



Serang Iran, Amerika Diramal Alami Inflasi Tinggi dan Ekonomi Lesu
Gejolak politik di Timur Tengah membuat ekonomi Amerika semakin menurun. Hal ini terlihat dari aktivitas bisnis AS melambat sedikit pada bulan Juni, meskipun harga terus meningkat di tengah tarif agresif Presiden Donald Trump atas barang impor.
Apalagi, peningkatan inflasi yang diantisipasi telah mengakibatkan Federal Reserve menghentikan siklus pemotongan suku bunganya, yang memberi tekanan pada pasar perumahan. Laju penjualan rumah yang sudah ada pada bulan Mei adalah yang terendah untuk bulan tersebut sejak 2009 karena suku bunga hipotek yang lebih tinggi menyingkirkan calon pembeli, data lain menunjukkan pada hari Senin.
"Hal ini menunjukkan bahwa percepatan inflasi kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini," dilansir dari Financial Time, Selasa (24/6/2025).
Apalagi, penjualan rumah turun 0,7 persen secara tahunan pada bulan Mei. Metrik lainnya konsisten dengan permintaan yang lesu.
"Aktivitas sektor perumahan yang lebih lemah seharusnya menjadi tanda awal bahwa permintaan yang mendasarinya melemah tahun ini," kata Veronica Clark, seorang ekonom di Citigroup.
Risiko inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lesu atau stagflasi telah meningkat di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan tarif yang terus berubah.
Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah setelah Amerika Serikat ikut serta dalam konflik antara Israel dan Iran dengan serangan udara terhadap fasilitas nuklir Teheran telah menambah lapisan ketidakpastian lainnya.
"Dengan kenaikan harga yang disebabkan tarif yang sudah ditetapkan untuk menekan daya beli rumah tangga, harga bensin yang lebih tinggi akan mengintensifkan tekanan pada kantong konsumen, yang berisiko menyebabkan perlambatan ekonomi yang lebih nyata," kata James Knightley, kepala ekonom internasional di ING.
S&P Global mengatakan Indeks Output PMI Gabungan AS, yang melacak sektor manufaktur dan jasa, turun menjadi 52,8 bulan ini dari 53,0 pada bulan Mei. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi di sektor swasta.
Lalu, Survei PMI manufaktur kilat tidak berubah pada angka 52,0. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PMI manufaktur turun menjadi 51,0. S&P Global mencatat sedikit peningkatan optimisme di kalangan produsen "yang sebagian mencerminkan harapan akan manfaat yang lebih besar dari proteksionisme perdagangan.
Namun, S&P menambahkan bahwa "perusahaan pada umumnya tetap kurang optimis dibandingkan sebelum pelantikan Presiden Trump. "PMI jasa kilatnya turun menjadi 53,1 dari 53,7 pada bulan Mei. Ekonom memperkirakan PMI jasa turun menjadi 53,0," tulisnya.
Meskipun demikian, secara kasat mata, PMI menunjukkan ekonomi terus berkembang dengan kecepatan sedang pada akhir kuartal kedua.
Namun, apa yang disebut data pasti tentang penjualan eceran, pembangunan rumah, dan pasar tenaga kerja telah menggambarkan gambaran ekonomi yang melemah karena tarif.
Hal itu diperkuat oleh laporan terpisah dari National Association of Realtors yang menunjukkan penjualan rumah yang sudah ada meningkat 0,8 persen pada bulan Mei hingga tingkat tahunan yang disesuaikan secara musiman sebesar 4,03 juta unit.
Meskipun terjadi peningkatan, laju penjualan merupakan yang paling lambat untuk bulan Mei sejak 2009 ketika ekonomi berada di ujung Resesi Hebat, yang dipicu oleh pecahnya gelembung perumahan.
Sebagai informasi, Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir di Iran, memicu lonjakan ketegangan geopolitik yang segera berdampak pada prospek ekonomi global, terutama harga minyak dan gas.
Para analis memperingatkan bahwa inflasi bisa meningkat kembali, dan harga minyak duniahampir pasti akan melonjak. Harga minyak diperkirakan naik sekitar USD 5 per barel saat pasar dibuka Minggu malam waktu AS.
"Kami memperkirakan harga minyak $80 pada pembukaan," ujar Andy Lipow dari Lipow Oil Associates, seperti dikutip dari CNN, Senin (23/6/2025).
Sejak Agustus 2024, harga minyak AS sebagian besar berada di kisaran USD 60 hingga USD 75 per barel dan belum menyentuh level USD 80 sejak Januari lalu.
Meski demikian, ketidakpastian masih tinggi soal seberapa lama lonjakan harga minyak ini akan bertahan. Harga minyak dunia sempat naik sekitar 10 persen sejak serangan mendadak Israel ke Iranpada 13 Juni, namun kembali turun pada Jumat setelah Presiden AS Donald Trump memberi batas waktu dua minggu untuk memutuskan langkah selanjutnya terhadap Iran.
Tag: #serang #iran #amerika #diramal #alami #inflasi #tinggi #ekonomi #lesu