PGI Respons Tambang Raja Ampat: Gereja Tak Boleh Diam Saat Alam Terluka
Sekretaris Umum PG Pendeta (Pdt) Darwin Darmawan. PGI mengencam tindakan brutal dan keji yang dilakukan oleh KKB terhadap 2 pekerja bangunan gereja GKI di Kampung Kwantipo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, Rabu (4/6/2025).(KOMPAS.COM/DOK PRIBADI)
17:56
11 Juni 2025

PGI Respons Tambang Raja Ampat: Gereja Tak Boleh Diam Saat Alam Terluka

- Organisasi kemasyarakatan Kristen Protestan, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia atau PGI merespons isu tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

“Gereja tidak boleh diam saja ketika alam terluka oleh berbagai praktik eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab, baik industri ekstraktif yang menemari lingkungan maupun ekspansi perkebunan yang mengakibatkan deforeestasi dan dampak-dampak sosial lainnya,” tulis Sekretaris Umum PGI Pendeta Darwin Darmawan dalam siaran pers, diterima Kompas.com pada Rabu (11/6/2025).

PGI menyampaikan pernyataan bertajuk “Jangan Merusak Alam Demi Investasi” itu atas nama Majelis Pekerja Harian.

“Dengan berduka, kita menyaksikan krisis ekologis yang ditandai hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan ketidakadilan terhadap masyarakat lokal,” tulis Darwin Darmawan.

PGI menilai Raja Ampat sedang terancam oleh tambang nikel, padahal Raja Ampat merupakan wilayah yang memuat keanekaragaman hayati global yang diakui UNESCO sejak 23 Mei 2023, memuat warisan budaya, dan menjadi tujuan wisata kelas dunia. 

PGI menyatakan alam merupakan ciptaan Allah yang sakral, sedangkan manusia bukanlah pusat alam melainkan bagian dari alam dan sahabat penatalayan (steward) dari alam.

“PGI menentang teologi antroposentris tentang alam. Manusia bukan pusat dan pemilik mutlak alam, tetapi merupakan bagian daari alam yang adalah rumah bersama dengan makhluk hidup lainnya,” papar Darwin.

PGI mengapresiasi pemerintah yang mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik empat perusahaan di Raja Ampat, yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera.

“Sekalipun demikian, PGI mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengaudit dan meninjau ulang laporan hasil analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan juga laporan analissi mengenai dampak sosial (AMDAS) penambngan niikel seacara menyeluruh di wilayah Kepulauan Raja Ampat,” tutur Darwin.

PGI mengkritik argumen bahwa ada pulau kecil yang ditambang di Raja Ampat letaknya jauh dari pusat kawasan Geopark Raja Ampat. Soalnya, pencemaran alam dapat merembet ke mana-mana seperti pencemaran sungai Jikwa di Tembagapura sampai Timika bahkan sampai muara menuju laut Arafura.

“Jadi bukan sekadar asumsi “aman” karena berjarak 30-40 km dari wilayah konservasi pulau-pulau Raja Ampat,” tulis Darwin.

Bila terbukti ada perusahaan yang melanggar aturan pertambangan dan mencemari lingkungan, maka pemerintah harus tegas memerintahkan penghentian aktivitas perusahaan tersebut.

PGI menyampaikan seruan dan desakan dalam tiga poin sebagai berikut:

1. Industri pertambangan di Indonesia harus menerapkan pertambangan yang bertanggung jawab serta menerapkan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). 

2. Pemerintah pusat dan daerah harus berhati-hati menerbitkan izin untuk perusahaan pertambangan, dan harus mematuhi Undang-Undag Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

3. Para pimpinan gereja harus menjadi pemimpin sekaligus teladan dalam mempraktikkan dan menyuarakan pertobatan ekologis. 

 

Tag:  #respons #tambang #raja #ampat #gereja #boleh #diam #saat #alam #terluka

KOMENTAR