



25 Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN: Hilangnya Keteladanan
NEGARA yang mendaku diri sebagai demokratis dan menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial — sebagaimana termaktub dalam dasar negara, Pancasila — justru mempertontonkan ironi yang mencolok: puluhan wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lebih miris lagi, semua ini terjadi ketika jutaan rakyat mengular dalam antrean panjang demi pekerjaan. Ada yang berdesakan di job fair, ada yang pingsan karena kelelahan.
Sejak subuh, mereka berdiri di depan pabrik, hotel, atau restoran — berharap ada satu lowongan yang tersisa untuk mereka.
Para sarjana muda pun tak luput dari persaingan sengit, berebut posisi sebagai penjaga toko, buruh pabrik, pekerja konstruksi, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya — yang sekadar cukup untuk menyambung hidup hari ini, bukan untuk menjamin kepastian masa depan.
Sementara itu, nasib elite politik jauh berbeda. Mereka bukan berebut satu pekerjaan, tapi antre rangkap jabatan.
Para wakil menteri tidur nyenyak dengan dua kursi: satu di kementerian, satu lagi di ruang rapat komisaris BUMN — dengan segala fasilitas, tunjangan, dan kekuasaan yang menyertainya.
Rupanya di negeri ini, jabatan bukanlah tugas pengabdian, melainkan ladang panen jabatan.
Kesenjangan yang dilegalkan
Di tengah janji reformasi birokrasi dan tata kelola yang bersih, publik justru dikejutkan oleh kenyataan bahwa 25 wakil menteri di kabinet merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai BUMN.
Jumlah ini bukan akhir. Di era pemerintahan Prabowo-Gibran, jumlah wakil menteri meningkat menjadi 56 orang — membuka peluang lebih besar bagi praktik rangkap jabatan, termasuk di kalangan kepala badan dan staf khusus.
Beberapa media kredibel juga mencatat bahwa sekitar 45 perwira purnawirawan TNI dan Polri duduk sebagai komisaris di BUMN. Angka ini belum termasuk anak usaha holding BUMN, sehingga jumlah sesungguhnya sangat mungkin lebih besar.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilegalkan, atau justru cerminan sistem kekuasaan yang makin menjauh dari semangat keadilan sosial?
Pemerintah berdalih tidak ada pelanggaran hukum, sebab Undang-Undang Kementerian Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi hanya melarang menteri, bukan wakil menteri, untuk merangkap jabatan.
Namun argumen legal-formal semacam ini tidak serta-merta menjawab pertanyaan etik dan moral yang bergema di ruang publik.
Seorang wakil menteri adalah pejabat negara yang semestinya fokus membantu presiden dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan strategis.
Ketika mereka juga menjadi komisaris BUMN — yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan independen atas badan usaha negara — maka tumpang tindih kepentingan tak terhindarkan.
Ini bukan sekadar persoalan rangkap jabatan, tetapi juga konflik peran antara regulator dan entitas bisnis, yang jelas merusak integritas tata kelola.
Rangkap jabatan juga menandakan inkonsistensi negara dalam menerapkan prinsip efisiensi anggaran dan pengendalian belanja birokrasi.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, masyarakat justru disuguhi potret elitisme baru: pejabat yang menikmati gaji ganda, jabatan ganda, dan kuasa ganda — saat rakyat bertarung keras untuk satu pekerjaan pun.
Apa yang legal belum tentu etis. Dalam prinsip tata kelola yang baik (good governance), integritas hanya bisa dijaga jika kekuasaan dan penghasilan tidak ditumpuk oleh segelintir orang.
Tanpa pembatasan tegas, negara justru sedang meresmikan kesenjangan, bukan sekadar membiarkannya.
Pola ini mengingatkan kita pada narasi serupa ketika Jokowi membela pencalonan anaknya sebagai wakil presiden. Selama pelanggaran etika dibenarkan atas nama legalitas, maka pelanggaran-pelanggaran berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Ini bukan sekadar “25 wakil menteri”. Ini menyangkut praktik kekuasaan yang menyimpang — ketika jabatan menjadi instrumen balas budi dan kendaraan elite untuk mengkonsolidasikan kepentingan pribadi.
Jika dibiarkan, ia akan mengakar menjadi budaya kekuasaan yang permisif: ketimpangan dianggap lumrah, dan pemerataan tinggal jargon yang tak pernah diniatkan untuk ditepati.
Indonesia adalah negara dengan 280 juta penduduk, namun ketimpangan ekonominya luar biasa tajam.
Data BPS per September 2024 menunjukkan bahwa 40 persen kelompok terbawah hanya menguasai 18,41 persen pengeluaran nasional — bahkan lebih rendah di wilayah perkotaan, yakni 17,44 persen.
Rasio gini nasional juga naik ke angka 0,381, menandakan ketimpangan pengeluaran yang kian melebar.
Secara global, laporan UBS menunjukkan bahwa indeks Wealth Gini Indonesia berada pada kisaran 0,78–0,83. Bahkan, 1 persen kelompok terkaya menguasai hampir 45 persen kekayaan nasional.
