![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Sederet Alasan untuk Memperluas Wewenang Komisi Yudisial](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/11/kompas/sederet-alasan-untuk-memperluas-wewenang-komisi-yudisial-1206174.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Sederet Alasan untuk Memperluas Wewenang Komisi Yudisial
Wewenang Komisi Yudisial (KY) diusulkan untuk diperluas lewat revisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) maupun rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Usulan itu disampaikan langsung oleh KY maupun anggota DPR RI dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI yang membahas RKUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
Sedikitnya terdapat 11 usulan yang disampaikan KY dalam rapat kerja, termasuk perluasan kewenangan.
Komisi III DPR RI sendiri menargetkan KUHAP baru dapat berlaku pada 1 Januari 2026, bersamaan dengan mulai berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang direvisi pada 2022.
Salah satu perluasan yang diusulkan adalah KY dapat melakukan pengawasan terhadap hakim dan aparat penegak hukum (APH) pada semua tingkatan peradilan.
Pasalnya, KUHAP yang berlaku tidak mengatur pengawasan terhadap proses penegakan hukum.
Saat ini, hanya ada pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Bab 20 beleid tersebut.
Pengawasan terhadap putusan pengadilan itu berada di ujung proses penegakan hukum.
KY berpendapat, penyalahgunaan wewenang bisa terjadi sejak penyelidikan.
"Komisi Yudisial merekomendasikan kepada yang terhormat Komisi III DPR RI, kami berpandangan agar penegasan pengawasan terhadap aparat penegak hukum menjadi perhatian serius di dalam perubahan KUHAP, termasuk pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial," kata Ketua KY Amzulian Rifai dalam rapat kerja (raker) tersebut.
Menurut Rifai, memasukkan pengawasan di dalam KUHAP akan memberikan legitimasi kuat bagi lembaga-lembaga pengawas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Terlebih, KY telah menerima ribuan pengaduan atau laporan terkait sikap dan perilaku hakim setiap tahun.
Pada 2024 saja, terdapat 2.274 laporan dan tembusan, serta 966 permohonan pemantauan persidangan untuk semua tingkatan pengadilan.
"Jika perlu, pengawasan terhadap aparat penegak hukum diatur di dalam bab tersendiri dalam perubahan KUHAP tersebut," kata dia.
Didukung DPR
Masalah pengawasan hakim oleh KY juga menjadi sorotan anggota Komisi III DPR RI dalam rapat yang sama.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Rudianto Lallo, misalnya, mengatakan, pengawasan diperlukan di tengah berbagai kasus yang mencoreng dunia peradilan.
Lebih-lebih, banyak putusan hakim yang justru dinilai oleh masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan.
Dia mencontohkan kasus yang menjerat tiga hakim dalam perkara pembunuhan Ronald Tannur.
Kasus tersebut pun berbuntut panjang hingga menyeret mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya.
Selain itu, terungkap pula adanya temuan uang hampir Rp 1 triliun di kediaman eks petinggi Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang turut terseret dalam perkara ini.
“Yang terjadi pada kasus Tannur ternyata efeknya luar biasa. Efeknya hakimnya ditangkap, ditahan, dan pengembangannya ketua pengadilannya juga terlibat. Pengembangannya ada uang Rp 1 triliun, ke mana-mana ini barang,” kata Rudianto.
Menurut dia, tambahan wewenang KY pada hakim tidak hanya bergantung pada independensi kekuasaan kehakiman, tetapi juga dapat dikontrol dari aspek perilaku.
Tak cuma Rudianto Lallo, revisi UU KY didukung oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI Bob Hasan.
Menurut Amzulian, pimpinan Baleg DPR menyatakan bahwa sangat mendukung revisi tersebut, sehingga KY bisa lebih kuat dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Beliau (Bob Hasan) sangat support dan mengatakan saya berada di depan untuk merevisi UU KY sehingga KY bisa lebih kuat untuk menjalankan fungsi-fungsinya, sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 maupun UU,” kata Amzulian.
KY kesulitan
Revisi juga diperlukan lantaran KY selama ini merasa kesulitan dalam menjalankan tugas secara optimal karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki saat ini.
Salah satu permasalahan utama yang disoroti Amzulian adalah keterbatasan sumber daya KY dalam mengawasi ribuan hakim di seluruh Indonesia.
Saat ini, menurut Amzulian, KY hanya memiliki tujuh komisioner dan tidak memiliki perwakilan resmi di daerah, kecuali kantor penghubung yang sifatnya hanya koordinatif.
Amzulian mengatakan, sistem seperti ini menyulitkan masyarakat yang ingin melaporkan dugaan pelanggaran hakim.
Dia menggambarkan bagaimana pelapor sering kali merasa kecewa karena laporan mereka harus menunggu tindak lanjut dari pusat.
