



Mengenal Penyakit Gagal Jantung, 'Silent Struggler' yang Sering Terlambat Disadari
- Di balik detak jantung yang tak pernah berhenti bekerja, tersimpan risiko kesehatan yang kerap diabaikan: gagal jantung. Bukan sekadar istilah medis, kondisi ini adalah momok yang perlahan tapi pasti bisa menghantui siapa saja, terutama mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes, hingga obesitas.
Gagal jantung tidak datang secepat serangan jantung, tapi efeknya bisa jauh lebih menghancurkan karena bersifat kronis dan progresif.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Dan gagal jantung adalah salah satu dampak lanjutan yang paling mengancam dari berbagai penyakit jantung yang tidak ditangani sejak awal.
Di tengah angka kematian yang terus meninggi, edukasi dan deteksi dini menjadi kunci utama. Inilah yang mendorong dr. Novi Yanti Sari, Sp.JP, FIHA, FAPSC, FHFA, FACC, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di RS Siloam Kebon Jeruk dan Lippo Village menjelaskan pentingnya mengenal lebih dalam tentang gagal jantung dan bagaimana menghadapinya.
Gagal jantung bukan berarti jantung benar-benar 'gagal' bekerja. Dalam istilah medis, kondisi ini menggambarkan jantung yang tidak mampu memompa darah secara efektif untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Gejala awalnya sering kali tidak disadari: mudah lelah, sesak napas saat beraktivitas ringan, atau bahkan saat tidur. Jika gejala ini terus diabaikan, kondisinya bisa berkembang menjadi pembengkakan kaki, perut, bahkan kenaikan berat badan drastis akibat penumpukan cairan.
“Gagal jantung itu sindrom klinis, artinya kumpulan gejala yang berasal dari satu penyebab: jantung tidak bekerja optimal,” jelas dr. Novi belum lama ini di Jakarta.
Dia melanjutkan, Gagal Jantung bisa disebabkan gangguan otot jantung, kelainan katup, hingga aritmia. "Yang sering orang salah sangka, kondisi ini berkembang perlahan, bukan seperti serangan jantung yang terjadi tiba-tiba," ungkapnya.
Dunia medis sendiri membagi gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi, ukuran seberapa baik bilik kiri jantung memompa darah. Ada yang disebut HFrEF (dengan fraksi ejeksi ≤40 persen), HFmrEF (41-49 persen), dan HFpEF (≥50 persen). Masing-masing jenis membutuhkan pendekatan terapi yang berbeda.
Selain itu, gagal jantung juga bisa dibedakan dari sisi jantung yang terkena. Bila sisi kiri yang lemah, pasien akan merasa sesak napas akibat cairan yang menumpuk di paru-paru.
Jika sisi kanan yang terdampak, gejalanya muncul dalam bentuk pembengkakan di tungkai atau perut karena penumpukan cairan dalam sistem sirkulasi tubuh.
Gagal jantung seringkali menyerang tanpa permisi, tapi bukan berarti datang tanpa sinyal. Mereka yang memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, obesitas, atau usia lanjut masuk dalam kelompok risiko tinggi.
Bahkan penyakit autoimun seperti lupus, atau infeksi virus yang menyerang otot jantung pun bisa jadi pemicu.
“Oleh karena itu, mereka yang memiliki faktor risiko sangat disarankan melakukan skrining rutin, bahkan sebelum gejala muncul,” tegas dr. Novi.
Perlu dicatat, masih banyak orang yang menyamakan gagal jantung dengan serangan jantung. Padahal keduanya sangat berbeda. Serangan jantung terjadi tiba-tiba karena penyumbatan pembuluh darah koroner, sementara gagal jantung adalah proses kronis ketika jantung perlahan kehilangan kekuatannya.
Ironisnya, serangan jantung yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat bisa memicu gagal jantung di kemudian hari. Dengan kata lain, satu serangan bisa membawa efek domino jangka panjang pada fungsi jantung.
Namun, untuk menentukan apakah seseorang mengalami gagal jantung bukan perkara menebak gejala semata. Dokter akan melakukan pemeriksaan menyeluruh, mulai dari wawancara keluhan, pemeriksaan fisik, hingga serangkaian tes seperti EKG, ekokardiografi (USG jantung), dan tes darah untuk memeriksa kadar NT-proBNP, penanda biokimia khas yang meningkat saat terjadi tekanan pada jantung.
“Kalau dari hasil ekokardiografi ditemukan fraksi ejeksi rendah atau ada kelainan struktur jantung, biasanya kita lanjutkan dengan evaluasi lebih detail. Bila perlu, MRI jantung atau kateterisasi akan dilakukan,” jelas dr. Novi.
Begitu diagnosis ditegakkan, pengobatan harus segera dimulai. Pengobatan standar saat ini mengikuti pedoman Guideline-Directed Medical Therapy (GDMT) yang mengombinasikan berbagai jenis obat untuk mengendalikan gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan menekan angka rawat inap maupun kematian.
Namun, pada kasus yang lebih berat, terapi obat mungkin tidak cukup. Ada fasilitas alat bantu pompa jantung mekanik seperti LVAD (Left Ventricular Assist Device), yang menggantikan fungsi jantung secara parsial.
“Kalau pasien tidak merespons obat, kita evaluasi untuk penggunaan alat bantu seperti CRT atau bahkan LVAD,” ujar dr. Novi. “Dan kalau semua jalan buntu, transplantasi jantung menjadi pilihan terakhir.”
Tak hanya itu, bagi pasien yang mengalami gagal jantung akut yang sangat berat, tersedia pula ECMO, alat bantu sirkulasi dan oksigenasi darah, sebagai solusi darurat yang bisa menyelamatkan nyawa.
Meski terdengar menakutkan, gagal jantung bukan vonis mati. Dengan deteksi dini dan penanganan tepat, banyak pasien yang bisa menjalani hidup produktif seperti biasa. Namun semuanya kembali pada satu hal: kesadaran.
Karena jantung bukan sekadar organ yang berdetak. Ia adalah pusat kehidupan. Dan ketika ia mulai lelah, tubuh pun ikut merasakannya, pelan, tapi pasti.
Tag: #mengenal #penyakit #gagal #jantung #silent #struggler #yang #sering #terlambat #disadari