



Memahami Anak dengan Learning Disability
Oleh: Abdillah Nur Zein dan Pamela Hendra Heng*
PENGETAHUAN merupakan salah satu pilar utama yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Melalui pengetahuan yang didapatkan dalam pendidikannya, manusia mengembangkan pola pikir dan mengasah kemampuan agar lebih fokus serta kritis menanggapi informasi yang ia dapatkan.
Selain pengetahuan, pengalaman juga turut andil dalam menentukan cara berpikir manusia.
Pengalaman erat kaitannya dengan latihan serta rintangan yang menjadi pengaplikasian pengetahuan yang manusia punya.
Sehingga pengetahuan serta pengalaman menjadi hal yang sangat penting untuk kehidupan seorang manusia.
Namun, bagaimana jika pengalaman dalam belajar terganggu sehingga pengetahuan yang didapatkan tidak maksimal?
Pertama, perlu digaris bawahi terlebih dahulu bahwa gangguan belajar/learning disability tidak berhubungan terhadap IQ/kecerdasan siswa. Siswa dengan learning disability memiliki IQ dengan kategori yang bervariasi dari rendah hingga berbakat/sangat tinggi (Taylor et al., 2008).
Learning disability merujuk kepada istilah yang digunakan untuk menggambarkan tahap perkembangan yang terganggu.
Learning disability dimaknai sebagai tahap perkembangan yang terlambat atau terganggu dalam memahami atau berkomunikasi secara lisan maupun tulisan jika dibandingkan dengan usia sebayanya. Perilakunya dapat ditunjukan dengan berbicara, berbahasa, membaca, mengeja, menulis, dan berhitung (Bishara, 2023; Taylor et al., 2008).
Apa penyebab utama anak mengalami learning disability?
Terdapat tiga penyebab yang dapat memicu munculnya learning disability, yaitu: neurologis, genetik, dan lingkungan (Taylor et al., 2008).
Neurologis. Dapat disebabkan dengan gangguan fungsi pada sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) seperti cedera otak, gangguan perkembangan otak, dan struktur otak, menyebabkan otak berkembang secara lambat dibandingkan individu dengan usia sebaya.
Salah satu contohnya berdampak kepada kemampuan visual individu yang terganggu, khususnya membaca, seperti mengalami dyslexia (gangguan membaca), dyscalculia (gangguan menghitung), dysgraphia (gangguan menulis) dan lainnya.
Genetik. Berdasarkan keturunan atau riwayat keluarga, anak mengalami learning disability lebih tinggi dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat learning disability.
Lingkungan. Penyebab learning disability dari lingkungan dapat dikelompokan menjadi tiga periode yang berkaitan erat dengan prenatal, perinatal, dan postnatal.
Masa Prenatal (periode kehamilan). Learning disability pada masa ini dapat disebabkan karena konsumsi obat-obatan, alkohol, dan merokok oleh Ibu.
Perinatal (periode masa kandungan sebelum kelahiran bayi). Pada periode ini learning disability yang dialami oleh anak dapat disebabkan komplikasi yang terjadi saat proses persalinan berlangsung.
Masa postnatal. Learning disabilities dapat disebabkan paparan zat tertentu seperti kandungan timbal pada barang-barang yang berinteraksi dengan anak.
Selain itu, apakah anak/siswa pernah mengalami benturan keras yang terjadi di area sekitar kepala ataupun area punggung yang dapat membahayakan otak dan sumsung tulang belakang yang dapat menyebabkan gangguan pada proses kerja sistem saraf pusat tersebut.
Kemudian individu orangtua atau individu dewasa lainnya juga dapat memperhatikan asupan gizi yang diterima oleh siswa. Asupan makanan yang tidak mengandung zat nutrisi yang dibutuhkan oleh anak bisa menganggu perkembangan fisiknya.
Apa saja tanda-tanda siswa dengan learning disability? Tanda-tandanya dapat lihat berdasarkan beberapa hal berikut (Taylor et al., 2008):
- Membaca. Siswa dengan learning disability akan menunjukan beberapa kesulitan dalam kemampuannya seperti fonologis, rapid automatic naming, pengenalan kata, dan pemahaman terhadap literatur bacaan.
- Matematika. Pada bagian ini siswa akan mengalami kesulitan dalam menghitung, memahami konsep dari matematika itu sendiri, dan pemecahan masalah yang ada pada soal-soal matematika.
- Menulis. Kesulitan ini mencakup kesulitan menulis yang dapat disebabkan lemahnya kemampuan motorik halus pada jari-jemari siswa, kesulitan koordinasi antar anggota tubuh, gagalnya proses transfer informasi dari mata untuk motorik halus, tidak dapat mengenali stimulus huruf, dan tidak dapat mengingat kembali gambaran visual. Selain itu, kesulitan dalam menulis juga dapat ditunjang dengan kesulitan dalam kemampuan mengeja dan pelafalan kata.
- Ekspresif dan reseptif bahasa. Kesulitan ini diperlihatkan pada kemampuan berbahasa seperti mengungkapkan pikiran atau perasaan secara ekspresif, sedangkan untuk memahami (reseptif) merujuk pada kesulitan memahami informasi yang ia dapatkan.
- Kognitif. Perhatian siswa dengan learning disability sangat mudah untuk teralihkan. Ada dua hal yang mendasari perhatian mereka teralihkan, yaitu mereka terlalu banyak memperhatikan banyak hal dalam satu waktu atau mereka terlalu sedikit untuk memberikan perhatiannya pada proses belajar yang sedang berlangsung. Kemudian siswa dengan learning disabilities mengalami kesulitan untuk mengingat dan me-recall ingatannya.
