Peringkat Daya Saing RI Anjlok 13 Peringkat! Perang Tarif dan Pengangguran jadi Biang Keroknya
Pekerja berjalan sepulang bekerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (14/5/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
15:12
19 Juni 2025

Peringkat Daya Saing RI Anjlok 13 Peringkat! Perang Tarif dan Pengangguran jadi Biang Keroknya

Peringkat daya saing Indonesia secara drastis, merosot 13 peringkat dari posisi tahun sebelumnya. Dalam riset World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis oleh IMD World Competitiveness Center (WCC), Indonesia kini terperosok ke peringkat 40 dari total 69 negara dunia.

Ini adalah pukulan telak, mengingat dalam tiga tahun terakhir Indonesia sempat menunjukkan tren positif yang membanggakan. Dari peringkat 44 di tahun 2022, melesat ke 34 di 2023, dan mencapai puncaknya di posisi 27 pada 2024. Momentum positif yang dibangun pasca-pandemi, di mana Indonesia sempat dipuji sebagai salah satu negara dengan performa daya saing terbaik, kini terancam sirna.

Arturo Bris, Direktur WCC IMD, sebelumnya mengakui bahwa daya saing Indonesia didongkrak signifikan oleh nilai ekspor migas dan komoditas. Namun, kini ia menunjuk "biang kerok" utama di balik kemerosotan ini. "Namun, saat ini peringkat daya saing Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara anjlok imbas dari perang tarif yang ditujukan ke kawasan ini," jelas Bris dalam keterangannya, Kamis (19/6/2025).

Riset WCR 2025 sendiri bukan sekadar data kaleng-kaleng. Penilaian daya saing 69 negara diukur berdasarkan 262 informasi, meliputi 170 data eksternal dan 92 respons survei dari 6.162 responden eksekutif di tiap negara. Data ini memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang memengaruhi daya saing suatu negara.

Menariknya, dari survei tersebut, 66,1% eksekutif Indonesia menganggap kurangnya peluang ekonomi sebagai pendorong polarisasi. Artinya, akar masalahnya juga berasal dari dalam negeri. Isu-isu ekonomi mendasar seperti infrastruktur yang tidak memadai, lembaga yang lemah, dan keterbatasan talenta SDM (sumber daya manusia) disebut mesti mendapat porsi perhatian yang besar.

Pembangunan yang dianggap tidak inklusif turut memperparah kondisi, menciptakan ketimpangan struktural, angka pengangguran yang tinggi, dan pembangunan yang tidak merata. Minimnya penciptaan lapangan kerja baru ini disebut memicu frustrasi di kalangan warga karena mempersulit mereka untuk naik kelas ekonomi. Kombinasi faktor eksternal berupa perang tarif dan masalah struktural internal inilah yang menjadi kombinasi maut pemicu anjloknya daya saing Indonesia.

Kemerosotan peringkat Indonesia ini tidak sendirian. Mirip dengan Indonesia, peringkat Turki juga anjlok 13 peringkat. Penurunan kedua negara ini menjadi yang terburuk dibanding negara-negara lain dalam peringkat WCR 2025. Untuk Turki, kemerosotan ini jelas imbas buruknya kondisi ekonomi negara itu, khususnya terkait krisis mata uang yang berkepanjangan.

Di kawasan Asia Tenggara, tiga dari lima negara yang diukur dalam survei turut merasakan dampak negatif. Thailand turun 5 peringkat dan Singapura turun 1 peringkat. Ini menunjukkan bahwa "perang tarif" yang disebut Bris memang berdampak luas di wilayah ini.

Namun, ada juga yang berhasil tampil gemilang. Di sisi lain, posisi Malaysia berhasil meroket 11 peringkat dan Filipina naik 1 peringkat. Kenaikan peringkat kedua negara ini didorong oleh kebijakan industri dan investasi digital yang strategis. Ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia: bahwa di tengah tekanan global, strategi adaptasi dan inovasi adalah kunci untuk tetap berdaya saing.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan deregulasi secara besar-besaran untuk meningkatkan daya saing, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat investasi di sektor tekstil, produk tekstil, sepatu, dan sektor padat karya lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, salah satu perhatian utama pemerintah adalah sektor tekstil dan produk tekstil yang saat ini menyerap hampir 4 juta tenaga kerja dan mencatatkan ekspor lebih dari USD2 miliar.

“Arahan pertama tentu pemerintah harus melihat dari keseluruhan supply chain dan juga melakukan harmonisasi daripada tarif yang sudah dilakukan. Dan kedua, kita merespons terhadap barang yang di-dumping melalui tindakan anti-dumping. Pemerintah tentu akan membentuk semacam satgas, di mana ini akan dilakukan percepatan,” ujar Airlangga dalam keterangan persnya kepada awak media usai rapat.

Tidak hanya itu, Presiden Prabowo juga mendorong agar sektor padat karya masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal tersebut dilakukan agar berbagai kemudahan perizinan dan fasilitas insentif bisa segera diberikan.

Sedangkan dalam rangka menjaga daya saing industri, pemerintah turut menyiapkan paket revitalisasi mesin-mesin produksi. Pemerintah menyediakan Rp20 triliun kredit investasi dengan subsidi bunga 5 persen untuk sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, makanan minuman, hingga furniture.

“Kita berharap bahwa dengan sektor padat karya ini bisa ditangani dengan baik, kita berharap lapangan kerja bisa tercipta dan kita menargetkan dengan sesudah EU CEPA ini diharapkan industri ini akan kembali bergeliat,” tambah Airlangga.

Editor: Mohammad Fadil Djailani

Tag:  #peringkat #daya #saing #anjlok #peringkat #perang #tarif #pengangguran #jadi #biang #keroknya

KOMENTAR