



Kala Fadli Zon Mempertanyakan Istilah ‘Perkosaan Massal’...
- Dua puluh enam tahun berlalu, tetapi setiap kali bulan Mei datang, Indonesia seperti membuka kembali luka lama.
Tangis, trauma, dan ingatan tentang asap, jeritan, serta perempuan-perempuan yang menghilang dari keramaian jalan dan tak pernah benar-benar kembali sebagai sosok yang sama.
Di antara riuhnya suara yang meminta pengakuan negara terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada kerusuhan 13–14 Mei 1998, Menteri Kebudayaan Fadli Zon punya pandangan sendiri.
Ia tidak menyangkal bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi pada huru-hara tersebut.
Tetapi ia keberatan dengan satu hal yang terus disematkan dalam narasi publik, yaitu istilah “perkosaan massal”.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini,” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Senin (13/6/2025).
“Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” sambung dia.
Bagi Fadli, sejarah bukan sekadar soal mengenang.
Ia percaya bahwa sejarah adalah dokumen bangsa, dan setiap kata di dalamnya harus melalui uji yang ketat baik secara hukum, akademik, maupun moral.
Di sinilah posisinya mempertanyakan penggunaan istilah “massal”, bukan untuk menghapus penderitaan, tetapi untuk memastikan bahwa bahasa sejarah tak membabi buta.
Butuh ketelitian
Fadli mempersoalkan bahwa laporan investigatif maupun dokumen resmi seperti laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 1998, tidak memuat data yang benar-benar lengkap dan konklusif mengenai kasus perkosaan dalam kerusuhan.
Dia menyebut, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku.
Banyak yang tidak nyaman dengan pernyataan itu.
Tapi, bagi Fadli, ini adalah bagian dari tanggung jawab sejarah untuk menghindari klaim yang belum berdiri di atas pijakan fakta yang kuat.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi, menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” tutur dia.
Menakar penggunaan istilah
Sejak lama, istilah “perkosaan massal” telah menjadi simbol penderitaan kolektif yang dialami oleh perempuan keturunan Tionghoa pada Mei 1998.
Namun, Fadli memandang istilah itu terlalu besar untuk dipikul tanpa dasar yang memadai.
Ia khawatir jika keliru, justru akan merugikan bangsa secara keseluruhan.
“Istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik,” ujar dia.
Bukan berarti ia membantah adanya kekerasan seksual dalam kerusuhan itu. Justru sebaliknya.
Ia menyebut kekerasan sebagai pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar.
“Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegas dia.
Perlu kehati-hatian
Fadli berada di posisi yang tak mudah.
Di satu sisi, ia memegang posisi sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab pada narasi sejarah nasional.
Di sisi lain, ia juga bersentuhan dengan trauma kolektif yang terus hidup di benak masyarakat, terutama para penyintas yang menanti pengakuan.
Bagi sebagian orang, kehati-hatian itu mungkin terasa seperti penyangkalan.
Namun, bagi Fadli, ini adalah bentuk dari tanggung jawab sejarah yang tidak boleh gegabah.
Ia menempatkan beban sejarah pada kata yang digunakan, pada istilah yang dipilih, dan pada warisan yang akan dibawa generasi selanjutnya.
Mungkin tidak semua orang akan sepakat.
Namun, dalam sejarah, memang tidak semua luka bisa dituliskan dengan satu kata.
Apalagi, jika kata itu masih terus diperdebatkan.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” kata Fadli.
Dinilai tak empati
Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengkritik pernyataan Fadli Zon yang menyebut isu pemerkosaan massal sebagai rumor.
Menurut Usman, pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan sikap empati yang dimiliki oleh pejabat publik.
Dia mengatakan, kasus pemerkosaan Mei 98 sudah diakui secara faktual oleh otoritas yang diputuskan bersama Menteri Pertahanan, Menteri Keamanan, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, hingga Jaksa Agung.
Usman menuturkan, kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 98 itu telah disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat.
"Jadi kesimpulannya, pemerkosaan massal itu ada, dan seluruhnya merupakan pelanggaran HAM," ujar dia.
Tag: #kala #fadli #mempertanyakan #istilah #perkosaan #massal