- Sosial emosional. Melalui lingkungan yang dapat meningkatkan keterampilan sosialisasi dan motivasi siswa dengan learning disability dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Hal ini bertujuan menghindari konsep diri rendah (low self-concept) karena ia merasa pencapaian yang ia hasilkan karena bukan dari dirinya sendiri melainkan dari campur tangan individu lain.
Selain tanda-tanda yang ditunjukan oleh anak dengan learning disability, tenaga pendidikan dapat melakukan observasi dari performa akademik dan perilaku siswa selama di
Guru dapat menggunakan response to intervention (RTI). Metode ini dapat mengidentifikasi anak dengan learning disability berdasarkan respons yang diberikan oleh siswa terhadap intervensi.
Metode lainnya adalah dengan tes yang dapat mengukur seberapa baik siswa memproses informasi yang diberikan seperti psikotes-psikotes yang telah tersedia. Tentunya psikotes harus diadministrasikan oleh tenaga profesional seperti seorang Psikolog.
Bagaimana guru dengan siswa learning disability dapat mengajar dengan efektif?
Kurikulum pembelajaran pada siswa dengan learning disability tidak jauh berbeda dengan kurikulum pelajaran secara umum.
Namun, perlu adanya penyesuaian terhadap penyampaian materi seperti tujuan materi pelajaran diberikan, bagaimana dan kapan suatu hal dapat terjadi, tugas yang dapat melatih ingatan siswa, membuat karya tulis yang dapat membantu siswa mengungkapkan perasaan atau ide dan menerima informasi.
Selain itu, membuat laporan sederhana terkait evaluasi hasil dari proses pembelajaran yang telah berlangsung yang dapat diberikan dalam kurun waktu minggu atau bulan. Pelajaran dengan metode role play untuk memberikan siswa gambaran peran masing-masing pekerjaan.
Serta tugas matematika untuk melatih pemecahan masalah dengan alat peraga untuk membantu siswa mengingat mengenai angka dan cara menyelesaikan soal tersebut.
Salah satu cara metode pembelajaran yang dapat lakukan adalah dengan menerapkan atau mengaplikasikan humor yang cocok kepada siswa saat proses pembelajaran berlangsung.
Humor dalam proses belajar dapat membantu siswa meningkatkan kreatiftasnya dengan sudut pandang baru dari suatu masalah. Hal ini juga dapat membantu siswa untuk memusatkan perhatiannya (Bishara, 2023).
Siswa dengan learning disability dapat diberikan tempat duduk yang berada di baris pertama di kelas. Tujuannya agar siswa dapat tetap fokus memperhatikan materi pelajaran yang diberikan guru.
Saat proses pembelajaran berlangsung, guru dapat menutup pintu kelas untuk memperkecil perhatian siswa teralihkan oleh stimulus di luar kelas.
Selain itu, guru dan orangtua siswa dapat memanfaatkan berbagai program komputer, perangkat elektronik, dan alat peraga yang tersedia di lingkungan sekitar, seperti: program kahoot untuk membantu guru atau orangtua dalam memberikan soal kepada siswa untuk melatih kemampuan ingatannya.
Memanfaatkan permainan interaktif yang telah dirancang untuk membantu siswa dalam meningkatkan perhatian dan konsentrasinya dengan merespon stimulus visual secara cepat dan akurat. Harapannya, membantu siswa untuk melatih kemampuannya dalam pengambilan keputusan seperti game-game yang tersedia di perangkat elektronik Anda.
Penggunaan perangkat elektronik seperti papan tulis interaktif untuk siswa belajar menggunakan motorik halusnya dengan menulis atau menggambar sesuatu.
Penggunaan benda-benda di sekitar siswa sebagai alat peraga sebagai suatu model agar anak lebih mudah dalam menerima informasi yang rumit seperti bentuk angka maupun huruf.
Mengapa anak dengan learning disability memerlukan perhatian dari guru dan orangtua?
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wiseman dan Watson (2022) dalam judul “Because I’ve Got a Learning Disability, They Don’t Take Me Seriously:” Violence, Wellbeing, and Devaluing People with Learning Disabilities menemukan fakta yang cukup mengejutkan bahwa 4 dari 22 partisipan penelitian mengalami pemikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Individu dengan learning disability dapat mengalami penindasan dan kekerasan yang terjadi secara terus menerus sepanjang hidup mereka.
Selain itu, pengabaian yang terjadi memperburuk dampak kekerasan terhadap mereka yang secara tidak langsung menggarisbawahi adanya perbedaan dan rendahnya nilai sosial diberikan kepada mereka (Wiseman & Watson, 2022).
Seiring berjalannya waktu, kejadian-kejadian tersebut menimbulkan efek akumulatif yang dirasakan oleh individu. Mengakibatkan pemikiran bunuh diri karena cedera fisik, tekanan emosional dan psikologis, self-harm serta paranoia (Wiseman & Watson, 2022).
Singkat cerita, melalui artikel ini penulis berharap dapat memberikan psikoedukasi mengenai learning disability kepada para tenaga pendidik, orangtua, dan masyarakat umum.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, proses belajar mengajar, serta lingkungan belajar yang mendukung untuk siswa ataupun anak dengan learning disability mendapatkan pengetahuan secara optimal.
Learning disability bukanlah masalah yang tidak dapat ditemukan solusinya, melainkan tantangan dalam proses belajar yang dapat diatasi melalui kerjasama antara orangtua dengan pihak pendidik dengan metode pembelajaran yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing siswa.
*Abdillah Nur Zein, Mahasiswa S2 Sains Psikologi Universitas Tarumanagara
Pamela Hendra Heng, Dosen Psikologi Universitas Tarumanagara