Kho Tjioe Liang, Dokter Marinir Tionghoa di Balik Penggalian Lubang Buaya
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. (KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARROROH ITSNAINI)
07:26
29 Januari 2025

Kho Tjioe Liang, Dokter Marinir Tionghoa di Balik Penggalian Lubang Buaya

- Lubang Buaya di Jakarta Timur menyimpan kisah kelam dan menjadi saksi salah satu tragedi besar dalam sejarah Indonesia.

Proses penggalian dan penemuan jasad tujuh pahlawan revolusi di dalamnya juga menjadi salah satu momen penting yang dicatatkan dalam sejarah.

Di balik proses evakuasi jenazah para pahlawan di sumur tua pada Oktober 1965 itu, ada sosok dokter marinir berdarah Tionghoa, Letnan Satu (Kes) Kho Tjioe Liang.

Tak banyak yang tahu bahwa Letnan Kho berperan penting dalam proses penggalian penuh tantangan pada saat itu.

Mengutip buku "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia" (2014) karya Iwan Santosa, Kho Tjioe Liang adalah anggota Korps Marinir - saat itu masih bernama Korps Komando Operasi (KKO) - yang terlibat langsung dalam misi evakuasi di Lubang Buaya.

Bersama delapan prajurit dari Kesatuan Intai Para Amfibi (Kipam) Korps KKO, ia ditugaskan mengevakuasi jenazah para jenderal yang menjadi korban tragedi G30S/PKI.

Sebagai dokter medis, Kho berperan memastikan proses pengangkatan jenazah dan juga kondisi kesehatan tim evakuasi tetap aman, di tengah banyaknya tantangan dan risiko kesehatan.

Proses penggalian dimulai pada 3 Oktober 1965 setelah Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) - kini menjadi Kopassus - menemukan lokasi pembantaian para jenderal di kawasan Lubang Buaya.

Di sana, terdapat sumur tua berdiameter kurang dari satu meter dengan kedalaman 10 meter yang menjadi tempat pembuangan jenazah para Pahlawan Revolusi.

Lokasi sumur tersebut hanya berjarak 3 meter dari rumah seorang guru yang disebut-sebut aktif dalam kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Jenazah tujuh pahlawan revolusi ditemukan dalam kondisi mengenaskan.

Mereka seperti dilempar begitu saja ke dalam sumur, lalu ditimbun dengan sampah, batang pisang, daun singkong, dan tanah.

Proses evakuasi pun menghadapi tantangan besar.

Tidak hanya karena kondisi sempitnya lubang sumur, tetapi juga disebabkan oleh keberadaan gas beracun di dalamnya.

Karena keterbatasan teknis dan perlengkapan, proses evakuasi baru dilakukan sehari kemudian, yakni 4 Oktober 1965, dengan melibatkan tim Kipam KKO yang dipimpin oleh Kapten Marinir Winanto.

Dengan bantuan alat seperti tabung oksigen, masker, dan aqualung, para anggota Kipam secara bergantian turun ke dalam sumur yang sempit dan penuh gas beracun.

Letnan Kho bersama Kapten Sumarno, seorang dokter gigi, bergabung sebagai tenaga medis untuk memastikan keselamatan prajurit sekaligus memberikan rekomendasi medis.

Sebab, paparan gas beracun yang berada di dalam lubang sempat membuat beberapa petugas evakuasi sebelumnya, tim Kipam KKO, pingsan.

Proses evakuasi pun dimulai pukul 11.45 WIB.

Sersan Marinir Saparimin menjadi yang pertama menemukan tanda keberadaan jenazah, yakni sepasang kaki mencuat dari tumpukan tanah dan sampah.

Dengan kondisi sumur yang sempit dan jenazah yang saling bertumpuk, tim pun harus mencari cara yang efektif untuk mengangkat tubuh keluar dari lubang.

Tiga alternatif dipertimbangkan, yakni mengangkat jenazah langsung dengan tangan, memperlebar sumur, atau menggunakan tali.

Akhirnya, opsi ketiga dipilih karena dianggap paling memungkinkan, namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Sebab, upaya ini berpotensi menambah “kerusakan” pada tubuh jenazah.

Jenazah pertama yang berhasil diangkat adalah Lettu Pierre Tendean.

Proses berlanjut dengan pengangkatan enam jenazah lainnya, termasuk Mayjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI S. Parman, hingga Brigjen TNI D.I. Panjaitan.

Kondisi mereka mengenaskan. Beberapa jenazah dalam posisi terbalik, sudah membusuk, dan mengeluarkan cairan.

Menurut catatan medis, di semua jenazah terdapat luka tembak dan bekas pukulan.

Meski begitu, tim evakuasi mencatat bahwa kondisi jenazah tidak menunjukkan tanda-tanda mutilasi, seperti digambarkan dalam film propaganda era Orde Baru.

Setelah seluruh jenazah berhasil diangkat, tim melanjutkan tugasnya dengan membawa tujuh jenazah Pahlawan Revolusi ke RSPAD Gatot Subroto untuk disemayamkan.

Kisah dokter Letnan Kho dan tim Kipam memang jarang terdengar.

Nama ini seolah tenggelam di antara narasi sejarah yang lebih sering menyoroti peristiwa pembunuhannya, maupun peran militer secara umum.

Meski namanya jarang disebut, kontribusi Kho Tjioe Liang dan tim Kipam tidak bisa dipandang sebelah mata.

Keberanian dan kecermatan dalam memastikan proses evakuasi berjalan lancar memang patut diapresiasi.

Pada tahun 1980, Presiden Soeharto akhirnya memberikan penghargaan Bintang Kartika Eka Pakci Nararya kepada tim Kipam yang terlibat dalam penggalian Lubang Buaya, termasuk Letnan Kho Tjioe Liang.

Penghargaan ini menjadi simbol pengakuan negara atas dedikasi mereka dalam tugas yang penuh risiko 15 tahun silam.

Sosok Letnan Kho Tjioe Liang menjadi pengingat akan pentingnya merawat keberagaman dalam setiap perjuangan.

Sebab, keberanian tidak mengenal batas etnis, latar belakang, ataupun keyakinan.

Editor: Tria Sutrisna

Tag:  #tjioe #liang #dokter #marinir #tionghoa #balik #penggalian #lubang #buaya

KOMENTAR