



Politik yang Tersiar: Saat Lobbying Tak Lagi Diam-diam
JIKA Presiden ke-7 Jokowi memiliki Luhut Binsar Pandjaitan sebagai chief of staff informal, maka Presiden Prabowo Subianto tampaknya menemukan peran serupa dalam diri Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco bukan hanya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, bukan sekadar Wakil Ketua DPR RI, melainkan kini tampil sebagai aktor kunci dalam orkestrasi politik elite Indonesia.
Kita ambil contoh, dalam isu empat pulau yang disengketakan antara Aceh dan Sumatera Utara. Dasco ikut turun langsung meredakan ketegangan, tampil bersama deretan pejabat eksekutif di Istana Negara.
Kehadirannya menjadi penanda bahwa kubu Parlemen menjaga kendali atas isu-isu strategis yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Simbol di mata publik yang memberikan penekanan dan penegasan terhadap keputusan (stressing).
Namun, peran Dasco jauh melampaui urusan teritorial. Dalam narasi besar rekonsiliasi politik nasional, ia berulang kali muncul sebagai juru runding yang membuka jalan komunikasi lintas partai.
Unggahannya di media sosial tentang pertemuan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, misalnya, menyiratkan lebih dari sekadar silaturahmi.
Ada pesan diplomasi simbolik di balik senyuman dan pose formal itu: publik perlu tahu bahwa jembatan komunikasi antarelite sudah dibangun.
Lobbying yang disengaja
Lobi politik di Indonesia dulu berlangsung dalam sunyi: pintu tertutup, percakapan empat mata, dan hanya secuil informasi yang keluar ke publik. Namun kini, peta berubah.
Di era media sosial, lobbying tidak lagi diam-diam. Ia justru dipertontonkan secara terukur, dalam kemasan visual yang rapi, diunggah ke kanal-kanal resmi para elite, dan dikonsumsi publik secara luas.
Dalam kajian komunikasi politik, praktik ini disebut sebagai public lobbying — proses lobi yang disengaja dibuka ke ruang publik.
Bukan sekadar memengaruhi elite pengambil keputusan, melainkan juga mengelola ekspektasi rakyat. Foto, caption, dan gesture yang terekam itu menjadi bagian dari strategi manajemen persepsi.
Model seperti ini bukan hal baru. Sebelumnya, Dasco pernah mempraktikkannya saat bertemu Ketua Majelis Syura PKS 2020 - 2025, Salim Segaf Al Jufri.
Foto yang beredar saat itu mengisyaratkan sinyal bergesernya posisi PKS, yang kemudian memang memutuskan bergabung ke pemerintahan Prabowo setelah 10 tahun menjadi oposisi di era Jokowi.
Fenomena ini sejalan dengan riset Jesper Strömbäck tentang mediatization of politics (2008), bahwa elite politik modern mau tidak mau harus bermain dalam logika media: singkat, visual, emosional, dan mudah dibagikan.
Caption Instagram bisa lebih efektif daripada siaran pers. Gesture ramah bisa lebih meyakinkan daripada pidato panjang.
Dalam kacamata public relations politik, praktik public lobbying seperti ini tidak hanya sekadar pencitraan. Ia berfungsi membangun macro discourse management (Ihlen & van Ruler, 2007): bagaimana elite mengatur narasi besar transisi kekuasaan, meredam potensi konflik, dan menciptakan rasa aman dalam benak publik.
Di tengah polarisasi politik yang sempat tajam sepanjang Pemilu 2024, visualisasi rekonsiliasi antarelite menjadi terapi psikologis kolektif.
Publik diajak melihat bahwa politik bukan hanya soal menang-kalah, tapi juga tentang bagaimana pemenang dan lawan bicara kembali ke meja perundingan untuk merawat demokrasi.
Kritik tetap perlu hadir
Namun, praktik lobbying yang dipertontonkan ini tetap harus diawasi. Ada garis tipis antara keterbukaan politik dan manipulasi visual.
Demokrasi sehat bukan sekadar perayaan simbolik, tetapi juga menyediakan ruang deliberasi substantif bagi rakyat.
Seperti diingatkan oleh Robert Heath dalam Handbook of Public Relations (2010), komunikasi politik yang sehat harus mampu menciptakan ruang dialog publik, di mana masyarakat bukan sekadar penonton pasif dari gestur elite, melainkan ikut terlibat memahami, mengkritisi, dan memberi arah pada proses pengambilan kebijakan.
Di sinilah sesungguhnya PR politik Indonesia tengah bertransformasi. Lobbying tidak lagi tersembunyi, tetapi juga tidak boleh menjadi pertunjukan yang meninabobokan publik. Demokrasi yang matang menuntut keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi kritis.
Politik hari ini memang bukan semata-mata soal siapa yang memenangkan suara terbanyak. Lebih dari itu, bagaimana elite mengelola stabilitas pascakontestasi kini menjadi perhatian utama.
Di titik inilah, komunikasi politik menjadi instrumen utama menjaga legitimasi dan kepercayaan publik.
Sufmi Dasco Ahmad mungkin adalah salah satu representasi paling nyata dari pergeseran praktik lobbying politik Indonesia di era digital: dari ruang sunyi ke panggung publik; dari lobi bisik-bisik ke diplomasi visual yang tersiar luas.
Publik pun semakin terlibat dalam membaca arah angin politik — bukan sekadar mengandalkan rumor, tetapi menyimak langsung simbol-simbol yang dipertontonkan.
Kini, urusan lobbying tak lagi diam-diam. Dan di tengah pertunjukan komunikasi politik inilah, demokrasi Indonesia diuji: apakah kita tetap kritis atau justru terlena oleh panggungnya.
Tag: #politik #yang #tersiar #saat #lobbying #lagi #diam #diam