Tanggapi Fatwa MUI Soal PBB, DIrjen Pajak Bimo Wijayanto: Sudah Diserahkan ke Daerah
- Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto akhirnya buka suara soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyebut bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.
Merespons hal itu, Bimo memastikan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tak lagi menjadi pungutan pemerintah pusat. PBB, kata dia, sudah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.
"Ya PBB kan sebenarnya undang-undangnya sudah diserahkan ke daerah. Jadi kebijakan, tarif, kenaikan dasar, pengenaan, semuanya di daerah," kata Bimo saat ditemui di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (25/11).
Meski begitu, Bimo memastikan bahwa DJP akan melakukan diskusi lebih lanjut dengan MUI yang telah mengeluarkan fatwa.
Di sisi lain, ia menilai bahwa apa yang difatwakan MUI itu lebih kepada PBB-P2 atau pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.
Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya, jadi nanti coba kita tabayun dengan MUI Karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2 perdesaan perkotaan, pemukiman, itu di daerah.
Di kami hanya PBB yang terkait dengan kelautan, perikanan, dan pertambangan, sama kehutanan," tukasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.
"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata ulama yang akrab disapa Prof Ni'am di sela-sela Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Ahad (23/11) malam.
Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.
Ni'am menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.
"Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP," tutupnya.
Tag: #tanggapi #fatwa #soal #dirjen #pajak #bimo #wijayanto #sudah #diserahkan #daerah