Skandal Korupsi Pertamina 2018-2023, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor
07:16
26 Februari 2025

Skandal Korupsi Pertamina 2018-2023, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax

- Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga telah terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax.

Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).

“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.

Melanggar hak konsumen

Pengoplosan Pertamax dan Pertalite ini dinilai telah melanggar hak-hak para konsumen.

Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menyebutkan, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pihak penjual harus memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.

Rolas menilai, dalam hal pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), masyarakat telah mempercayakan ini kepada pemerintah, yaitu Pertamina.

Namun, kasus dugaan korupsi justru ditemukan di salah satu anak perusahaan penyuplai BBM ini.

"Di benak masyarakat, negara seharusnya dipercaya 100 persen. Kalau bukan negara, siapa lagi yang akan dipercaya. Kalau dia melakukan penipuan publik, itu fatal," ujar Rolas, kepada Kompas.com, Selasa (25/2/2025).

Rolas menekankan, pemerintah harus melakukan audit total kepada PT Pertamina Patra Niaga atas kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.

"Menurut saya, ada SOP (Standard Operating Procedure). Ini diperlukan audit total," lanjutnya.

Dia menilai, pemerintah harus melakukan audit total kepada semua hal yang berkaitan dengan Pertamina, bukan hanya penjualan BBM.

Hal lain yang bisa diaudit adalah urusan di kilang-kilang minyak yang bisa diperjualbelikan.

 

Dampak salah jenis BBM ke kendaraan

Sementara itu, pakar otomotif dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jayan Sentanuhady mengungkapkan, ada dampak yang akan dialami jika kendaraan memakai jenis BBM yang salah.

BBM jenis Pertalite dengan oktan RON 90 seharusnya dipakai untuk mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.400 cc dan motor dengan kapasitas mesin di bawah 250 cc.

Sebaliknya, kendaraan berkapasitas mesin di atas 1.400 cc dan memiliki rasio kompresi tinggi atau teknologi canggih harus menggunakan Pertamax dengan oktan minimal 92.

"Oktan yang rendah akan menyebabkan pembakaran tidak sempurna," kata Jayan, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa.

Jayan menyebut, kondisi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya penyalaan dini pada mesin kendaraan.

Akibatnya, bisa terjadi knocking atau suara ketukan pada mesin. Hal ini bisa menurunkan akselerasi mesin dan merusak komponen kendaraan.

Selain itu, salah pakai BBM bisa membuat pembakaran mesin kurang efisien.

Tindakan tersebut juga membuat deposit berupa endapan karbon atau kerak yang menempel pada komponen mesin menjadi lebih banyak.

Akibatnya, berisiko merusak mesin kendaraan.

Meski risiko dari salah pakai jenis BBM untuk kendaraan cukup besar, Jayan menyatakan masyarakat tidak perlu menguras atau memeriksakan kendaraannya ke bengkel.

Coreng kredibilitas BUMN

Wakil Ketua Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio menilai kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina itu bakal mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat dan negara, tetapi juga mencoreng kredibilitas BUMN kita," kata Eko, saat dikonfirmasi, Selasa (25/2/2025).

Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depan oleh BUMN, yang pertama adalah penguatan pengawasan internal.

Eko menilai sistem pengawasan di anak usaha BUMN harus diperketat.

"Manajemen harus menerapkan ketentuan hukum yang berlaku secara menyeluruh terhadap tata kelola distribusi BBM untuk menutup celah yang memungkinkan praktik kecurangan seperti ini," ujarnya.

Tak hanya itu, Pertamina juga mesti meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Eko mendorong Pertamina selaku BUMN untuk lebih terbuka dalam melaporkan kebijakan dan operasionalnya, terutama terkait tata kelola bahan bakar.

"Kami di Komisi VI akan meminta laporan lebih detail mengenai mekanisme kontrol yang diterapkan selama ini dan mengidentifikasi kelemahan yang perlu diperbaiki," ujar Eko.

Ketiga, dia menilai perlu ada sanksi tegas untuk internal BUMN yang terlibat korupsi.

"Tidak hanya pihak eksternal atau pelaku lapangan yang harus disalahkan. Jika ada oknum di dalam BUMN yang terbukti terlibat, mereka juga harus ditindak tegas untuk memberikan efek jera," kata Eko.

Respons Pertamina

PT Pertamina (Persero) memastikan distribusi energi ke masyarakat tetap berjalan normal, meski empat petinggi anak usaha atau subholding ditetapkan menjadi tersangka.

"Di tengah proses tersebut, Pertamina memastikan bahwa layanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh Indonesia tetap berjalan lancar," ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, dalam keterangannya, Selasa (25/2/2025).

"Pertamina juga menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa," imbuh dia.

Terkait penetapan para petinggi subholding menjadi tersangka, Fadjar mengatakan, Pertamina menghormati langkah Kejagung dan aparat penegak hukum lainnya yang menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang berjalan di subholding Pertamina.

"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," kata dia.

Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 7 tersangka atas kasus tersebut, di mana 4 di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.

Keempatnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).

Sedangkan 3 broker yang menjadi tersangka yakni MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Editor: Shela Octavia

Tag:  #skandal #korupsi #pertamina #2018 #2023 #pertalite #dioplos #jadi #pertamax

KOMENTAR