Efisiensi Anggaran: Memangkas Administratif atau Layanan Publik?
Ilustrasi pajak. (KOMPAS/Supriyanto)
11:10
11 Februari 2025

Efisiensi Anggaran: Memangkas Administratif atau Layanan Publik?

Bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik….”

KALIMAT di atas diambil dari bagian menimbang huruf a dan b dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Bagian tersebut menegaskan amanat dari UUD NRI Tahun 1945 bahwa negara hadir memberikan kewajiban menyelenggarakan pelayanan publik.

Tidak hanya itu, penyelenggaraan pelayanan publik sebenarnya merupakan langkah pemerintah memastikan terjaminnya Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang dituangkan dalam Bab XA UUD NRI Tahun 1945.

Dalam buku Public Finance and Public Policy karya Jonathan Gruber dijelaskan bahwa pentingnya peran negara dalam membiayai pelayanan publik, serta bagaimana kebijakan fiskal (keuangan negara) dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Singkatnya, Jonathan Gruber menyimpulkan bahwa pembiayaan pelayanan publik melalui keuangan negara adalah instrumen penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Negara memiliki peran krusial dalam menyediakan barang publik yang dibutuhkan, meredistribusikan pendapatan untuk mengurangi ketimpangan sosial, dan menjaga stabilitas ekonomi.

Kalau kita bedah dari sisi terminologi, frasa pelayanan publik mengandung (tiga) unsur, yaitu pelayan, layanan, serta publik.

Pelayan publik diartikan sebagai pihak yang menjalankan pemerintahan. Layanan publik diartikan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.

Sementara publik diartikan sebagai seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sederhananya, penulis ingin menjelaskan bahwa ketiga unsur tersebut adalah saling berkoherensi (berhubungan).

Mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dimulai dari bagaimana pelayan publik memperhatikan layanan yang diberikan, layanan yang diberikan dapat diakses masyarakat, hingga respons publik atas baik buruk layanan yang diberikan oleh negara.

Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menargetkan penghematan anggaran sebesar Rp 306,7 triliun, terdiri atas penghematan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.

Pada bagian ketiga instruksi tersebut, rencana efisiensi sebagaimana dimaksud meliputi belanja operasional dan nonoperasional, sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

Adapun untuk para gubernur serta bupati/wali kota, dalam Inpres terdapat perintah membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar atau Focus Group Discussion (FGD).

Kemudian, mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50 persen. Selain itu, terdapat perintah untuk menetapkan penyesuaian alokasi Transfer ke Daerah (TKD) tahun anggaran 2025.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa penggunaan anggaran lebih difokuskan pada program prioritas presiden seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan, energi, hingga perbaikan sektor kesehatan serta langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas masyarakat untuk bisa menjadi sumber daya masyarakat yang makin unggul.

Krisis pelayanan publik

Pasca-Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, rasanya pelayanan publik hilang satu per satu.

Satu per satu instansi pemerintahan yang menyelenggarakan layanan publik mengumumkan pemotongan program dengan alasan instruksi efisiensi anggaran.

Contohnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan efisiensi anggaran pada tahun 2025 hingga Rp 2,074 triliun. Salah satu dampaknya adalah BRIN menghapuskan anggaran riset.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkena pemotongan anggaran sebesar 50,35 persen atau Rp 1,423 triliun dari anggaran semula Rp 2,826 triliun.

Selain itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melakukan efisiensi 23,95 persen atau sebesar Rp 8,03 triliun, dari anggaran belanja awal sebesar Rp 33,5 triliun.

Komisi Yudisial (KY) terdampak efisiensi anggaran sebesar 54 persen dari total pagu anggaran tahun 2025 yang diterima sekitar Rp 184 miliar.

Efisiensi anggaran ini juga berdampak pada kementerian/lembaga hingga pemerintahan daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik di sektor infrastruktur, penegakan hukum, dan lain sebagainya.

