![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Lemkapi Nilai Revisi Tata Tertib DPR Bisa Mengganggu Tugas Penegak Hukum](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/08/tribunnews/lemkapi-nilai-revisi-tata-tertib-dpr-bisa-mengganggu-tugas-penegak-hukum-1164681.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Lemkapi Nilai Revisi Tata Tertib DPR Bisa Mengganggu Tugas Penegak Hukum
Dalam tata tertib hasil revisi, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Seperti diketahui sejumlah pejabat negara yang sebelumnya menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR di antaranya Kapolri, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Panglima TNI, Ketua Mahkamah Agung (MA), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lainnya.
Menurut Edi Hasibuan, keputusan DPR soal revisi tata tertib tersebut bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
"Kami melihat para legislatif berambisi sekali memperluas kewenangan," kata Edi Hasibuan dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (8/2/2025).
Khusus untuk Kapolri, Edi mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pihak yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri adalah Presiden.
Ia menilai peraturan DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) ini bisa membahayakan penegakan hukum.
"Peraturan baru tentang kewenangan DPR ini bisa membahayakan institusi penegak hukum," ucap Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta ini.
Selain itu, Edi Hasibuan menilai kewenangan baru DPR tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu tugas penegak hukum.
Edi berpendapat kewenangan baru DPR bisa mengevaluasi pejabat rawan disalahgunakan.
"Kewenangan DPR ini rawan digunakan untuk kepentingan politik terhadap penegakan hukum," katanya.
Terpisah, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan pemberhentian jabatan Kapolri hanya dapat dilakukan presiden.
"Pasal 11 UU Nomor 2 tahun 2002 bahwasanya Kapolri tetap diangkat dan diberhentikan Bapak Presiden," kata Trunoyudo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (7/2/2025).
Kemudian dalam Pasal 8 UU tersebut, Trunoyudo menuturkan Polri juga berkedudukan langsung di bawah presiden.
Selain itu, pada Pasal 5 dituliskan bahwa Polri diamanatkan untuk menjaga situasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas).
"UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah suatu amanah kepada Polri yang tentunya sampai dengan saat ini menjadi amanah dalam tugas kepolisian," ucap Trunoyudo.
DPR Membantah
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan membantah pihaknya bisa mencopot panglima TNI hingga Kapolri lewat revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dia menyebut kabar tersebut dipastikan tidak benar.
Menurutnya, DPR RI memiliki kewenangan dalam melakukan proses uji kelayakan atau fit and proper test kepada sejumlah pejabat negara.
Dia menyebut DPR juga bisa mengevaluasi terhadap pejabat yang sudah diangkat lewat rapat paripurna.
"Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot," ujar Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
"Kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu," imbuhnya.
Bob menyebutkan bahwa hasil evaluasi pejabat negara secara mufakat dari DPR RI itu nantinya akan menghasilkan suatu rekomendasi.
Hasil rekomendasi itu akan diberikan kepada instansi yang berwenang.
"Jadi berlaku mengikat di dalam. Tetapi kemudian dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkanlah berikan rekomendasi hasil evaluasi tersebut secara mufakat kepada instansi yang berwenang," jelasnya.
Lebih lanjut, Bob menambahkan instansi yang berwenang dalam mencopot jabatan nantinya akan diserahkan kepada pejabat pemegang kewenangan.
Di antaranya Presiden RI, Mahkamah Agung (MA), hingga Komisi Yudisial (KY).
"Siapa instansi yang berwenang yang tertingginya? ya misalkan presiden, kalau di MA misalkan Komisi Yudisial. Jadi itu tergantung kewenangan daripada pejabat pemegang kewenangan itu sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, DPR secara cepat merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang membuka ruang bagi parlemen untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah dipilih melalui rapat paripurna.
Namun, perubahan ini menuai kritik karena dianggap berisiko merusak sistem ketatanegaraan, mengingat aturan Tata Tertib DPR seharusnya hanya mengatur lingkup internal parlemen.
Ternyata, usulan revisi ini berasal dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) pada Senin (3/2/2025).
MKD mengajukan penambahan Pasal 228A, yang berbunyi:
“Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Setelah revisi ini diajukan, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk membahasnya di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Proses revisi ini berlangsung sangat cepat, kurang dari tiga jam, sebelum akhirnya disepakati seluruh fraksi partai politik.
Perubahan ini resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.
Dengan revisi ini, DPR kini memiliki kewenangan lebih besar untuk mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian sejumlah pejabat negara yang dipilih melalui rangkaian fit and proper test.
(Tribunnews.com/ adi/ igman/ reynas)
Tag: #lemkapi #nilai #revisi #tata #tertib #bisa #mengganggu #tugas #penegak #hukum