Negara Hidup dari Asap: Paradoks Ekonomi Rokok Indonesia
ilustrasi rokok.(SHUTTERSTOCK/Maren Winter)
09:04
23 Oktober 2025

Negara Hidup dari Asap: Paradoks Ekonomi Rokok Indonesia

BERTAHUN-tahun Indonesia memiliki hubungan yang rumit dengan rokok. Dari setiap tarikan napas, negara sangat bahagia karena besarnya penerimaan cukai dari industri tembakau.

Namun di tarikan napas berikutnya, pemerintah juga mengutuk rokok sebagai sumber penyakit dan kemiskinan.

Rokok selalu hadir menjadi musuh di setiap pidato kesehatan publik, tapi ironisnya juga menjadi salah satu penyelamat APBN.

Paradoks ini nyatanya bukan hanya tentang sikap pemerintah, tetapi lebih jauh ini merupakan cermin struktur ekonomi Indonesia yang rapuh. Ketergantungan fiskal yang mengakar pada industri tembakau.

Hampir setiap tahun pemerintah rutin menerapkan kebijakan untuk menaikkan cukai rokok. Di sisi lain, kampanye antirokok juga selalu digaungkan.

Setiap pidato-pidato resmi, rokok selalu dikaitkan sebagai penyebab penyakit jantung, kanker, dan paru-paru. Namun nyatanya, negara sangat membutuhkan industri yang “dibenci” ini.

Pada 2024, pemerintah mendapatkan dana segar dari cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp 216,9 triliun.

Bandingkan dengan pendapatan negara dari dividen BUMN yang hanya sebesar Rp 86,6 triliun. Padahal negara telah menginvestasikan ribuan triliun pada perusahaan-perusahaan BUMN yang jumlahnya mencapai 1.046 perusahaan.

Pendapatan cukai tembakau menjadi salah satu penopang fiskal terbesar di luar pajak. Jumlah ini bukan angka kecil, bahkan setara dengan hampir sepuluh persen pendapatan negara.

Ini juga yang menjadikan pemerintah tidak bisa serius memerangi rokok secara total. Negara bisa kehilangan salah satu sumber napasnya. Dan ini alasan mengapa rokok bisa terus eksis, walaupun dikecam banyak pihak.

Industri tembakau sangat unik. Ketika harga komoditas naik-turun, saat ekspor melemah, harga rokok tetap stabil. Pun penerimaan dari cukai rokok tetap mengalir ke kantong pemerintah.

Dalam logika politik ekonomi, ini adalah sumber fiskal yang sulit digantikan. Pemerintah hanya tinggal menaikkan cukai rokok, maka kas akan terisi tanpa perlu mengeluarkan dana investasi besar-besaran di bidang yang belum pasti juga menghasilkan keuntungan.

Namun, di balik banyaknya rupiah yang disetor industri rokok, tersimpan ongkos sosial yang mahal.

Rokok menjadi salah satu penyebab utama kanker paru-paru, penyakit jantung dan gangguan pernapasan di Indonesia.

Beban pembiayaan kesehatan masyarakat terus naik setiap tahunnya. Data WHO, 70 persen kematian global disebabkan oleh penyakit tidak menular seperti stroke, jantung koroner dan diabetes.

Perokok memiliki risiko tiga kali lebih tinggi terkena penyakit tersebut dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.

Ironisnya, mayoritas perokok berasal dari kelas menengah bawah. Bagi kebanyakan keluarga miskin, pengeluaran rokok lebih besar daripada anggaran pangan dan pendidikan anak.

Rokok menyebabkan kemiskinan menjadi persoalan pelik dan mengakar kuat di masyarakat. Rokok juga menjelma sebagai mesin reproduksi kemiskinan.

Industri rokok di lapangan juga menjadi penopang ekonomi lokal. Di wilayah penghasil tembakau seperti Temanggung, Madura dan Jember, jutaan petani, buruh tani, buruh pabrik dan pedagang kecil menggantungkan hidup pada industri rokok.

