Cekfakta.ri: Antara Narasi Tunggal Pemerintah dan Verifikasi Independen
Unggahan akun cekfakta.ri(Akun Cekfakta.ri)
10:58
6 Juni 2025

Cekfakta.ri: Antara Narasi Tunggal Pemerintah dan Verifikasi Independen

PADA era pascakebenaran (post-truth), kebenaran sering kali datang terlambat. Kebenaran membutuhkan verifikasi, yang berjalan lebih lambat daripada kemampuan jempol mengetikkan pendapat, asumsi, hingga propaganda.

Kondisi ini melahirkan berbagai inisiatif cek fakta. Sebagian lahir dari keresahan publik dan semangat jurnalisme independen.

Pada 5 Mei 2018, sebanyak 22 media massa di Indonesia meluncurkan cekfakta.com. Kolaborasi ini juga didukung oleh Google News Initiative, dan beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Namun, ada pula yang lahir dari pemerintah. Kantor Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia meluncurkan akun Instagram @cekfakta.ri, yang mengklaim dirinya sebagai saluran pemeriksa fakta resmi pemerintah.

Keberadaan akun ini menyisakan pertanyaan: benarkah ini kerja periksa fakta, atau hanya klarifikasi?

Ketika menilik akun tersebut, isi unggahannya tidak menunjukkan kerja jurnalistik atau metode verifikasi yang ketat dalam cek fakta, melainkan narasi tunggal dari pemerintah yang disajikan dengan format visual.

Unggahan pertama pada akun ini mengklarifikasi kabar yang menyebut bahwa SLB digantikan oleh Sekolah Rakyat. Akun @cekfakta.ri menyebutnya sebagai bentuk disinformasi. Namun, tidak ada penjelasan bagaimana informasi tersebut diperiksa.

Pendekatan serupa dilakukan pada unggahan tentang vaksin dan Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat.

Pada unggahan kedua, @cekfakta.ri menjelaskan maksud kontennya sebagai pelurusan informasi yang terpapar Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian atau DFK.

Unggahan itu menjelaskan bahwa disinformasi, fitnah, dan kebencian memiliki potensi merusak yang besar, sehingga pemerintah perlu berdiri dalam arus komunikasi persuasif demi mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Penjelasan di atas memberikan justifikasi bahwa pemerintah perlu mengendalikan informasi dalam konteks menjernihkan atau mengklarifikasi. Informasi yang tidak benar di masyarakat memang perlu diluruskan, dijernihkan, dan diklarifikasi.

Namun, hal yang luput dari narasi tersebut adalah kesadaran tentang relasi kuasa: pemerintah, sebagai otoritas, memiliki posisi lebih dominan daripada warganya.

Dalam konteks demokrasi, apakah layak pemerintah menjadi sumber “penjernih informasi”? Apakah pemerintah tidak khawatir ruang publik akan kehilangan keragaman suara?

Kekhawatiran lainnya adalah upaya menjernihkan, meluruskan, dan mengklarifikasi, justru dapat menjadi pembenaran untuk membungkam kritik.

Di sisi lain, lagi-lagi, apakah upaya meluruskan atau menjernihkan atau mengklarifikasi adalah cek fakta?

Unggahan-unggahan pada akun @cekfakta.ri hanya berisi narasi tunggal, yakni bantahan pemerintah terhadap isu yang viral, dengan nada promosi khas kampanye politik.

 

Unggahan tersebut tidak dilengkapi metode verifikasi independen, dan tidak mencantumkan sumber pihak ketiga.

Saat lembaga negara memakai istilah “cek fakta” tanpa menjalankan metodologi pemeriksaannya, hal yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik.

Stempel “cek fakta” ini mengingatkan pada stempel hoaks yang dilakukan oleh kepolisian pada 2021 hingga 2021.

