Miris! Korban Perkawinan Anak Sulit Lanjutkan Pendidikan, Stigma Sosial Jadi Kendala Utama
Ilustrasi perkawinan anak. (Ilustrasi/Suara.com)
17:40
4 Februari 2025

Miris! Korban Perkawinan Anak Sulit Lanjutkan Pendidikan, Stigma Sosial Jadi Kendala Utama

Perkawinan anak masih menjadi persoalan krusial yang mengancam pemenuhan hak dan masa depan anak-anak di Indonesia.

Temuan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), kesempatan korban perkawinan anak untuk bisa melanjutkan pendidikan masih rendah.

Padahal, pemerintah sebenarnya sudah memiliki sejumlah program, seperti Sekolah Terbuka dan Kejar Paket yang diselenggarakan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP2KBP3A).

"Faktor penyebabnya meliputi stigma sosial, rendahnya dukungan keluarga, dan keengganan anak keluar rumah," kata Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti dalam acara dialog evaluasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta, Selasa (4/2/2025).

Menurut Dini, kondisi itu menunjukkan perlunya penguatan edukasi kepada anak-anak dan orang tua terkait pentingnya pendidikan.

Plam Indonesia memaparkan temuan tersebut dalam laporan yang mencakup lima lokasi, yaitu Sukabumi, Jawa Barat, Lombok Barat, Lombok Utara, dan Mataram, Nusa Tenggara Barat, serta Lembata dan Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Namun, temuan yang ada bisa jadi hanya yang terlihat di permukaan.

Pasalnya, pencatatan kasus perkawinan anak di Indonesia dinilai masih kurang, baik melalui dispensasi pernikahan maupun secara informal. Menurut Dini, hal itu menyulitkan monitoring dan evaluasi kebijakan.

"Data yang akurat diperlukan untuk merumuskan kebijakan perlindungan anak yang tepat sasaran," katanya.

Secara data, prosentase perkawinan anak tercatat menurun dalam lima tahun terakhir. Namun, ia beranggapan kalau Indonesia masih menghadapi masalah serius terkait pernikahan anak dan pernikahan paksa dini.

Data BPS

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, mencatat sekitar 10,82 persen anak perempuan menikah sebelumnya usia 18 tahun. Pada tahun 2023, prosentase capaian melampaui target nasional RPJMN 2020-2024 sebesar 8,74 persen.

Namun, lanjut Dini, masih terdapat masalah terkait perkawinan anak, seperti perkawinan di bawah tangan atau kawin siri maupun perkawinan adat yang tidak terdaftar.

Fenomena itu yang dinilai belum terjangkau oleh intervensi kebijakan terhadap pencegahan perkawinan anak.

Belum lagi adanya alasan pemberian dispensasi kawin sering kali didasarkan pada pertimbangan subjektif seperti 'khawatir terjadi kemudharatan.'

"Penilaian ini cenderung mengesampingkan aspek kecukupan umur serta kematangan psikologis anak. Plan Indonesia merekomendasikan agar Mahkamah Agung mewajibkan sertifikasi hakim anak untuk meningkatkan kualitas keputusan," ucap Dini.

Untuk mencegah perkawinan anak juga diperlukan peran tokoh masyarakat, termasuk pemuka agama.

Menurut Dini, pandangan tokoh agama dan adat yang terbatas pada fiqih pernikahan, tanpa mempertimbangkan hukum positif, menjadi tantangan dalam penghapusan perkawinan anak.

"Program edukasi bagi tokoh masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak. Selain itu, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak juga masih terkendala oleh terbatasnya personil kepolisian yang memiliki perspektif perlindungan perempuan dan anak," ucapnya.

Editor: Chandra Iswinarno

Tag:  #miris #korban #perkawinan #anak #sulit #lanjutkan #pendidikan #stigma #sosial #jadi #kendala #utama

KOMENTAR