



Dunia Hadapi Kekurangan Oksigen Medis
Kebutuhan global akan oksigen medis sangat tinggi. Setiap tahunnya sekitar 374 juta anak dan orang dewasa membutuhkan akses ke oksigen medis untuk bertahan hidup.
Kebutuhan itu terus meningkat, tapi hanya satu dari tiga orang di negara berpenghasilan rendah yang bisa mendapatkannya. Sekelompok peneliti memberikan saran untuk pemerataan akses oksigen medis.
Terapi oksigen sangat penting untuk pasien dengan masalah medis darurat, serta bisa menyelamatkan nyawa orang yang berada di bawah anestesi dan gagal napas kronis. Dunia kesehatan sudah menggunakan oksigen medis untuk menyelamatkan hidup selama 150 tahun terakhir.
"Saya membawa oksigen medis seperti tas punggung, sehingga saya bisa ke sekolah dan bersama teman, bahkan bisa olahraga. Saya bisa menjalani hidup yang normal dengan penyakit saya," kata seorang anak penderita penyakit paru kronik di Chille, seperti dikutip dari Sciencealert.
Meski begitu, memastikan semua orang yang membutuhkan bisa mendapatkan akses menjadi tantangan global saat ini.
"Oksigen dibutuhkan dalam setiap tingkat sistem kesehatan untuk anak dan dewasa, dalam berbagai rentang kondisi mulai dari yang akut sampai kronis," kata peneliti Hamish Graham dari Murdoch Children's Research Institute yang terlibat dalam komisi studi krisis oksigen medis.
Ia menyebutkan, sebagian besar berfokus pada penyediaan peralatan untuk meningkatkan produksi oksigen, tetapi mengabaikan sistem pendukung dan tenaga kerja yang diperlukan agar oksigen dapat didistribusikan, dirawat, serta digunakan dengan aman dan efektif."
Pandemi COVID-19 mengungkap banyak kelemahan ini, yang berujung pada kematian banyak orang yang dikasihi.
Usulan komisi
Setelah melakukan analisis ekstensif, para peneliti memberikan usulan tentang penyusunan rencana produksi, penyimpanan, dan sistem distribusi oksigen yang dapat diterapkan bahkan di negara-negara yang paling miskin sekalipun.
Mereka mengusulkan 52 rekomendasi untuk diupayakan oleh pemerintah, industri oksigen, pendukung kesehatan global, akademisi, dan profesional kesehatan.
Selain meningkatkan sumber daya dan meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan industri, para peneliti mengidentifikasi bahwa akses terhadap pulse oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah) yang berfungsi dengan baik berperan besar dalam memastikan oksigen medis sampai ke tempat yang paling dibutuhkan tepat waktu.
Terlebih lagi, penelitian mengungkapkan banyak perangkat oksimetri nadi tidak memberi pembacaan yang akurat pada orang dengan warna kulit lebih gelap.
“Kita perlu segera membuat oksimeter denyut berkualitas tinggi menjadi lebih terjangkau dan dapat diakses secara luas,” kata Graham.
Saat ini di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, oksimeter denyut hanya tersedia di 54 persen rumah sakit umum dan 83 persen rumah sakit tersier. Meski begitu, kekurangan dan kerusakan sering terjadi.
”Yang mengkhawatirkan, di negara-negara ini, alat tersebut hanya digunakan untuk 20 persen pasien yang datang ke rumah sakit umum dan hampir tidak pernah digunakan untuk mereka yang berada di fasilitas perawatan kesehatan primer,” ucapnya.
Hal ini diperburuk dengan kurangnya teknisi biomedis yang bertanggung jawab untuk memastikan semua peralatan penyelamat jiwa berfungsi saat dibutuhkan.
Laporan tersebut menyatakan pentingnya mendorong langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi permintaan oksigen medis, termasuk mengikuti perkembangan imunisasi, mengurangi rokok dan polusi, mendorong pola makan sehat, dan memitigasi perubahan iklim.