"Bagaimana mungkin pengawas eksternal bisa menjalankan tugas dengan baik jika hakim di seluruh Indonesia jumlahnya mungkin di atas 8.000, sementara KY hanya memiliki tujuh komisioner dan tidak memiliki perwakilan daerah? Yang ada hanya kantor penghubung, yang namanya saja penghubung, artinya tidak punya kewenangan apa-apa, hanya koordinasi," kata Amzulian.
Akses ke sidang tertutup
Tak hanya pengawasan hakim, KY juga mengusulkan kewenangannya diperluas untuk mengawasi sidang yang sifatnya tertutup untuk umum dan pada tingkat banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK).
Sebab selama ini, pemeriksaan perkara di tahap upaya hukum banding, kasasi, atau PK, dilakukan secara terbatas oleh Majelis Hakim yang memeriksa.
Hal ini pun bisa menimbulkan putusan gelap, berkaca pada kasus Hakim Agung Ahmad Yamani yang pada saat itu mengubah putusan terhadap terdakwa gembong narkoba Henki Gunawan dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara.
Akibatnya, Hakim Agung Yamani diajukan ke sidang MKH pada tahun 2012 dan dijatuhi sanksi pemberhentian sebagai Hakim Agung berdasarkan putusan MKH nomor 4 tahun 2012.
Terlebih, KY menerima banyak permohonan dari masyarakat untuk mengawasi perkara pada tingkat banding, kasasi, atau PK.
Selama tahun 2024 saja, KY menerima sebanyak 966 permohonan pemantauan untuk semua lingkungan pengadilan dan tingkatannya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 59 permohonan pemantauan pada tingkat banding dan 127 perkara untuk tingkat Mahkamah Agung, baik kasasi maupun PK.
Kendati demikian, karena keterbatasan wewenang, permohonan itu hanya dapat ditindaklanjuti dengan sebatas memberikan surat kepada pimpinan pengadilan atau Mahkamah Agung (MA) agar dapat memberikan perhatian terhadap penanganan perkara dimaksud.
"Kita berharap nanti ke depan di dalam KUHAP yang terbaru tidak hanya bisa dipantau untuk sidang terbuka untuk umum. Kalau bisa sidang tertutup, itu kan merupakan kewenangan dari Komisi Yudisial," kata anggota KY, Joko Sasmito.
"Selain itu, pemantauan itu kalau bisa tidak hanya di tingkat pertama yang bisa kita pantau. Tetapi nanti di tingkat banding, kasasi, termasuk PK bisa dipantau," imbuhnya.
Kewenangan menyadap
Tak cuma itu, usulan lainnya adalah soal kewenangan KY untuk melakukan penyadapan.
Menurut Amzulian, salah satu contoh penggunaan penyadapan di luar penegakan hukum pidana diatur dalam UU Komisi Yudisial.
Dalam beleid itu terdapat ketentuan bahwa KY dapat melakukan penyadapan untuk membuktikan dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku hakim.
Namun, ketentuan ini belum dapat terimplementasi secara optimal karena aturan yang tidak selaras dengan regulasi lainnya.
Saat ini, ketentuan penyadapan diatur dalam berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), serta beberapa regulasi lainnya.
“Pelaksanaan ketentuan ini belum dapat terwujud, mengingat ketidakselarasan aturan yang digunakan sebagai landasan,” kata Amzulian.
Menurut Amzulian, aparat penegak hukum (APH) selama ini menegaskan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum pidana.
Sementara dalam UU KY, penyadapan dimaksudkan untuk membuktikan dugaan pelanggaran kode etik hakim, bukan dalam konteks pidana.
“Tetapi KY bukanlah institusi penegak hukum, melainkan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap hakim,” jelas Amzulian.
Situasi yang sama juga terjadi dalam pengaturan mengenai upaya paksa terhadap saksi yang mangkir dari panggilan KY.
Menurut Amzulian, dalam KUHP baru, yakni UU Nomor 1 Tahun 2023, terdapat ketentuan mengenai konsekuensi hukum bagi saksi yang tidak memenuhi panggilan.
Namun, dalam UU KY, tidak terdapat aturan yang memungkinkan KY memberikan sanksi kepada saksi yang tidak hadir meski telah dipanggil sebanyak tiga kali.
Oleh karena itu, KY mengusulkan perubahan KUHAP nantinya mempertegas ketentuan terkait penyadapan dan pemanggilan paksa di luar kepentingan penegakan hukum pidana.
"Perlunya pengaturan yang lebih tegas agar tidak menimbulkan kebingungan akibat aturan yang tidak selaras satu sama lain," tandas Amzulian.
Tag: #sederet #alasan #untuk #memperluas #wewenang #komisi #yudisial