Papua Bukan Tanah Kosong: ''Save'' Raja Ampat!
Pemerintah pusat mulai menanggapi sorotan publik soal tambang nikel di Raja Ampat. Menteri LHK dan Menteri ESDM siap evaluasi izin dan tinjau langsung lokasi tambang. Apa dampaknya bagi kawasan konservasi dunia itu?(Kompas.com/Nabilla Ramadhian)
06:54
6 Juni 2025

Papua Bukan Tanah Kosong: ''Save'' Raja Ampat!

PADA 3 Juni 2025, suasana forum internasional Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, mendadak tegang.

Di tengah pidato Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, sekelompok aktivis Greenpeace bersama empat anak muda Papua membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Aksi damai itu merupakan bentuk perlawanan terhadap ekspansi tambang nikel yang mengancam tanah dan laut Raja Ampat—sebuah kawasan yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi”.

Alih-alih diperlakukan sebagai ekspresi damai yang dijamin konstitusi, keempat aktivis tersebut justru ditangkap dan diamankan polisi ke Polsek Grogol Petamburan, Jakarta.

Penangkapan tersebut mencerminkan kecenderungan negara yang menyempitkan ruang kebebasan berpendapat, sekaligus memperlihatkan bagaimana hukum kerap berpihak pada stabilitas semu ketimbang pada keadilan substantif.

Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata, melainkan rumah bagi masyarakat adat, habitat bagi 75 persen spesies karang dunia, dan wilayah konservasi yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark.

 

Namun, lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat untuk tambang nikel. Pelbagai pulau kecil, seperti Gag, Kawe, dan Manuran dijarah, padahal pelindungan hukum telah ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 2014 yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil.

Aktivitas tambang mengancam hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Hak masyarakat adat atas wilayah ulayat yang telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012 pun terancam dikaburkan demi dalih hilirisasi.

Jika ditinjau melalui perspektif teori critical legal studies, hukum pembangunan sering kali menyamarkan ketimpangan dan eksploitasi sebagai kemajuan.

Narasi hilirisasi nikel tidak netral—melainkan menjadi alat pembenaran atas perampasan ruang hidup komunitas lokal, sekaligus menyingkirkan suara-suara pinggiran dalam pengambilan keputusan.

Hukum yang seharusnya membela kelompok lemah justru membiarkan yang kuat menguasai.

Pun, pendekatan ecological justice mengingatkan kita bahwa keadilan lingkungan tak hanya soal distribusi beban ekologis, melainkan juga pengakuan atas suara komunitas lokal dan hak mereka untuk menentukan masa depan lingkungan hidupnya.

Ketika masyarakat Papua tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka keadilan ekologis telah diingkari.

Sayangnya, negara (seolah) masih melihat Papua sebagai objek kebijakan, bukan subjek hak. Seruan “Papua bukan tanah kosong” sejatinya bukan sekadar frasa, melainkan koreksi terhadap cara pandang lama yang memosisikan wilayah Timur Indonesia sebagai ruang terbuka bagi eksploitasi.

Padahal, Raja Ampat adalah ruang hidup, identitas, dan masa depan yang tak ternilai harganya.

Jika negara benar-benar ingin menegakkan hukum dan HAM, maka evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

 

Kebijakan hilirisasi harus dikaji ulang dengan menempatkan hak atas lingkungan, hak masyarakat adat, dan prinsip keberlanjutan sebagai pijakan utama.

Indonesia tidak akan runtuh karena menghentikan satu proyek tambang. Namun, akan kehilangan kehormatan jika membiarkan “surganya” hancur demi ambisi industrialisasi yang menyingkirkan rasa keadilan.

Menyelamatkan Raja Ampat bukan sekadar urusan ekologi, melainkan soal keberpihakan pada kemanusiaan.

Papua bukan tanah kosong. Papua adalah rumah, hutan, laut, dan kehidupan. Maka seruan “Save Raja Ampat” bukanlah retorika, melainkan panggilan moral bagi bangsa ini untuk berpihak pada yang benar, sebelum segalanya terlambat.

Penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat tidak bisa dipisahkan dari persoalan struktural dalam pembangunan Indonesia yang cenderung berwatak eksploitatif.

Dalam kerangka dependency theory ala Frank, model pembangunan seperti ini memperlihatkan pola ketergantungan yang merugikan daerah pinggiran.

Papua, dalam hal ini, seolah diposisikan hanya sebagai penyedia bahan mentah, sementara nilai tambah ekonomi dan pengambilan keputusan terpusat di pusat kekuasaan dan kapital.

Hal ini diperkuat oleh kecenderungan hukum yang berfungsi sebagai instrumentum regni—alat kekuasaan—alih-alih menjadi penjaga keadilan.

Teori hukum sebagai kekuasaan (law as power) sebagaimana dijelaskan oleh Foucault menunjukkan bahwa hukum tidak selalu menjamin kebenaran atau keadilan, tetapi sering kali menjadi medium untuk menormalisasi praktik dominasi.

Penangkapan aktivis, pembiaran ekspansi tambang di kawasan konservasi, hingga pengabaian partisipasi komunitas lokal adalah manifestasi dari hukum yang bekerja demi akumulasi, bukan emansipasi.

Pun, kebijakan hilirisasi yang dijustifikasi atas nama “transisi energi” perlu ditinjau ulang melalui lensa just transition.

Konsep ini, yang muncul dalam diskursus perubahan iklim global, menekankan bahwa transisi menuju energi bersih harus disertai dengan perlindungan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat terdampak.

Namun, alih-alih transisi yang adil, praktik hilirisasi nikel di Indonesia justru menciptakan ketidakadilan ekologis yang melanggengkan environmental racism terhadap wilayah timur seperti Papua—yang mana kerusakan lingkungan dikonsentrasikan kepada komunitas yang secara historis dimarjinalkan.

Konflik ini pun membuka luka lama relasi kuasa antara negara dan masyarakat Papua. Kegagalan negara dalam menjamin hak partisipasi dan lingkungan yang aman memperkuat sentimen ketidakpercayaan.

Dalam kerangka teori keadilan ala Rawls, prinsip kebebasan dasar dan kesetaraan kesempatan jelas tercederai.

Masyarakat Papua tidak diberikan ruang setara untuk menentukan nasib atas tanah, hutan, dan laut yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan spiritualitas mereka.

Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau nan indah, melainkan representasi dari benteng terakhir keanekaragaman hayati, ketahanan budaya lokal, dan integritas ekologis.

Maka, membiarkan kawasan ini ditambang secara “ugal-ugalan” berarti membiarkan negara kehilangan arah moral dan konstitusionalitasnya.

Negara semestinya menjadi pelindung hak, bukan promotor investasi yang abai pada prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.

Saat ini, pemerintah masih punya peluang untuk bertindak secara konstitusional dan etis. Mencabut izin-izin tambang di kawasan yang dilindungi, melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan keputusan, serta mengedepankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam kebijakan lingkungan adalah langkah minimal yang harus diambil.

Tanpa itu, negara justru sedang menulis bab baru dalam sejarah pelanggaran HAM ekologis di Papua.

Papua bukan tanah kosong. Papua bukan ruang vakum yang bisa diisi sesuai kepentingan pasar, melainkan tanah yang berpenghuni, berakar budaya, dan penuh suara yang selama ini kerap dibungkam.

Kini, suara-suara itu tengah berseru: Selamatkan Raja Ampat—sebelum “surga” itu berubah menjadi ladang luka.

Tag:  #papua #bukan #tanah #kosong #save #raja #ampat

KOMENTAR