3 Temuan Ombudsman Soal Pagar Laut Tangerang: Maladministrasi, Upaya Kuasai Laut, Kerugian Rp 24 M
01:06
4 Februari 2025

3 Temuan Ombudsman Soal Pagar Laut Tangerang: Maladministrasi, Upaya Kuasai Laut, Kerugian Rp 24 M

Ombudsman RI Perwakilan Banten merilis temuan dari penelusuran kasus keberadaan pagar laut ilegal di perairan Tangerang, Banten.

Seperti diketahui, pagar laut di perairan Tangerang membentang sepanjang 30,16 Kilometer (Km).

Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyatakan konstruksi dari bambu itu tidak berizin dan dilakukan penyegelan.

Adapun Ombudsman merupakan lembaga negara yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk BUMN, BUMD, dan badan hukum milik negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu dengan  sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Dengan kata lain, Ombudsman bertugas menangani kasus-kasus dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik.

Setidak ada tiga temuan Ombudsman atas adanya pagar laut di Tangerang ini, seperti dirangkum Tribunnews.com berikut ini:

Maladministrasi

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten, Fadli Afriadi, menyatakan terdapat maladministrasi dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten.

Maladministrasinya berupa pengabaian kewajiban hukum Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten dalam menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan masyarakat soal permasalahan pagar laut di Tangerang.

"Kami menyatakan memang ada maladministrasi," tegas Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten, Fadli Afriadi dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (3/2/2025).

Fadli menjelaskan, pihaknya mendapat laporan dari masyarakat mengenai keberadaan laut di Kecamatan Kronjo pada 28 November 2024 dan 2 Desember 2024 lalu.

Sejatinya, pihaknya sudah terlebih dahulu mendapat informasi dari DKP Banten terkait adanya pagar laut di kawasan tersebut, yang sudah dihentikan juga oleh DKP Banten.

“Namun, tanggal 28 November ini kami menemukan, mendapatkan informasi ternyata masih ada (pagar laut)," kata Fadli.

Sehingga pada 5 Desember 2024, ia melakukan kunjungan lapangan dan melakukan pengecekan atas keberadaan pagar laut tersebut.

Pengecekan kembali tersebut melibatkan berbagai pihak, hingga waktu pembongkaran pagar laut.

"Kami mengapresiasi yang sudah dilakukan DKP di saat mendapatkan laporan masyarakat, langsung melakukan kunjungan lapangan, melakukan penghentian di saat panjangnya masih 10 Km, berkoordiniasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," katanya.

Namun, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan pembongkaran pagar laut, hingga baru 22 Januari 2025 baru dilakukan.

Upaya Kuasai Ruang Laut

Ombudsman RI Perwakilan Banten juga meyakini, pemasangan pagar laut tak berizin di perariran Tangerang merupakan bagian dari upaya menguasai ruang laut. 

"Kita meyakini ada indikasi yang kuat bahwa keberadaan pagar laut ini adalah dalam rangka upaya menguasai ruang laut," kata Fadli.

Keyakinan tersebut merujuk pada adanya permintaan penerbitan dokumen di Desa Kohod.

"Adanya dokumen yang menunjukan permintaan atau upaya penguasaan ruang laut, di mana 370 hektar awalnya diajukan di daerah Kohod, yang sebagian sudah terbit atau seluruhnya sudah terbit, dengan 263 bidang yang sudah terbit dan 50 yang sudah dicabut," jelasnya.

Bahkan, lanjut ia, lembaga yang sama berupaya untuk mengajukan kembali seluas 1.415 Hektar.

"Pihak yang sama atau lembaga yang sama yang mengajukan itu mengajukan kembali seluas 1.415 atau hampir 1.500 hektare. Itu berdasarkan peta yang diberikan ujung terluarnya yang mereka ajukan itu sama persis dengan pagar laut," ucapnya.

Sehingga, pihaknya pun meyakini munculnya pagar laut ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan pengajuan hak di laut.

"Yang modusnya adalah bagaimana menaikan status girik menjadi tanah, sama seperti di Kohod," tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, dalam pengajuan itu disebutkan lembaga yang mengajukan akan menancapkan bambu-bambu yang menyerupai sekatan untuk memudahkan identifikasi area tersebut.

"Salah satu suratnya menyatakan bahwa guna mengidentifikasi kepemilikan pertama, artinya adalah pengajuan girik menjadi hak, maka mereka akan membangun secara tradisional sekatan-sekatan berupa cerucuk dari bambu, sehingga memudahkan identifikasi," ujarnya.

"Kami menengarai identifikasi di sini adalah pengukuran. Karena kalau enggak gimana cara mengukurnya, kan? Batasnya tidak ada," ungkapnya.

Sebab itu, pihaknya meyakini ada identifikasi yang sangat keterkaitan antara pengajuan tersebut.

"Dan keterkaitan yang sangat kuat antara pengajuan yang pertama dengan yang kedua. Pengajuan pertama adalah yang di Kohod yang sudah terbit," tegasnya.

Sementara pengajuan kedua, meski dari BPN belum masuk suratnya, tapi proses di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah dilakukan.

Yakni meminta apakah area tersebut termasuk wilayah laut atau bukan.

"Nah, itu sudah ditindaklanjuti oleh KKP dengan menyatakan itu bukan. Hal yang sama ternyata terjadi juga yang di Kohod. Tapi, kan, tetap timbul," bebernya.

Melihat hal itu, Ombudsman pun mendorong agar aparat penegak hukum mengusut tuntas indikasi pidana tersebut.

Rugikan 4 Ribu Nelayan hingga Rp 24 Miliar

Menurut penuturannya, pengabaian laporan masyarakat tentang pagar laut di Tangerang merugikan masyarakat, khususnya ribuan nelayan.

Pihak Ombudsman Perwakilan Banten menaksir nilai kerugian yang ditimbulkan akibat adanya pagar lait itu mencapai Rp24 miliar.

"Minimal kerugian yang dialami hampir 4.000 nelayan itu mencapai sekurang-kurangnya Rp24 miliar," jelasnya.

"Karena ada berbagai asumsi dari jumlah bahan bakar yang bertambah antara 4-6 liter solar per hari, lalu hasil tangkapannya berkurang, kerusakan kapal," ungkapnya.

Melihat hal tersebut, pihaknya pun meminta DKP Banten untuk mengkoordinir, mendorong, dan menuntaskan penertiban pembongkaran pagar laut yang saat ini masih tersisa.

"Informasi terakhir kan sekitar 11 Km ya, agar dituntaskan, diselesaikan,” ucap Fadli.

Minta DKP Banten Koordinasi Pihak Terkait dan Beri Efek Jera

Ombudsman Perwakilan Banten dalam rekomendasinya juga meminta agar DKP Banten berkoordinasi dengan pihak terkait.

Baik KKP maupun aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti adanya indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang laut.

Baik koordinasi secara administratif maupun dipidana sebagai salah satu upaya penegakan hukum pencegahan serta pemberian efek jera.

“Kita juga memahami bahwa fungsi pengawasan wilayah tidak hanya DKP, tapi juga ada instansi vertikal dan instansi pusat lainnya yang memiliki tugas di sana," bebernya.

"Tapi bagaimana pun sesuai dengan undang-undang ya, bahwa 12 mil laut itu memang merupakan tanggung jawab undang dari kelolaan dari pemerintahan daerah,” tutup Fadli. (Tribunnews.com/Kompas Tv)
 
 
 

Editor: Willem Jonata

Tag:  #temuan #ombudsman #soal #pagar #laut #tangerang #maladministrasi #upaya #kuasai #laut #kerugian

KOMENTAR