



Dedi Mulyadi Hapus PR demi Anak Lebih Sehat, Efektifkah? Ini Hasil Penelitiannya
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi secara resmi menghapus pemberian pekerjaan rumah (PR) bagi siswa di seluruh satuan pendidikan di wilayah Jawa Barat.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 81/PK.03/DISDIK tentang Optimalisasi Pembelajaran di Lingkungan Satuan Pendidikan yang diumumkan pada Rabu (4/6/2025).
Dalam surat edaran tersebut, Gubernur Dedi menekankan pentingnya mewujudkan generasi Pancawaluya—generasi yang Cageur, Bageur, Bener, Pinter, dan Singer—melalui pendekatan pendidikan yang lebih menyeluruh.
Salah satu langkahnya adalah dengan penghapusan PR di sekolah dan menggantinya dengan kegiatan yang mendorong tumbuh kembang anak secara fisik, mental, dan sosial.
"Kami ingin sekolah menjadi tempat yang menyenangkan dan bermakna, bukan sekadar tempat menumpuk tugas," ujar Dedi, seperti diberitakan Kompas.com sebelumnya.
Penghapusan PR ini pun memicu perdebatan: apakah kebijakan ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi siswa, atau justru sebaliknya?
Apakah penghapusan PR baik untuk anak sekolah?
Sejumlah riset menunjukkan bahwa beban PR yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental siswa.
Sebuah studi yang dilakukan di St. Patrick’s Catholic School, Amerika Serikat, dan dimuat di dalam Journal of Catholic Education, menemukan bahwa 70 persen siswa melaporkan tingkat stres tinggi akibat tugas-tugas sekolah, khususnya PR.
Ketika jumlah PR dikurangi hingga 50 persen selama tiga bulan, tingkat stres menurun hampir 30 persen, sementara performa akademik tetap stabil.
Hal serupa ditemukan oleh peneliti dari Stanford University. Dalam studi tersebut, 72 persen siswa menyatakan “sering atau selalu” merasa stres akibat PR, yang berdampak pada kurang tidur, berkurangnya waktu bersama keluarga, dan kecemasan berlebih.
Meski begitu, hubungan antara PR dan prestasi akademik tidak sepenuhnya negatif. Penelitian dari Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa jumlah PR yang diselesaikan memang berkorelasi positif dengan prestasi akademik, namun efektivitasnya lebih terlihat pada siswa sekolah menengah atas dan tergantung pada manajemen waktu serta pendekatan belajar yang digunakan.
Dengan demikian, penghapusan PR bisa berdampak positif jika dibarengi dengan strategi pembelajaran efektif di kelas.
Namun, jika tidak disertai perencanaan kurikulum yang matang, ada potensi kehilangan kesempatan penguatan materi di rumah.
Diganti kegiatan minat dan bakat: apa pengaruhnya bagi kesehatan siswa?
Gubernur Dedi menyarankan agar waktu setelah sekolah dimanfaatkan untuk kegiatan yang sesuai minat dan bakat siswa, seperti olahraga, kesenian, kegiatan keagamaan, hingga kewirausahaan.
Pendekatan ini sejalan dengan hasil kajian dari Journal of Public Health yang menunjukkan bahwa program berbasis sekolah yang mengintegrasikan aktivitas di luar kelas dan tugas-tugas non-akademik di rumah (seperti "healthy homework") berdampak positif terhadap gaya hidup sehat, peningkatan konsumsi buah dan sayur, serta aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki.
Aktivitas non-akademik ini juga diyakini mampu mengurangi waktu sedentari (berdiam diri), mengurangi konsumsi makanan tidak sehat, dan berkontribusi pada kesehatan mental.
Di sisi lain, aktivitas berbasis minat dan bakat mendorong keterlibatan emosional dan sosial siswa, yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter.
Dari sudut pandang psikologi pendidikan, kegiatan berbasis minat juga membantu siswa mengembangkan motivasi intrinsik, yang pada akhirnya meningkatkan keterlibatan dan kualitas pembelajaran jangka panjang.
Kebijakan penghapusan PR di Jawa Barat menandai pergeseran paradigma pendidikan dari pendekatan akademik semata menuju pengembangan siswa secara holistik.
Bukti-bukti ilmiah mendukung bahwa pengurangan beban PR dapat menurunkan tingkat stres siswa tanpa mengorbankan capaian akademik, selama proses pembelajaran di sekolah dioptimalkan.
Langkah Gubernur Dedi Mulyadi bisa menjadi contoh reformasi pendidikan yang lebih manusiawi dan adaptif terhadap kebutuhan perkembangan anak.
Namun, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa pengganti PR benar-benar memberikan manfaat dan tidak menjadi ruang kosong dalam proses pendidikan siswa.
Tag: #dedi #mulyadi #hapus #demi #anak #lebih #sehat #efektifkah #hasil #penelitiannya