Soal Desakan Pemakzulan Gibran, PKS: Ini Cerminan Negara Demokrasi
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) AL Muzzammil Yusuf ditemui di Kantor DPTP PKS, Jakarta Selatan, Sabtu (7/6/2025).(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
12:58
7 Juni 2025

Soal Desakan Pemakzulan Gibran, PKS: Ini Cerminan Negara Demokrasi

- Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzzammil Yusuf menilai bahwa adanya desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka menjadi cerminan Indonesia menganut negara demokrasi.

Hal tersebut disampaikan Muzzammil setelah ditanya awak media mengenai surat usulan Forum purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran telah dikirim ke DPR.

"Tentu PKS menghormati berbagai dinamika politik yang ada. Inilah cerminan negara demokrasi. Apalagi, para pelaku inisiatornya, orang-orang pejabat, TNI, dan lain-lain. Yang saya kira mereka sangat mencintai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini," kata Muzzammil saat ditemui di Kantor DPTP PKS, Jakarta Selatan, Sabtu (7/6/2025).

Dia lantas menegaskan bahwa PKS bersikap sesuai dengan koridor hukum dan konstitusi yang berlaku.

“Kalau isu tersebut silakan tanyakan langsung kepada pelakunya ya. PKS bekerja sebagai partai dan anggota dewan kita secara konstitusional. Sejauh semua hal berlangsung secara konstitusional, tentu PKS akan terlibat di dalamnya," ungkap Muzzammil.

Dia juga menegaskan bahwa PKS tetap fokus untuk mendukung keberhasilan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

“Kita tentu berharap dan berdoa agar kepemimpinan terbaik hadir untuk Indonesia. Keberhasilan Pak Prabowo Subianto adalah kegembiraan 280 juta rakyat Indonesia, termasuk PKS yang berada di dalamnya,” ujarnya.

Muzzammil juga menyampaikan bahwa doa dan harapan bagi bangsa disampaikan pula oleh kader PKS yang sedang menunaikan ibadah haji.

“Jemaah Haji kita di Mekkah, tempat yang makbul berdoa, ibadah kita di sini, kita mengimbau kita semua ya, berdoa untuk kebaikan bangsa dan negara ke depan," katanya.

Desakan pemakzulan Gibran mencuat dalam beberapa waktu terakhir, meskipun belum ada proses resmi di lembaga legislatif.

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa proses pemakzulan Gibran dari posisi Wapres, yang diusulkan oleh Forum Purnawirawan TNI, harus dimulai dari DPR agar dianggap sebagai bentuk ekspresi politik yang sah.

"Jadi, langkah pertama harus beres dulu di DPR. Dua per tiga (suara DPR) harus setuju dengan tuntutan dengan berbagai alasan dan pertimbangannya untuk dibuktikan tadi (di MK)," kata Jimly, saat ditemui di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (6/6/2025).

Jimly mengatakan, MK memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pemakzulan, namun proses tersebut hanya dapat berjalan jika DPR menyetujui usulan itu dengan dukungan dua per tiga suara anggota DPR dan dua per tiga seluruh fraksi dalam sidang paripurna.

Aturan Pemakzulan

Diketahui, pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan Wapres diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Kemudian, Pasal 7A tersebut juga mensyaratkan pemberhentian dalam masa jabatan harus ada usulan dari DPR ke MPR RI.

Pasal 7A UUD 1945 berbunyi, "Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Apalagi, Pasal 7B secara jelas telah mengatur alur dari proses pemakzulan tersebut yang harus melewati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu.

Aturan mengenai pelibatan MK tersebut termaktub dalam Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

Dengan kata lain, sebelum diusulkan ke MK, DPR harus mengajukan ke MK terlebih dahulu untuk mendapatkan keputusan.

Namun, untuk diajukan ke MK, mayoritas fraksi atau 2/3 anggota DPR harus setuju.

Setelah ada putusan MK, baru DPR bisa mengusulkan ke MPR atau mengundang DPD, untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Dalam sidang MPR itu, baru akan diputuskan bersalah dan dimakzulan. Hanya saja, ada aturan kuorum yang harus dipenuhi.

Ketentuan pemakzulan melalui MPR termaktub dalam Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.

Tag:  #soal #desakan #pemakzulan #gibran #cerminan #negara #demokrasi

KOMENTAR