



NTB Jadi Jalur Burung Migran Dunia, Seberapa Besar Jadi Peluang Ekowisata?
Nusa Tenggara Barat (NTB) bukan hanya wilayah kepulauan tropis dengan keindahan pantai dan budaya lokal yang khas. Provinsi yang terdiri dari dua pulau besar, Lombok dan Sumbawa, serta 401 pulau kecil ini juga memainkan peran penting sebagai tempat persinggahan burung-burung dari berbagai penjuru dunia.
Ketika musim dingin melanda belahan bumi utara dan selatan, ribuan burung migran terbang ribuan kilometer ke arah tropis. Salah satu tempat favorit mereka NTB.
Penasihat Ilmiah Paruh Bengkok Indonesia, Saleh Amin, menyebut NTB sebagai wilayah dengan potensi besar untuk menjadi destinasi ekowisata berbasis pengamatan burung atau birdwatching.
"Sekali setahun kita bisa bertemu petrel badai cokelat. Burung itu berasal dari pantai-pantai di wilayah selatan, seperti Australia," ujarnya dalam kegiatan Lombok Bird Walk di Pantai Ampenan, Kota Mataram, seperti dikutip dari ANTARA, (24/06/2025)

Petrel badai cokelat (Oceanites oceanicus) adalah burung laut kecil yang hidup di perairan dingin bagian selatan bumi. Namun, saat suhu mulai ekstrem di habitat aslinya, mereka terbang menuju daerah yang lebih hangat, seperti NTB, untuk mencari sumber pakan.
"Kalau dingin, kebanyakan sumber pakan hibernasi. Aktivitas sedikit, susah bagi mereka mendapatkan makanan, sehingga burung-burung itu (migrasi) ke sini," jelas Saleh.
Pola ini menjadi bagian penting dari siklus kehidupan banyak jenis burung, termasuk burung pantai dan burung laut. Musim dingin memicu tantangan bagi kelangsungan hidup mereka. Serangga yang menjadi sumber makanan utama banyak burung pemakan serangga pun berkurang drastis akibat hibernasi. Maka, migrasi menjadi strategi bertahan hidup yang alami.
Saleh menambahkan bahwa ada sekitar 300 jenis burung yang telah teridentifikasi di NTB, dengan sekitar 50 jenis di antaranya merupakan burung migran. Beberapa bahkan datang dari wilayah sejauh Siberia dan Tiongkok, seperti jenis raptor yang biasanya tiba di sekitar bulan Oktober.
Namun, perubahan iklim kini mengacaukan semua siklus tersebut. Peningkatan permukaan laut, anomali cuaca, dan ketidaksesuaian antara siklus berbunga dan kemunculan serangga telah berdampak pada kelangsungan hidup burung liar.
Perubahan perilaku serangga dan tumbuhan akibat cuaca yang tidak menentu menyebabkan rantai makanan terganggu. Burung-burung pemakan serangga yang mengandalkan momen berbunga untuk berburu mangsa menjadi korban pertama.
"Saat siklus berbunga dan berbuah berubah, maka kemunculan serangga juga berubah. Ketika burung tidak menemukan serangga untuk dimakan, maka mereka sulit untuk bertahan hidup," kata Saleh.
Bagi NTB dan banyak wilayah tropis lain yang menjadi tempat persinggahan, ini adalah peringatan. Menjaga habitat alami, termasuk dengan menyediakan ruang terbuka hijau, menjadi kunci untuk mempertahankan keberadaan para pengunjung musiman ini.
Saleh menekankan bahwa arah pembangunan harus berpihak pada ekologi. Ruang terbuka hijau bukan hanya pelengkap estetika kota, melainkan bagian penting dari keseimbangan alam yang lebih luas.
Burung-burung migran yang datang ke NTB bukan sekadar pemandangan indah atau peluang ekowisata. Mereka adalah penanda kondisi lingkungan yang sehat, atau sebaliknya, peringatan dini akan krisis ekosistem yang sedang berlangsung.
Tag: #jadi #jalur #burung #migran #dunia #seberapa #besar #jadi #peluang #ekowisata