Kesenjangan ini bukan sekadar angka ekonomi, tapi cerminan dari politik distribusi yang gagal dan sistem tata kelola yang timpang.
Di sisi lain, akses terhadap pekerjaan yang layak sangat terbatas. Menurut laporan IMF 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia berada di angka 5,1 persen — tertinggi kedua di Asia.
Namun tantangan yang lebih besar tersembunyi di sektor informal, yang menyerap sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia. Ini adalah sektor tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan sosial, dan dengan upah minimum yang tidak cukup untuk hidup layak.
Kesulitan rakyat dalam mencari pekerjaan ini telah saya ulas secara khusus dalam tulisan "Melawan Kutukan Sulit Cari Kerja". Namun, semua data dan penderitaan rakyat tampaknya belum cukup untuk menggoyang empati para pengambil kebijakan.
Di lapisan bawah, praktik “orang dalam” (ordal) dan nepotisme telah menjadi norma dalam proses rekrutmen. Tanpa koneksi atau privilege, pekerjaan jadi kemewahan yang sulit diakses. Ironisnya, budaya ini justru dipertontonkan secara terang-terangan oleh kekuasaan sendiri.
Alih-alih memperbaiki keadaan, pemerintah justru menghadirkan pembenaran atas praktik rangkap jabatan — seolah semua baik-baik saja.
Negara ini perlahan sedang membiasakan rakyat menerima ketidakadilan sebagai kewajaran, sembari mengajarkan bahwa keistimewaan hanya milik mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Tak heran jika jurang sosial makin menganga. Buruh lokal digaji murah, ekspatriat digaji tinggi. Sementara para pejabat politik hidup dalam kemewahan, mengoleksi jabatan, dan menggenggam sistem yang mereka atur sendiri.
Ketika kekuasaan tak lagi tahu batas, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi yang terus menjauh dari kenyataan.
Hilangnya keteladanan
Mungkin negara ini memang tidak adil. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketika ketidakadilan itu dianggap biasa. Negeri ini sedang mengalami krisis — bukan hanya krisis anggaran, krisis investasi, tapi juga krisis keteladanan.
Ketika rakyat bersusah payah menghidupi keluarganya dengan satu pekerjaan, seorang pejabat publik justru memungut dua gaji atas satu nama, dua kekuasaan atas satu kursi. Di tengah rakyat yang antre demi satu lowongan kerja, para elite malah antre menumpuk jabatan.
Karena tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat pejabat sibuk berbagi jabatan, sementara rakyat berebut kesempatan hidup.
Ini bukan hanya ironi, tapi pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial yang tercantum jelas dalam Pancasila dan dibunyikan lantang setiap upacara bendera.
Oligarki di negeri ini tampil tanpa malu, pongah dalam mengelola kekuasaan seolah republik ini adalah milik mereka.
Rakyat diposisikan sebagai penerima kebaikan, bukan pemilik kedaulatan. Demokrasi dijalankan dengan wajah feodal, di mana elite politik menjadi pewaris takhta, bukan pelayan publik.
Apakah pemberantasan ketimpangan bisa diharapkan dari pemerintah yang justru merawat ketimpangan itu sendiri?
Tampaknya, itu hanya mimpi. Mimpi yang makin jauh dari jangkauan, setiap kali kekuasaan dikapitalisasi untuk keuntungan segelintir.
Sudah waktunya ada langkah korektif oleh rakyat. Revisi Undang-Undang Kementerian Negara agar larangan rangkap jabatan juga mencakup wakil menteri. Bukan sekadar untuk alasan legal-formal, tetapi demi menjaga etika jabatan dan integritas publik.
Fungsi komisaris BUMN harus ditata ulang — tidak lagi sebagai hadiah politik, melainkan sebagai posisi profesional yang diisi berdasarkan kompetensi.
Mesti ada sistem audit etik dan transparansi penuh atas pejabat yang memegang lebih dari satu jabatan publik. Karena tanpa pengawasan, jabatan akan terus dipolitisasi, dan rakyat akan terus dimarjinalisasi.
Demokrasi sejati lahir dari kepercayaan, bukan dari kemewahan segelintir elit. Dan kepercayaan tidak akan tumbuh dari kekuasaan yang timpang, rakus, dan tak tahu batas.
Karena isu komisaris memang isu elite — privilese yang tak mungkin dijangkau oleh rakyat biasa. Namun ingatlah, jika pedang rakyat bisa menebas kepala naga, maka sisik-sisik ketimpangan di level bawah akan berguguran dengan sendirinya.
Artinya, keberanian rakyat menggugat ketimpangan di puncak kekuasaan akan membuka jalan bagi keadilan yang lebih luas di seluruh lapisan masyarakat.
Jika pemerintah sungguh ingin menjaga marwah dan martabatnya, maka ia harus memulai dari dalam. Berani menertibkan dirinya sendiri.
Karena yang dibutuhkan negeri ini bukan pejabat yang sibuk menumpuk posisi, tetapi negarawan yang jernih, bersih, dan mengabdi tanpa pamrih.
Tag: #wamen #rangkap #jabatan #komisaris #bumn #hilangnya #keteladanan