Apakah Indonesia Siap Menggeser Negara ASEAN Lain di Pasar EV?
Laporan PwC kuartal III 2025, tingkat kepuasan pemilik EV di Indonesia tertinggi di ASEAN, mencapai 99 persen.(Dok. Pixabay.com)
06:32
21 November 2025

Apakah Indonesia Siap Menggeser Negara ASEAN Lain di Pasar EV?

– Pasar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Indonesia tumbuh 49 persen hingga kuartal III 2025, sedikit di bawah rata-rata ASEAN sebesar 62 persen, menurut laporan PwC ASEAN-6 eReadiness 2025. Meski pertumbuhan menjanjikan, prospek pasar EV Indonesia relatif kecil dibanding negara-negara ASEAN lain, dengan hanya 70 persen responden mengekspresikan minat menjadi calon pemilik EV.

Laporan PwC ini juga mencatat tingkat kepuasan pemilik EV di Indonesia mencapai 99 persen, tertinggi di kawasan, sementara kesiapan infrastruktur masih tertinggal dibanding Singapura.

Menurut Lukmanul Arsyad, PwC Indonesia Industrials and Services Leader, di tengah kontraksi pasar otomotif Indonesia sebesar 11 persen pada YTD kuartal III 2025, elektrifikasi bergerak ke arah sebaliknya.

"Segmen EV Indonesia tumbuh 49 persen, dengan tingkat adopsi mencapai 18 persen dari total penjualan kendaraan, sedikit di atas rata-rata ASEAN 17 persen. Thailand dan Vietnam bahkan mencatat pertumbuhan lebih agresif masing-masing 45 persen dan 84 persen,” kata dia, melalui keterangannya, dikutip Jumat (21/11/2025).

Dalam laporan PwC juga disebutkan bahwa kontraksi pasar kendaraan ringan nasional dipicu kenaikan pajak kendaraan mewah, pengurangan belanja pemerintah, dan pelemahan rupiah, yang menekan daya beli konsumen.

Sementara itu, Vietnam dan Singapura mencatat pertumbuhan masing-masing 18 persen dan 25 persen, didukung insentif EV dan penguatan ekonomi.

Hasil survei PwC mengungkapkan tiga kelompok konsumen di Indonesia, yakni pemilik EV 14 persen, prospek EV 70 persen, dan skeptis 17 persen.

Tingkat kepuasan pemilik EV di Indonesia tertinggi di ASEAN, mencapai 99 persen, diikuti Malaysia 96 persen dan Filipina 93 persen. Faktor kepuasan utama adalah waktu pengisian lebih cepat (50 persen), biaya operasional lebih rendah (47 persen), dan umur baterai yang lebih baik (46 persen).

Meski demikian, 33 persen pemilik EV mempertimbangkan kembali ke kendaraan bermesin pembakaran internal karena biaya perawatan lebih tinggi dari perkiraan (71 persen), pengalaman berkendara tidak sesuai harapan (61 persen), dan jarak tempuh dianggap kurang memadai (52 persen).

Sebanyak 47 persen pemilik EV di RI mempertimbangkan membeli EV bekas berikutnya, lebih rendah dari rata-rata ASEAN 59 persen.

Dalam hal kesiapan, Indonesia mencatat skor 2,8 dari 5, naik dari 2,7 tahun sebelumnya. Insentif pemerintah menjadi tertinggi di ASEAN, yakni 4,0, sementara infrastruktur masih 1,4 dibanding Singapura 4,3.

“Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investasi dan mempercepat transisi EV. Namun, keberhasilan bergantung pada penutupan kesenjangan infrastruktur dan penguatan rantai pasok,” kata Lukmanul.

Transisi EV Buka Peluang Ekonomi Baru di Indonesia

Transisi menuju kendaraan listrik (electric vehicle/EV) bukan hanya mendorong perbaikan lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi Indonesia.

Menurut laporan Rocky Mountain Institute (RMI) yang dikutip Jumat (14/11/2025), pembangunan rantai pasok EV berpotensi menciptakan lebih dari 500.000 lapangan kerja baru hingga 2040.

Percepatan elektrifikasi kendaraan roda dua dan empat dinilai bisa menjadi katalis tumbuhnya industri baru, mulai dari manufaktur baterai, kendaraan, hingga infrastruktur pengisian daya.

Keunggulan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia menjadi modal penting untuk membangun rantai pasok baterai domestik, sehingga memberi nilai tambah signifikan bagi ekonomi nasional.

Selain itu, peningkatan produksi lokal juga berpotensi mendorong ekspor kendaraan listrik dan baterai ke pasar Asia Tenggara. RMI menekankan, penguatan kebijakan industri yang konsisten, perluasan akses pembiayaan hijau, dan pelatihan tenaga kerja menjadi syarat agar potensi ekonomi itu bisa terwujud.

Meski prospeknya menjanjikan, tantangan menuju era EV masih cukup besar. Harga kendaraan yang relatif tinggi, minimnya infrastruktur pengisian daya, dan rendahnya kesadaran publik menjadi hambatan utama yang harus diatasi pemerintah dan pelaku industri.

Dengan langkah terkoordinasi, transisi EV diyakini bisa menjadi peluang ekonomi sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar otomotif global.

Tag:  #apakah #indonesia #siap #menggeser #negara #asean #lain #pasar

KOMENTAR