



Pajak E-Commerce, Keadilan Fiskal atau Jerat Baru bagi Pelaku Usaha?
- Anggota Komisi XI DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra mengatakan, transformasi digital merupakan keniscayaan zaman yang kini menata ulang wajah perekonomian global, termasuk pola hubungan antara konsumen, produsen, dan negara.
Dalam waktu yang relatif singkat, dunia menyaksikan pergeseran sistem transaksi, dari barter, logam mulia, uang kertas, hingga kini berbasis teknologi digital.
Indonesia pun mengalami lonjakan transaksi digital hingga lebih dari 500 persen dalam setahun terakhir. Hal ini terlihat dari laporan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).
“Kemajuan ini jelas memberi banyak manfaat, dari akses perdagangan menjadi lebih mudah, biaya transaksi menurun, dan partisipasi ekonomi menjadi lebih luas,” kata Kaisar dalam siaran pers, Senin (30/6/2025).
Namun, di balik berbagai manfaat itu, tersimpan persoalan struktural yang belum terselesaikan, seperti lemahnya tata kelola fiskal digital.
“Sistem e-commerce yang bersifat borderless, real-time, dan anonim menantang otoritas fiskal dalam menjamin kepatuhan pajak, kesetaraan perlakuan, serta keadilan antar pelaku ekonomi offline dan online,” ujarnya.
Kaisar mengatakan, dampak asimetris itu mulai terasa nyata. Penurunan drastis omzet harian Pasar Tanah Abang yang pernah menjadi simbol kekuatan perdagangan tekstil nasional adalah salah satu indikator nyata perubahan lanskap perdagangan.
“Lanskap ini menggeser pusat-pusat aktivitas ekonomi konvensional. Sayangnya, perubahan ini belum sepenuhnya diimbangi instrumen fiskal yang adaptif dan responsif,” jelasnya.
Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah menggulirkan kebijakan pengenaan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen terhadap pelaku usaha di e-commerce dengan omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun.
Pajak tersebut dipungut langsung oleh platform marketplace atas nama negara, sesuai mekanisme PPh Pasal 22.
“Secara substansi, kebijakan ini bukanlah pungutan baru, melainkan penyesuaian terhadap basis ekonomi digital yang selama ini belum tersentuh secara optimal oleh sistem pajak nasional,” papar Kaisar.
Namun, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menilai, pendekatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejumlah catatan yang perlu dikaji.
Pertama, meski bertujuan memperluas basis pajak dan meningkatkan tax ratio yang saat ini stagnan di bawah 12 persen, pengenaan tarif final 0,5 persen atas omzet tetap mengandung risiko bagi pelaku usaha kecil.
“Apalagi jika tidak dibarengi dengan edukasi dan pemetaan pelaku ekonomi digital yang akurat,” ungkap Kaisar.
Kedua, pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) digital telah menanggung potongan platform sebesar 13,5 persen.
Selain itu, pelaku usaha juga menghadapi beban logistik, iklan, diskon promo, termasuk beban retur produk jika terjadi kerusakan di jalan atau human error.
Ketiga, rakyat terutama pelaku UMKM baik online maupun offline sedang terseok-seok akibat persaingan usaha yang tidak sehat, turunnya daya beli, dan ketidakpastian ekonomi global.
“Dalam kondisi seperti ini, penambahan beban pajak, meskipun hanya 0,5 persen dan atas nama penguatan fiskal, rasanya kurang tepat,” sebut Kaisar.
Keempat, pembebanan pajak 0,5 persen kepada pedagang online dapat memicu kenaikan harga produk ke konsumen.
Langkah tersebut dapat menyebabkan konsumen berpikir ulang untuk melakukan transaksi, sehingga kurva konsumsi masyarakat berpotensi mengalami penurunan.
Kelima, sistem pelaporan dan pemantauan yang belum sepenuhnya siap serta integrasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan platform digital yang masih bertahap menunjukkan ketidaksiapan sistem.
Kaisar menilai, hal itu dapat menimbulkan masalah teknis, seperti pemungutan pajak yang salah sasaran atau terjadinya duplikasi pelaporan.
Keenam, dalam kondisi pasar yang sangat kompetitif, pelaku UMKM digital menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan margin usaha.
“Ketentuan tarif flat tanpa mempertimbangkan biaya dan siklus bisnis bisa menciptakan disinsentif bagi usaha kecil yang masih rentan,” kata Kaisar.
Empat langkah yang perlu diperhatikan
Dengan mempertimbangkan konteks di atas, Kaisar mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan empat langkah dalam mengimplementasikan kebijakan.
Pertama, penerapan tarif final seharusnya dimulai dari usaha menengah yang telah mapan, lalu dievaluasi secara berkala sebelum diperluas.
“Hal ini penting untuk mencegah dampak regresif terhadap UMKM,” kata Kaisar.
Kedua, mekanisme pengembalian (refund) atau tax credit harus disiapkan untuk pedagang dengan omzet di bawah Rp 500 juta, agar tidak terkena pungutan otomatis secara tidak proporsional.
Ketiga, setiap perkembangan implementasi kebijakan ini perlu dilaporkan secara terbuka dan berkala, agar pelaku usaha dan masyarakat dapat menilai efektivitas dan keadilannya secara objektif.
Keempat, di masa depan, perlu dibuka opsi skema tarif progresif berbasis margin atau laba bersih, bukan omzet kotor, agar lebih mencerminkan kapasitas kontribusi wajib pajak secara adil.
Dengan demikian, kata Kaisar, reformasi pajak digital merupakan langkah penting, tetapi bukan tanpa konsekuensi.
“Jika tidak dijalankan secara adil, transparan, dan berbasis data, hal ini justru dapat memperdalam jurang ketimpangan antara usaha besar dan kecil, serta menciptakan resistensi terhadap kepatuhan pajak itu sendiri,” ujarnya.
Kaisar menyebutkan, sebagai bagian dari fungsi pengawasan fiskal dan perlindungan terhadap pelaku UMKM, Komisi XI DPR RI akan terus memantau kebijakan tersebut secara kritis dan objektif.
“Tujuannya bukan sekadar menjaga penerimaan negara, tetapi memastikan bahwa keadilan ekonomi tetap menjadi kompas utama dalam navigasi menuju transformasi digital yang berkeadilan,” jelasnya.
Tag: #pajak #commerce #keadilan #fiskal #atau #jerat #baru #bagi #pelaku #usaha