Bayangkan jika setiap institusi merasa berhak menyebut klarifikasinya sebagai fakta atau informasi yang berbeda sebagai hoaks. Padahal, kata “cek fakta” bukan label netral, melainkan janji integritas, yakni pemeriksaan atau pengecekan dilakukan dengan metodologi tertentu.

Cek fakta adalah proses jurnalistik yang melibatkan verifikasi independen, pelacakan sumber asli, perbandingan klaim dengan data, dan penyajian hasil secara transparan.

Sebagai perbandingan, Kompas.com yang memiliki kanal Cek Fakta yang terstruktur dalam tiga subkanal: “Hoaks atau Fakta,” “Data dan Fakta,” dan “Sejarah dan Fakta.”

Subkanal Hoaks atau Fakta berfungsi sebagai lini utama dalam membantah informasi palsu yang beredar di ruang publik.

Di sinilah berita debunk disusun dengan pendekatan investigatif, yakni melalui pelacakan sumber asli, verifikasi data, dan konfirmasi dengan narasumber terpercaya.

Dalam subkanal ini, Kompas.com menggunakan dua label utama: HOAKS dan KLARIFIKASI. Label HOAKS digunakan untuk informasi yang terbukti salah, baik karena manipulasi konten, judul yang tidak sesuai isi, maupun konteks yang sengaja dibelokkan.

Sementara itu, label KLARIFIKASI digunakan untuk menjelaskan konten satire, parodi, atau lelucon yang mungkin disalahpahami publik, tanpa adanya niat menyesatkan dari pembuat aslinya.

Subkanal Data dan Fakta menyajikan informasi berbasis data mengenai isu-isu terkini. Sementara itu, Sejarah dan Fakta memuat narasi sejarah yang disusun dari sumber-sumber terpercaya.

Berbeda dengan “Hoaks atau Fakta” yang bersifat membantah, kedua subkanal ini mengedepankan pendekatan informatif. Kedua subkanal ini menyuguhkan informasi faktual dan kontekstual kepada pembaca, baik untuk isu aktual maupun peristiwa sejarah.

Struktur semacam ini memperlihatkan bagaimana Kompas.com tidak hanya membantah hoaks, tetapi juga berusaha membangun pemahaman publik melalui penyajian data yang akurat dan narasi sejarah yang bertanggung jawab.

Jika melihat prosedur yang dilakukan oleh Kompas.com, apakah layak lembaga pemerintah memberikan cap disinformasi tanpa ada kerja verifikasi atau cek fakta? Jika unggahannya bersifat klarifikasi, mengapa tidak disebut sebagai klarifikasi?

Pemerintah boleh melakukan komunikasi publik. Bahkan, pemerintah wajib memberi klarifikasi terhadap isu-isu yang menyesatkan.

Namun, menyebut diri sebagai “cek fakta” sambil menghindari prinsip-prinsip cek fakta adalah bentuk penyalahgunaan terhadap prinsip cek fakta.

Kritik ini bukan ditujukan untuk melemahkan upaya pemerintah melawan hoaks, tapi untuk menjaga standar etik dan publikasi.

Jika pemerintah sungguh ingin melawan hoaks secara kredibel, dukungan seharusnya diarahkan pada lembaga-lembaga yang independen, transparan, dan berpengalaman menjalankan verifikasi.

Namun, bukan dengan mengklaim label “cek fakta” tanpa proses yang dapat diuji.

Di negara demokratis, kebenaran harus diuji, ditantang, diverifikasi, dan diaudit secara publik. Dalam dunia yang makin ramai dan makin sulit memisahkan mana yang fakta dan opini, publik membutuhkan pihak-pihak yang ingin berlelah-lelah melakukan pemeriksaan fakta demi menyuarakan kebenaran.

“Cek fakta” tanpa transparansi metode dan tanpa verifikasi independen tidak sedang memberikan publik kebenaran, tetapi menyuguhkan publik dengan versi sendiri.

Tag:  #cekfaktari #antara #narasi #tunggal #pemerintah #verifikasi #independen

KOMENTAR