



Kepala BGN Klaim Minyak Jelantah dari Program MBG Bisa Dijual Mahal untuk Bioavtur, Peluang Nyata atau Sekadar Janji Manis Program MBG?
- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digulirkan pemerintah, kembali menjadi perbincangan.
Mengutip laman Media Keuangan milik Kementerian Keuangan Republik Indonesia, program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan langkah pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan memperkuat asupan gizi bagi pelajar.
Tidak hanya fokus pada kesehatan anak, program ini juga dirancang untuk mendukung pelaku UMKM, menggerakkan ekonomi rakyat, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebelumnya program MBG ini telah sering kali menjadi topik perbincangan di kalangan masyarakat karena beberapa kontroversi terkait program ini, seperti keracunan massal MBG yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
Namun, kali ini program MBG kembali menjadi perbincangan bukan soal anggaran atau efektivitas program, tetapi mengenai pernyataan menarik dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana.
Dalam salah satu video podcast pada kanal YouTube resmi Badan Gizi Nasional Republik Indonesia, Dadan menyatakan jika minyak jelantah hasil dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa dijual kembali dengan harga tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai bioavtur untuk pesawat terbang.
Dadan juga mengatakan bahwa setiap satuan pelayanan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibuka akan menciptakan kebutuhan minimal 15 supplier baru, mulai dari beras, telur, daging, buah, hingga pihak yang akan mengambil minyak jelantah.
“Setiap satuan pelayanan berdiri, maka akan dibutuhkan minimal 15 supplier baru. Siapa supplier itu? Yaitu untuk masuk beras, masuk telur, masuk daging, masuk buah, dan lain-lain, termasuk yang mengambil jelantahnya,” ungkap Dadan.
Ia bahkan menekankan bahwa jelantah tersebut bisa dikomersilkan karena ada pasar khusus yang mengolahnya menjadi bahan bakar terbarukan untuk industri penerbangan.
“Kan banyak tuh digunakan minyak, ya, jelantahnya kemudian bisa ditampung, kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi. Kenapa? Karena akan digunakan untuk bioavtur kan, untuk pesawat terbang,” lanjut Dadan.
Pernyataan tersebut tentu mengundang rasa optimis, bahwa program gizi bisa berdampak luas, termasuk menciptakan ekosistem ekonomi sirkular.
Namun, pertanyaan besarnya adalah, apakah benar akan terealisasi seperti yang dikatakan?
Sebab, hingga kini belum ada skema nasional yang transparan terkait pengumpulan, distribusi, dan konversi jelantah dari dapur pelayanan publik menjadi bioavtur.
Belum jelas siapa yang akan membeli, mengelola, dan memastikan prosesnya tidak hanya menjadi proyek elitis yang berhenti di atas kertas.
Mengingat pengalaman di banyak proyek pemerintah sebelumnya yang menunjukkan, di balik retorika ‘ekonomi hijau’ atau ‘ekosistem lokal’, sering kali terjadi permainan dalam tender, penunjukan supplier fiktif, atau monopoli pengadaan oleh kelompok tertentu.
Pernyataan soal ‘15 supplier baru’ di setiap titik pelayanan pun patut dikritisi. Apakah supplier tersebut benar-benar akan berasal dari komunitas lokal atau hanya akan diisi oleh perusahaan-perusahaan yang sudah ‘punya nama’ dan kedekatan politik?
Tanpa mekanisme transparan dan pengawasan ketat, program sebesar ini bisa menjadi lahan basah bagi praktik rente dan mark-up.
Hal yang sama bisa terjadi pada pengelolaan limbah organik. Dadan menyebut bahwa sisa makanan pun bisa dijadikan pakan magot yang bernilai ekonomi.
“Nah kemudian selain itu sampah organik pun salah satu yang cukup menarik juga, karena akhirnya banyak juga yang bergerak di bidang sampah organik ini, untuk menjadikan makanan magot, untuk pupuk organik, dan lain-lain,” jelas Dadan.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang akan mengelola? Apakah masyarakat lokal akan dilibatkan, atau justru muncul badan usaha baru yang hanya dijadikan formalitas?
Tak dapat dipungkiri, konsep yang disampaikan oleh Kepala BGN sangat menarik, yakni membangun sistem gizi yang terintegrasi dengan energi dan pengelolaan limbah.
Tetapi tanpa peta jalan yang jelas, transparansi data, dan kontrol independen, semua itu bisa hanya jadi narasi manis tanpa realisasi.
Pemerintah harus sadar bahwa publik saat ini tak hanya ingin mendengar janji, tapi menuntut bukti konkrit di lapangan.
Program Makan Bergizi Gratis bisa menjadi lompatan besar, tetapi juga bisa jadi proyek kosong penuh celah permainan.
Saat jargon ekonomi hijau dan pemberdayaan lokal digaungkan, publik berhak untuk bertanya, benarkah hal tersebut akan diwujudkan? Atau hanya sekadar manuver politik dan proyek elite berkedok kerakyatan?
***
Tag: #kepala #klaim #minyak #jelantah #dari #program #bisa #dijual #mahal #untuk #bioavtur #peluang #nyata #atau #sekadar #janji #manis #program