Menutup industri ini tanpa perencanaan matang sama saja dengan mengguncang stabilitas ekonomi lokal dan nasional.

Di titik inilah negara seolah bimbang. Jika rokok ditekan kuat, fiskal negara akan terganggu. Namun jika dibiarkan, ongkos sosial akan terus membengkak. Seperti pepatah dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Sama-sama sulit.

Sayangnya, negara cenderung munafik dalam merespon paradoks ini. Pemerintah setiap tahun menaikkan cukai, mengontrol ketat iklan, tapi tanpa ada strategi transisi jangka panjang yang jelas.

Kampanye selalu dijalankan, tetapi ketergantungan fiskal dan ekonomi lokal terhadap cukai tembakau tidak pernah dikurangi.

Pemerintah seperti sedang melakoni sandiwara: satu sisi menolak rokok, sisi lain menggenggam erat rupiah dari setiap hembusan asapnya.

Tidak ada niat kuat untuk benar-benar mendiversifikasi sumber penerimaan negara atau memberikan solusi bagi petani tembakau dan buruh pabrik.

Pemerintah perlu jujur. Jika negara ingin mengurangi dampak negatif akibat rokok, maka harus siap melepaskan ketergantungan pada cukai.

Artinya perlu ada reformasi serius, harus ada pengembangan industri produktif baru, dan strategi melepaskan ekonomi lokal dari jerat asap rokok.

Pemerintah bisa memperluas basis pajak sektor produktif agar bisa mencari sumber pendanaan selain cukai tembakau.

Danantara dengan berbagai privilese yang didapatkan seharusnya bisa meningkatkan dividen BUMN pemerintah, tidak terlalu bergantung pada cukai rokok.

Danantara seharusnya bisa menciptakan ekosistem baru untuk industri teknologi maju karena Danantara membawahi puluhan ribu teknokrat terbaik di Indonesia dengan berbagai latar belakangnya.

Danantara bisa mengarahkan perusahaan-perusahaan BUMN untuk mencari pasar internasional seperti yang Temasek lakukan.

Jika BUMN masih terus menjadikan domestik sebagai target pasar, ekonomi hanya akan jalan di tempat, sementara perusahaan asing juga mengeruk keuntungan di pasar domestik.

Walaupun semboyan “dari kita, oleh kita, dan untuk kita” sangat mengakar di masyarakat Indonesia, tapi untuk masalah bisnis tentu tidak relevan.

Berkaca pada Temasek yang terus bergerilya di pasar-pasar internasional dan begitu dapat keuntungan disetorkan pada pemerintah singapura.

Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan satu langkah pertama dengan baik melalui QRIS. Inovasi teknologi QRIS disambut dengan baik oleh pasar internasional.

Perlu banyak terobosan-terobosan baru seperti QRIS agar pundi-pundi pendapatan yang selama ini didapatkan dari cukai rokok bisa tergantikan.

Sudah saatnya pemerintah keluar dari topeng kemunafikan. Rokok telah menjadi cermin yang memperlihatkan bagaimana struktur ekonomi Indonesia masih rapuh. Kita masih bergantung pada rokok dan selalu bersikap kontradiktif.

Selama negara masih menggantungkan fiskalnya pada asap, narasi tentang kesehatan akan selalu kalah oleh kepentingan uang.

Paradoks ini hanya bisa diputus jika pemerintah menegaskan keberanian politik untuk membangun ekonomi yang tidak hidup dari kebiasaan yang membunuh.

Rokok pada dasarnya bukan sekadar gaya hidup. Ia adalah masalah politik ekonomi. Bangsa ini harus memadamkan asap yang selalu mengepul dari hembusan napas masyarakat Indonesia demi pembangunan masa depan yang lebih sehat dan berdaulat secara fiskal.

Tag:  #negara #hidup #dari #asap #paradoks #ekonomi #rokok #indonesia

KOMENTAR