Pelantikan Kepala Daerah Tidak Serentak Berpotensi Langgar Putusan MK?
- Pemerintah bersama DPR RI telah menyepakati pelantikan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2024 akan dilakukan secara bertahap mulai 6 Februari 2025.
Untuk tahap pertama, pelantikan akan dilaksanakan bagi kepala daerah terpilih yang hasil Pilkadanya tidak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara untuk pelantikan kepala daerah yang masih bersengketa di MK akan dilaksanakan setelah adanya putusan dari hasil sidang perselisihan.
Namun, kesepakatan itu menuai polemik karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pelantikan serentak.
Beberapa kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2020 yang kini sedang menghabiskan masa jabatannya menyatakan keberatannya terhadap keputusan tersebut.
Sebab, pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 secara bertahap dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan mereka yang masa jabatannya terpotong.
Bupati Indramayu, Nina Agustina, mengaku kecewa dengan keputusan tersebut. Ia menilai pelantikan secara bertahap berpotensi melanggar putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
“Pasti akan digugat. Putusan MK itu adalah putusan tertinggi yang harus kita hormati,” ujar Nina, Senin (27/1/2025).
Nina juga menyebut keputusan ini merugikan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2020.
Pasalnya, pelantikan mulai 6 Februari akan dapat mengurangi masa jabatan yang seharusnya lima tahun penuh.
“Merujuk SK pengangkatan saya, masa jabatan saya seharusnya sampai 2026. Tapi ini sudah terpotong banyak,” keluhnya.
Hal serupa disampaikan Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto.
Menurutnya, pelantikan bertahap tidak sesuai dengan putusan MK yang menegaskan pelantikan kepala daerah harus dilakukan serentak.
“Saya kira hasil MK sudah jelas, pelantikan itu serentak sekali. Keputusan MK itu mengikat,” kata Danny, Selasa (28/1/2025).
Danny menambahkan, pelantikan bertahap juga berdampak pada calon kepala daerah yang tengah berperkara di MK.
Mereka harus dilantik belakangan karena menunggu hasil sengketa.
Di sisi lain, Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Nasdem, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan bahwa pelantikan bertahap tidak melanggar hukum.
Dia merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada serta Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024 yang memungkinkan pelantikan dilakukan secara bertahap.
“Berdasarkan kedua aturan tersebut, DPR dan pemerintah meyakini pelaksanaan pelantikan serentak bagi mereka yang tidak bersengketa pada 6 Februari 2025,” kata Rifqinizamy, Selasa (28/1/2025).
Komisi II DPR RI juga telah meminta pemerintah untuk menyiapkan atau merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2024 sebagai landasan melaksanakan pelantikan mulai 6 Februari 2025.
“Sepanjang revisi Perpres Nomor 80 Tahun 2024 dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, bisa diterapkan dan itu memiliki legitimasi yuridis,” jelas Rifqinizamy.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf.
Menurut dia, DPR telah meminta pemerintah untuk segera menerbitkan payung hukum yang mendukung keputusan ini.
“Kemarin kita serahkan kepada pemerintah untuk membuat payung hukum yang sesuai, termasuk Perpres baru soal ini,” ujarnya.
Rifqinizamy juga berpandangan bahwa putusan MK 27/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No 46/PUU-XXII/2024 tidak membatalkan aturan mengenai tahapan pelantikan.
Kedua putusan itu dianggap Rifqinizamy hanya mengatur pelantikan dilakukan setelah proses sengketa selesai.
Saat rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Rabu (22/1/2025), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan bahwa pelantikan serentak 545 kepala daerah secara bersamaan sulit diwujudkan.
Hal ini disebabkan oleh potensi sengketa hasil Pilkada di MK dan berbagai kendala lainnya.
Di samping itu, undang-undang juga tidak mengatur seluruh kepala daerah mesti dilantik secara bersamaan maupun bertahap.
“Di dalam undang-undang itu tidak diatur mengenai pelantikan serentak harus satu kali atau dua kali, yang jelas tidak akan mungkin terjadi pelantikan serentak semuanya 545 daerah," kata Tito dalam rapat dengan Komisi II DPR, Rabu (22/1/2025).
Tito mencontohkan pengalaman sengketa Pilkada Kalimantan Selatan dan Yalimo, Papua yang memakan waktu lama hingga menunda pelantikan kepala daerah.
“Yang paling fenomenal adalah saya kira yang kasus Yalimo, Papua, perintah daripada keputusan MK, itu harus dilaksanakan Pilkada diulangi dari awal yaitu dari pendaftaran," ungkap Tito.
Dia juga menyebut faktor force majeure, seperti bencana alam, juga dapat menghambat pelantikan serentak.
"Pemungutan suara ulang, Pilkada ulang, pemungutan suara ulang, perhitungan suara ulang, dan force majeure misalnya bencana, itu sudah jelas membuka potensi untuk tidak terjadi pelantikan 545 serentak," pungkas Tito.
Tag: #pelantikan #kepala #daerah #tidak #serentak #berpotensi #langgar #putusan