
Namun, barangkali masih ada harapan. Harapan itu lahir dari kesadaran bahwa kemandirian politik bukan soal menolak jabatan, melainkan menolak dikendalikan.
Figur independen tidak harus menjauh dari kekuasaan, tetapi harus mampu mempertahankan kebebasan berpikir di tengah kekuasaan. Mudah-mudahan saya tidak sedang berkhayal.