Meski demikian, terdapat juga kementerian/lembaga yang bahkan sama sekali tidak terkena pemotongan anggaran seperti, Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, KPK, TNI, dan lembaga lainnya yang disebutkan secara eksplisit dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.

Tentu menjadi pertanyaan serius secara akademik, apakah pemerintah sudah memperhitungkan multiplier effect dari pemotongan anggaran?

Apakah pemerintah punya perencanaan matang sehingga bisa menentukan kementerian/lembaga mana yang harus dipotong dan mana yang tidak? Atau justru dilakukan secara subjektif maupun politis saja?

Selain itu, apakah sudah mempertimbangkan domino effect apabila Transfer ke Daerah (TKD) dipotong?

Pertanyaan ini begitu penting karena dampak pemotongan ini akhirnya benar-benar dirasakan masyarakat.

Masing-masing institusi pemerintahan mengurangi jumlah layanan publik, mengurangi jumlah tenaga honorer di institusi pemerintahan, mengurangi jumlah program-program yang sebelumnya dirasakan masyarakat, hingga titik kulminasinya adalah mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Akhirnya yang terjadi adalah pemerintah menyelenggarakan layanan publik tanpa ‘layanan’ yang berarti.

Belum lagi, kalau kita berbicara dari sudut pandang penyelenggaraan pelayanan publik di level daerah. Bagaimana dengan daerah yang belum mandiri secara fiskal atau benar-benar bergantung dari transfer pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang juga akan berujung pada terganggunya pelayanan publik hingga aktivitas ekonomi daerah.

Salah kaprah ‘efisiensi anggaran’

Kalau kita berkaca dari perspektif definisi, efisiensi artinya adalah kemampuan untuk mencapai hasil yang maksimal dengan menggunakan sumber daya minimal.

Efisiensi juga dapat diartikan sebagai cara yang tepat untuk menjalankan sesuatu tanpa membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Jadi, efisiensi anggaran seharusnya dimaknai menjalankan pelayanan publik secara maksimal dengan sumber daya minimal.

Yang terjadi akibat efisiensi anggaran atas Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 adalah berkurangnya jumlah pelayanan publik dengan cara mengurangi jumlah anggaran. Artinya, secara definisi praktik yang dilakukan saat ini tidak sesuai dengan prinsip efisiensi.

Sebagai contoh, misalkan kementerian dengan anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp 40 miliar menjalankan sebanyak 30 program layanan publik. Setelah dilakukan efisiensi anggarannya menjadi Rp 25 miliar, dengan catatan program layanan tidak berkurang.

Namun, yang berkurang adalah anggaran birokrasi seperti, perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa kebutuhan kantor, dan hal-hal lain yang sifatnya administratif.

Sebenarnya, efisiensi anggaran justru semakin salah kaprah. Di satu sisi ingin melakukan penghematan anggaran, di satu sisi menambah jumlah struktur kementerian hingga lembaga.

Jika benar-benar ingin melakukan efisiensi anggaran, seharusnya dimulai dengan mengurangi jumlah struktur kabinet atau tidak merevisi Undang-Undang Kementerian Negara yang memberikan celah ‘menggendutkan kabinet’.

Dampaknya adalah memperbesar jumlah pos-pos belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Efisiensi anggaran dengan memotong sejumlah layanan publik sama saja dengan menjalankan pemerintahan tanpa menyelenggarakan pelayanan publik.

Belanja negara akhirnya hanya berhenti pada program-program yang sifatnya populis dan sebatas administrasi pemerintahan saja. Aktivitas pemerintahan saat ini rasanya sedang terombang-ambing tanpa perencanaan secara teknokratik.

Sebagai langkah strategis, pemerintah perlu segera menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 sebagai pedoman utama dalam merencanakan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.

Tanpa RPJMN, program pembangunan bisa terhambat atau bahkan tidak terarah. Masing-masing pihak mungkin memiliki pandangan berbeda (ego sektoral) tentang prioritas apa yang harus dijalankan, menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan kebijakan.

Tag:  #efisiensi #anggaran #memangkas #administratif #atau #layanan #publik

KOMENTAR